PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Berfilsafat kerap dianggap kegiatan
yang hanya dilakukan oleh para arif bijaksana. Olah pikir hamper selalu
dihubungkan dengan para cendikiawan, kaum terpelajar dan mereka yang mempunyai
waktu luang. Orang awam atau kebanyakan masyarakat seolah-olah tidak
berfilsafat, mereka dianggap kurang berfikir.
Hal tersebut bisa dimaklumi,
terutama jika diungkit asal-usul dan sejarah filsafat. Pada zaman Yunani kuno,
kegiatan berfilsafat memang hanya dilakukan oleh kaum elite tertentu. Para ahli
pikir (filsuf) saat itu menggunakan seluruh daya dan kemampuannyauntuk
menerangkan berbagai fenomena. Mereka heran akan gejala alam. Mereka
bertanya-tanya mengenai asal-usul segala sesuatu. Mereka juga menggugat apa
yang mereka anggap oleh umu sebagai hakekat. Mereka juga merenungkan segala
peristiwa lalu mencari tali-temali dan menyimpulkannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.pengertian
fisafat.?
2.objek
kajian dan metode filsafat.?
3.Cabang
atau pembagian filsafat.?
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Filsafat
Secara harfiyah atau etimologi, filsafat berarti cinta
kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani,
yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya
dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia,
yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha
untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah)
atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan
kepandaian atau cinta pada kebijakan.[1] Harun Nasution juga mengatakan bahwa
filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau
timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata
benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf.
Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan dari kata falsafah
(Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan
merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah
(jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat.[2] Dalam
bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam
ungkapan maupun titik tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis
pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala
sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan
bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato
mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran
asli (hakiki), dan kata Aristoteles
filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di
dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.
Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang menjadi
pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan,
yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya adalah metafisika, (b)
apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika, (c) sampai di
mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu manusia,
jawabannya adalah antropologi.[3]
Barangkali karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya
juga relatif sangat beragam, maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah
memberikan definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya filsafat tidak diberikan
defenisi terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya secara serius,
nanti dia akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta ini mendapat dukungan
dari Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya, sebab inti sari filsafat
sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi – khususnya bagi pemula –
sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi itu masih sangat diperlukan.
2. Obyek Kajian
Filsafat
Pada dasarnya setiap ilmu
memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, baik
sesuatu yang bersifat konkret seperti kerbau, sapi, manusia, pohon, batu,
tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti nilai-nilai, ide-ide, paham atau
aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh manusia menjadi obyek material
bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal adalah cara pandang tertentu
tentang obyek material tersebut, misalnya pendekatan empiris dan eksperimen
dalam ilmu kedokteran.
Filsafat, sebagai sebuah proses berpikir yang sistematis dan radikal juga
memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala
yang ada, baik yang nampak (dunia empiris) maupun yang tidak nampak (abstrak,
metafisika). Menurut sebagian filosof obyek material filsafat itu menyangkut
tiga hal, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran dan yang ada
dalam kemungkinan.[4] Obyek material filsafat pada umumnya sama dengan obyek penelitian sains,
bedanya terletak pada dua pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek
material yang empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks. Kedua,
ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains,
seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi
obyek material filsafat lebih luas ketimbang obyek material sains.[5]
Adapun obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang radikal,
yakni keingintahuan tentang hakikat kebenaran sesuatu, dengan cara melakukan
penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Dengak kata lain bahwa
obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan
obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui hakikat yang
sesungguhnya.
