PENDAHULUAN

A.    LATARBELAKANG
Pada tahap awal kelahiran filsafat sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan, kamudian berkembang sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan sistematis. Seiring dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus atau spesifik. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari filsafat. Namun kendati pun demikian, tidak berarti filsafat telah menjadi begitu miskin sehingga tinggal terarah hanya kepada satu permasalahan pokok, dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada suatu saat akan lenyap sama sekali. Kenyataannya, masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tak pernah berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan dipecahkan, filsafat pun dibagi ke dalam bidang-bidang studi atau beberapa cabang. (Jan Hendrik Rapar, 2001 : 34)
B.RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yg di maksud dengan filsafat.?
2.      Pembagian filsafat.?
3.      Metode kajian dan  karakteristik atau sifat dasar filsafat.?


PEMBAHASAN
A.Pengertian Filsafat
            Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang hakikat kebenaran sesuatu. Hakikat filsafat selalu menggunakan rasio (pemikiran), tetapi tidak semua proses berpikir disebut filsafat. Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu.
 Secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan.[1] Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat,  padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat.[2] Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
 Secara terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika. Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya adalah metafisika, (b) apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika, (c) sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu manusia, jawabannya adalah antropologi.[3]

Barangkali karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya juga relatif sangat beragam, maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah memberikan definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya filsafat tidak diberikan defenisi terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya secara serius, nanti dia akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta ini mendapat dukungan dari Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya, sebab inti sari filsafat sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi – khususnya bagi pemula – sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi itu masih sangat diperlukan.
          Jika diuraikan mengenai pengertian filsafat di tinjau dari segi arti bahasanya dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah:
1.  Pengetahuan tentang kebijaksanaan
2. Mencari kebenaran
3. Pengetahuan tentang dasar-dasar atau prinsip-prinsip[4]
Peodjawijatna (1974:1) menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari kata Arab yang menghubungkan rpat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari Yunani kata hilosophia merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan sophia; philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu; sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengerian yang mendalam. Jadi, menurut namanya saja filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai, cinta pada kebijakan.[5]      
          Secara filosifis, kesukaran memberikan definisi filsafat disebabkan oleh hal-hal berikut:
1.       Setiap orang bergerak memberikan definisi filsafat sesuai dengan pengetahuan sebatas yuang diketahuinya. Oleh karena itu, perbedaan dalam memberikan definisi menjadi hal yang wajar;
2.       Setiap filosof memiliki pengalaman sendiri-sendiri dengan kehidupan yang dihadapinya, dan definisi dapat diangkat dari berbagai skituasi dan kondisi yang beragam sepanjang berkaitang dengan realitas kehidupan empirik para filosof; Filsafat sering dinamakan secara luas untuk semua ruang lingkup pengetahuan yang ujung-ujungnya berakhir dengan anggapan bahwa filsafat merupakan induk ilmu pengetahuan;
3.       Filsafat juga dilegalisasikan secara rasional sebagai pembuat ideologi dan keyakonan tertentu, bahkan ada yang berpandangan bahwa agama tercifta oleh filsafat;
4.       Tidak jarang yang berpandangan membingungkan orang lain, berbicara berbelit-belit mengaku dirinya sedangan berfilsafat, kalau tidak membingungkan orang atau bahkan dirinya sendiri, bukanlah filsafat;
5.       Batasan bagi filsafat sekedar mendudukkan filsafat sebagai objek kajian dalam ilmu pengetahuan, meskipun filsafat berbeda dengan ilmu dan dengan pengetahuan;
6.       Setiap orang yang memberikan perpecahan pemikiran dan hikma-hikma bagi kehidupan manusia dikatakan sebagai filosof, sehingga para filosof adalah guru bagi semua manus
B.PEMBAGIAN FILSAFAT
Aristoteles membagi filsafat kepada tiga bidang studi, yaitu :
1)    Filsafat spekulatif atau teoretis, yakni suatu cabang filsafat yang bersifat obyektif. Termasuk di dalamnya adalah fisika metafisika, biopsikologi dan sebagainya. Tujuan utama filsafat ini adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
2)    Filsafat Praktis, yakni filsafat yang memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya, termasuk di dalamnya adalah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat praktis ini adalah membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan itu
3)    Filsafat Produktif, yaitu pengetahuan atau filsafat yang membimbing dan menuntun manusia menjadi produktif lewat suatu keterampilan khusus, termasuk di dalamnya adalah kritik sastra, retorika dan estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini adalah agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang benar.

Sementara Will Durant membagi studi filsafat kepada 5 cabang, yaitu :
1)    Logika, yakni studi tentang metode berfikir dan metode penelitian ideal, yang terdiri dari observasi, introspeksi, deduksi dn induksi, hipotesis dan eksperimen serta analisis dan sintesis.
2)    Estetika atau disebut juga filsafat seni (philosophy of art), yakni filsafat yang membahas tentang bentuk ideal dan keindahan.
3)    Etika, yaitu filsafat tentang studi perilaku ideal.
4)    Politika, yaitu studi tentang organisasi sosial yang ideal, yakni tentang monarki, aristokrasi, demokrasi sosialisme, anarkisme dan sebagainya.
5)    Metafisika. Metafisika ini terdiri dari ontologi, filsafat psikologi dan epitemologi.