3. Metode Kajian
Filsafat
Metode berasal dari bahasa
Yunani, methodeuo yang diambil dari kata methodos, artinya
mengikuti jejak, mengusut, menyelidiki dan meneliti, akar katanya adalah meta
(dengan) dan hodos (jalan). Dalam hubungan dengan kegiatan yang bersifat
ilmiah, metode berarti cara kerja teratur dan sistematis yang digunakan untuk
memahami suatu obyek yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang
ilmu tertentu. Metode tidak sekedar menyusun dan menghubungkan bagian-bagian
pemikiran yang terpisah-pisah, melainkan juga merupakan alat paling utama dalam
proses dan perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal penelitian hingga
mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.[6]
Metode kefilsafatan sangat beraneka ragam, hampir sama dengan banyaknya
jumlah ragam filsafat itu sendiri. Ini berarti bahwa filsafat tidak mempunyai
metode tunggal yang digunakan oleh semua filsuf sejak zaman purba hingga
sekarang. Dengan demikian sangat wajar apabila secara umum setiap metode dalam
filsafat melahirkan teori atau faham tersendiri, seperti emperisme, rasionalisme, relativisme,
idealisme dan lain sebagainya. Sebagai contoh misalnya, dalam Dictionary of Philosophy yang dikutip
oleh Dr. Anton Bakker disebutkan ada sepuluh metode filsafat konkret, yaitu:
·
metode kritis : Socrates dan Plato,
·
metode intuisi : Platinos dan Bergson
·
metode skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas
dan filsafar abad pertengahan,
·
metode matematis : Descartes
·
metode empiris : Hobbes, Locke, Barkeley dan
Hume
·
metode transendental : Imanuel Kant, Neo-Skolastik
·
metode dialektis : Hegel dan Karl Marx
·
metode fenomenologis : Husserl dan eksistensialisme
·
metode neo-positivisme
·
metode analitika bahasa:
Wittgenstein (Sudarsono, 2001: 86-87).
Dalam makalah sederhana ini hanya akan dijelaskan secara singkat dua
metode sebagai berikut
A.Metode Dialektika (Kritis)
Metode dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai =
bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal juga dengan metode kritis ini pertama
kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis terhadap suatu
istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk
membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan
metode ini Socrates menemukan logika induksi dan definisi. Logika
induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret)
lalu memberikan kesimpulan yang umum.
Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air,
kemudian Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri
dari empat unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan
akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di
kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme
terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme.
Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu
bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki).
Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing manusia, “benar itu
menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada
keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa
tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral,
metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah
kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah
bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya
pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar
pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh kepada
kaum sofis[7][7],
yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains maupun
filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang yang menjual
kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari keadilan
asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia disambut
dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya
yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai
wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil pemikiran
tentang relativisme ini.
Dalam kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga
orang Yunani – bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM.
Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar pengetahuan.
Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan membuktikan adanya
kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia
kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang
obyektif juga ada dan harus diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates
menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis dan dijalankan melalui
percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete
(keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain
sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri
keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati
itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati
adalah kebenaran suyektif.
B.Metode Intuisi
Metode intuisi (suara hati atau keimanan atau tenaga rohani yang berbeda
dengan akal) ini pertama kali dilontarkan oleh Plotinus. Dengan metode ini
plotinus melahirkan teori emanasi,[8][8]
yang juga bepengaruh pada filsafat Islam. Emanasi merupakan sebuah teori yang
cukup berani, karena para filsuf sebelumnya tidak mampu dan takut untuk
melontarkan teori ini. Kosmologi Palotinus memang cukup tinggi terutama dalam
hal spekulasi dan imajinasinya, semenatara itu pandangan mistis merupakan ciri
filsafatnya. Tujuan filsafat Plotinus adalah tercapainya kebersatuan dengan
Tuhan yang ditempuh melalui cara : pertama-tama mengenal alam lewat indera yang
kemudian bisa ke tingkat mengenal Tuhan, lalu menuju jiwa dunia dan terakhir
baru menuju jiwa illahi.
Jawaban Thales bahwa bahan alam semesta adalah air – termasuk jawaban
lain yang katanya berasal dari udara, tanah dan api – dianggap belum memuaskan
manusia, karena pertanyaan lebih berbobot daripada jawabannya. Pada kira-kira
800 tahun kemudina, muncullah Ptlotinus menyusun jawaban yang lumayan, yaitu
yang dikenal dengan teori emanasi. Menurut Plaotinus alam semesta ini tercipta
dari pancaran dan berasal dari Tuhan. Tuhan dalam pandangannya tidak terbagi-bagi
dan tidak mengandung arti banyak. Yang banyak (makhluk) ini mengalir lewat
proses emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu (The One).
Plotinus kemudian menegaskan bahwa hanya ada Satu yang wajib ada, sederhana dan
absolut.
The One atau Yang Esa tersebut menurut Plotinus adalah seuatu realitas
yang tidak mungkin dpat dipahami melalui metode sains dan logika, karena ia
berada di luar eksistensi dan di luar segala nilai, sehingga apabila seseorang
mencoba untuk mendefinisikanya niscaya akan gagal. The One atau Yang Esa
merupakan puncak segala yang ada, cahaya di atas cahaya yang tidak mungkin
diketahui esensinya, sekalipun oleh orang yang merasa memiliki pengetahuan
ketuhanan cukup tinggi. Seseorang hanya dapat mengetahui bahwa Ia adalah pokok
atau prinsip yang berada di belakang akal dan jiwa. Dia tidak dapat dideteksi
melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis, tapi hanya
dapat dihayati melalui intuisi (hati nurani atau keimanan). Dari teori emansi
itu, Plotinus juga melontarkan ajaran tentang reinkarnasi yaitu
keyakinan akan penyatuan kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One).
3.cabang
atau pembagian filsafat
Pada tahap awal kelahiran
filsafat sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan, kamudian berkembang
sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan sistematis. Seiring dengan
perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah
banyak, tetapi juga semakin mengkhusus atau spesifik. Lalu lahirlah berbagai
disiplin ilmu pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari
filsafat. Namun kendati pun demikian, tidak berarti filsafat telah menjadi
begitu miskin sehingga tinggal terarah hanya kepada satu permasalahan pokok,
dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada suatu saat akan lenyap
sama sekali. Kenyataannya, masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tak
pernah berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan
dipecahkan, filsafat pun dibagi ke dalam bidang-bidang studi atau beberapa cabang.
(Jan Hendrik Rapar, 2001 : 34)
Aristoteles membagi filsafat kepada tiga bidang studi, yaitu :
1) Filsafat spekulatif atau teoretis, yakni suatu cabang filsafat yang bersifat obyektif.
Termasuk di dalamnya adalah fisika metafisika, biopsikologi dan sebagainya.
Tujuan utama filsafat ini adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
2) Filsafat Praktis, yakni filsafat yang memberi
petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana
mestinya, termasuk di dalamnya adalah etika dan politik. Sasaran terpenting
bagi filsafat praktis ini adalah membentuk sikap dan perilaku yang akan
memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan itu
3) Filsafat Produktif, yaitu pengetahuan atau
filsafat yang membimbing dan menuntun manusia menjadi produktif lewat suatu
keterampilan khusus, termasuk di dalamnya adalah kritik sastra, retorika dan
estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini adalah
agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun secara
puitis dalam terang pengetahuan yang benar.
Sementara Will Durant membagi studi filsafat kepada 5 cabang, yaitu :
1) Logika, yakni studi tentang metode
berfikir dan metode penelitian ideal, yang terdiri dari observasi, introspeksi,
deduksi dn induksi, hipotesis dan eksperimen serta analisis dan sintesis.
2) Estetika atau disebut juga filsafat
seni (philosophy of art), yakni
filsafat yang membahas tentang bentuk ideal dan keindahan.
3) Etika, yaitu filsafat tentang studi
perilaku ideal.
4) Politika, yaitu studi tentang organisasi
sosial yang ideal, yakni tentang monarki, aristokrasi, demokrasi sosialisme,
anarkisme dan sebagainya.
5) Metafisika. Metafisika ini terdiri dari
ontologi, filsafat psikologi dan epitemologi.
Para penulis ENSIE (Earste
Nederlandse Systematich Ingerichete Ensyclopaedie) membagi filsafat kepada
sepuluh cabang, yaitu : metafisika, logika, epistemologi, filsafat ilmu,
filsafat naturalis, filsafat kultural, filsafat sejarah, estetika, etika dan
filsafat manusia. Sedangkan The World
University Ensyclopedia membagi filsafat kepada: filsafat sejarah,
metafisika, epistemologi, logika, etika dan estetika. Sementara Christian Wolff
(1679-1754) membaginya kepada cabang-cabang : logika, ontologi, kosmologi,
psikologi, teologi naturalis dan etika.
Masih banyak lagi pembagian filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf,
namun pada umumnya sekarang dibagi kepada enam cabang utama, yaitu : epistemologi, metafisika (meliputi
ontologi, kosmologi, teologi metafisik dan antropologi), logika, etika, estetika dan filsafat
tentang berbagai disiplin ilmu.
1.
Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori
pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari
dua kata, yaitu episteme bisa
diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran dan logos = kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian
epistemologi berarti teori atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah ini dalam
bahasa Inggris dikenal dengan sebutan “theory
of knowledge” (teori pengetahaun). Epistemologi adalah bidang studi
filsafat yang mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan yang meliputi antara lain
bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran
pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistemologi itu
terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah
tercapainya pengetahuan yang benar[9][9].