Para penulis ENSIE (Earste Nederlandse Systematich Ingerichete Ensyclopaedie) membagi filsafat kepada sepuluh cabang, yaitu : metafisika, logika, epistemologi, filsafat ilmu, filsafat naturalis, filsafat kultural, filsafat sejarah, estetika, etika dan filsafat manusia. Sedangkan The World University Ensyclopedia membagi filsafat kepada: filsafat sejarah, metafisika, epistemologi, logika, etika dan estetika. Sementara Christian Wolff (1679-1754) membaginya kepada cabang-cabang : logika, ontologi, kosmologi, psikologi, teologi naturalis dan etika.
Masih banyak lagi pembagian filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf, namun pada umumnya sekarang dibagi kepada enam cabang utama, yaitu : epistemologi, metafisika (meliputi ontologi, kosmologi, teologi metafisik dan antropologi), logika, etika, estetika dan filsafat tentang berbagai disiplin ilmu.
1.  Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme bisa diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran dan logos = kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian epistemologi berarti teori atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan “theory of knowledge” (teori pengetahaun). Epistemologi adalah bidang studi filsafat yang mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan yang meliputi antara lain bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistemologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah tercapainya pengetahuan yang benar[6]. Dengan kata lain bahwa secara umum, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi, pernyataan mengenai apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan relatif merupakan lingkup dan medan kajian epistemologi.

Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan epistemologi adalah : sumber, asal mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan; serta validasi dan rehabilitas dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah : apakah pengetahuan itu?, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan?, apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi?, dan apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya merupakan dugaan?
C.METODE KAJIAN FILSAFAT
Metode berasal dari bahasa Yunani, methodeuo yang diambil dari kata methodos, artinya mengikuti jejak, mengusut, menyelidiki dan meneliti, akar katanya adalah meta (dengan) dan hodos (jalan). Dalam hubungan dengan kegiatan yang bersifat ilmiah, metode berarti cara kerja teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu obyek yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Metode tidak sekedar menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah-pisah, melainkan juga merupakan alat paling utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.[7]

Metode kefilsafatan sangat beraneka ragam, hampir sama dengan banyaknya jumlah ragam filsafat itu sendiri. Ini berarti bahwa filsafat tidak mempunyai metode tunggal yang digunakan oleh semua filsuf sejak zaman purba hingga sekarang. Dengan demikian sangat wajar apabila secara umum setiap metode dalam filsafat melahirkan teori atau faham tersendiri, seperti  emperisme, rasionalisme, relativisme, idealisme dan lain sebagainya. Sebagai contoh misalnya, dalam Dictionary of Philosophy yang dikutip oleh Dr. Anton Bakker disebutkan ada sepuluh metode filsafat konkret, yaitu 1) metode kritis : Socrates dan Plato, 2) metode intuisi : Platinos dan Bergson, 3) metode skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas dan filsafar abad pertengahan, 4) metode matematis : Descartes, 5) metode empiris : Hobbes, Locke, Barkeley dan Hume, 6) metode transendental : Imanuel Kant, Neo-Skolastik, 7) metode dialektis : Hegel dan Karl Marx, 8) metode fenomenologis : Husserl dan eksistensialisme, 9) metode neo-positivisme dan 10) metode analitika bahasa: Wittgenstein (Sudarsono, 2001: 86-87).

Dalam makalah sederhana ini hanya akan dijelaskan secara singkat dua metode sebagai berikut

A.                  Metode Dialektika (Kritis)

Metode dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal juga dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis terhadap suatu istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.

Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral, metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh kepada kaum sofis[8], yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia disambut dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil pemikiran tentang relativisme ini.

Dalam kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani – bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete (keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.

Sebagai contoh misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat duduk dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua dan terbuat dari besi antikarat, kemudian kita periksa lagi kursi makan yang memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan tersebut kita mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri, yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan kursi dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja, misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.

Demikian pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif (mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang teman yang sekaligus muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran umum (definisi, obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran obyektif itu sudah ada di alam ide.

B.                  Metode Intuisi

Metode intuisi (suara hati atau keimanan atau tenaga rohani yang berbeda dengan akal) ini pertama kali dilontarkan oleh Plotinus. Dengan metode ini plotinus melahirkan teori emanasi,[9] yang juga bepengaruh pada filsafat Islam. Emanasi merupakan sebuah teori yang cukup berani, karena para filsuf sebelumnya tidak mampu dan takut untuk melontarkan teori ini. Kosmologi Palotinus memang cukup tinggi terutama dalam hal spekulasi dan imajinasinya, semenatara itu pandangan mistis merupakan ciri filsafatnya. Tujuan filsafat Plotinus adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan yang ditempuh melalui cara : pertama-tama mengenal alam lewat indera yang kemudian bisa ke tingkat mengenal Tuhan, lalu menuju jiwa dunia dan terakhir baru menuju jiwa illahi.

Jawaban Thales bahwa bahan alam semesta adalah air – termasuk jawaban lain yang katanya berasal dari udara, tanah dan api – dianggap belum memuaskan manusia, karena pertanyaan lebih berbobot daripada jawabannya. Pada kira-kira 800 tahun kemudina, muncullah Ptlotinus menyusun jawaban yang lumayan, yaitu yang dikenal dengan teori emanasi. Menurut Plaotinus alam semesta ini tercipta dari pancaran dan berasal dari Tuhan. Tuhan dalam pandangannya tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung arti banyak. Yang banyak (makhluk) ini mengalir lewat proses emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu (The One). Plotinus kemudian menegaskan bahwa hanya ada Satu yang wajib ada, sederhana dan absolut.

The One atau Yang Esa tersebut menurut Plotinus adalah seuatu realitas yang tidak mungkin dpat dipahami melalui metode sains dan logika, karena ia berada di luar eksistensi dan di luar segala nilai, sehingga apabila seseorang mencoba untuk mendefinisikanya niscaya akan gagal. The One atau Yang Esa merupakan puncak segala yang ada, cahaya di atas cahaya yang tidak mungkin diketahui esensinya, sekalipun oleh orang yang merasa memiliki pengetahuan ketuhanan cukup tinggi. Seseorang hanya dapat mengetahui bahwa Ia adalah pokok atau prinsip yang berada di belakang akal dan jiwa. Dia tidak dapat dideteksi melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis, tapi hanya dapat dihayati melalui intuisi (hati nurani atau keimanan). Dari teori emansi itu, Plotinus juga melontarkan ajaran tentang reinkarnasi yaitu keyakinan akan penyatuan kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One). Reinkarnasi ini ditentukan oleh perilaku dan tindakan manusia selama hidup di dunia. Jiwa yang bersih tidak ada lagi kaitannya dengan dunia, dia akan kembali menyatu dengan Tuhan. Sedangkan jiwa yang kotor harus hidup kembali ke dalam kehidupan yang lebih rendah seperti kepada orang jahat, hewan atau tumbuhan, sesuai dengan tindakan kejahatan jiwa itu sendiri.

C.    KARAKTERISTIK ATAU SIFAT DASAR FILSAFAT
 a.       Berfikir Radikal

Berfilsafat berarti berfikir secara radikal. Para filosuf adalah para pemikir radikal, sehingga mereka tidak akan pernah terpaku hanya kepada fenomena suatu identitas atau realitas tertentu saja. Keradikalan berfikir mereka akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan. Radik atau akar sebuah realitas memang selalu dianggap penting oleh mereka karena menemukan akar atau radik tersebut membuat mereka paham akan sebuah realitas tersebut. Berpikir radikal akan memperjelas realitas lewat penemuan dan pemahaman akan realitas itu sendiri. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat atau akar seluruh sesuatu itu dilakukan secara mendalam (radikal). Lois O. Kattsoff (1996 : 6) mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi bukanlah melamun dan bukan pula berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematis dan universal.

b.       Mencari asas

Dalam memandang seluruh realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas (dasar) yang peling hakiki dari keseluruhan realitas tersebut. Para filsuf Yunani, yang terkenal dengan filsuf alam menagamati keanekaragaman realitas di alam semesta ini, lalu bertanya “apakah di balik realitas alam yang beraneka ragam ini ada suatu asas atau dasar ?”. Mereka mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua. Thales menemukan asas alam semesta ini adalah air, Aneximenes menemukan bahwa asasnya adalah udara, dan Empedokles mengatakan ada empat unsur yang membentuk realitas alam ini, yaitu api, udara, tanah dan air.

c.       Memburu Kebenaran

Berfilsafat berarti memburu kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki dan tidak meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh atau hakiki dan dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka. Kebenaran tentang sesuatu yang sudah ditemukan oleh seorang filsuf akan selalu diteliti ulang oleh yang lain demi mencari kebenaran yang lebi hakiki dan dapat dipertanggungjawabkan.




[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, PT. Remaja Rosdakarya Bandung,  2000, hal. 9
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, Cet. II 1999, hal.6
[3] Ahmad Tafsir, Op. Cit, hal. 10
             [4]  Handani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Cet.III; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 9-11
             [5] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Cet.I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 9

4
[6] Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Ar-Ruzz, Jogyakarta, 2004, hal. 161
[7] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Penerbit Kansius, cet. 6, 2001, hal. 93
[8] Kata “sofis” mengandung arti tipuan, hipokret dan sinis. Selanjutnya baca Ahmad Tafsir, ibid, hal. 50 - 51
[9] Selengkapnya baca ; Ahmad Tafsir, op. cit. hal. 66 dan seterusnya

0 Silahkan Berkomentar Blogger 0 Facebook

Post a Comment

Sampaikanlah kritik dan saran anda yang bersifat membangun di kolom komentar untuk kesempurnaan dan kenyamanan anda dalam membaca. Terima kasih atas kerja samanya.

 
Copyright © 2014 -. Member Blog ( Mb ) All Rights Reserved. Powered by Blogger
Privacy Policy Top