Dengan kata lain bahwa secara umum, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran
yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat
pada suatu obyek. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi
merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal
tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi,
pernyataan mengenai apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat
kebenaran yang bisa dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan
relatif merupakan lingkup dan medan kajian epistemologi.
Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan epistemologi adalah :
sumber, asal mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan
pengetahuan; serta validasi dan rehabilitas dari berbagai klaim terhadap
pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk
mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah : apakah
pengetahuan itu?, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan?, apakah
pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi?, dan apakah
pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya merupakan dugaan?
1.1. Tentang Pengetahaun
Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan
demikian pengatahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa
yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui dan obyek, yakni sesuatu yang diketahui. Dan
pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran, karena demi mencapai
kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah kesesuaian antara
pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya
disebut kekeliruan. Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu
banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia
hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya
tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa amat sulit untuk mencpai
kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran
dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan.
Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:38) bahwa pengetahuan itu dapat dibagi ke
dalam tiga jenis, yaitu : 1) Pengetahuan
biasa (ordinary knowledge). Ini
terdiri dari “nir-ilmiah” dan “pra-ilmiah”. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil
penyerapan dengan indera terhadap obyek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari dan termasuk pula pengetahuan intuituf. Pengetahuan pra-ilmiah
merupakan hasil penyerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil
pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan
menggunakan metode-metode ilmiah. 2)
pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge), pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode
ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Inilah pengetahuan
yang sering disebut sains (science). 3. pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), yang diperoleh
lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi,
penilaian kritis serta pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan sistematis.
Pengetahuan filsafat ini berkaitan dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh
realitas yang dipersoalkan selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.
1.2. Perbedaan Pengetahaun dengan Ilmu
Dari seperangkat pengertian yang ada, pengetahaun dengan ilmu sering
dikacaubalaukan. Keduanya sering dianggap mempunyai persamaan makna, bahkan
telah dirangkum menjadi sebuah kata majemuk yang mengandung arti tersendiri.
Padahal apabila kedua kata itu berdiri sendiri, maka perbedaannya akan nampak
dengan jelas. Kata pengetahuan
diambil dari bahasa Inggris knowledge,
sedangkan ilmu berasal dari bahasa
Arab ilm (عـلـم) atau kata Inggis science. Makna semacam ini nampak lebih
baik daripada mencampuradukkan dua kata tersebut. Dengan memisahkan kedua kata
ini, maka akan diperoleh pengertian dan perbedaannya masing-masing.
Pengetahaun dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu
atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapi atau
obyek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud benda-benda fisik, pemahamannya dilakukan
dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal. Dapat pula obyek yang
dipahami itu berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan
yang cara memahaminya dengan komprehensi, bahkan dapat berwujud subsistensi
yang dipahami lewat persepsi. Apabila obyeknya berupa nilai (value),
pemahamannya lewat persepsi pula. Franz Rosenthal mengemukakan bahwa ada lebih
dari seratus definis pengetahaun, antara lain : (a) pengetahaun yang menyangkut
proses mengetahui, (b) pengetahuan yang menyangkut tentang pengamatan, (c)
pengetahaun yang menyangkut proses yang diperoleh melalui persepsi mental dan
(d) pengetahuan yang menyangkut kepercayaan.[10]
Pengertian ilmu sebagaimana dikemukakan oleh The Liang Gie adalah suatu
bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya manusia memperoleh suatu
pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam
di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang
meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungan serta
mengubah sifat-sifatnya sendiri. Sementara Charles Singer mengatakan “Ilmu
adalah proses yang membuat pengetahuan”. Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu Dalam Perspektif menulis “ilmu
lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap
dikonsumsikan”.
Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat
perbedaan ciri-cirinya. Menurut Herbert L. Searles ciri-ciri tersebut sebagai
berikut : “Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri empiris, maka
ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematisnya”. Mohammad Hatta
(mantan Wakil Presiden RI pertama) membedakan ilmu dengan pengetahuan sebagai
berikut : “Pengetahuan yang didapat dari pengalaman disebut pengetahuan pengalaman, atau ringkasnya pengetahuan. Pengetahuan yang didapat
dengan jalan keterangan disebut ilmu.
Bahwasanya pengetahuan saja bukanlah ilmu, dapat kita persaksikan pada binatang
yang juga mempunyai pengetahuan, misalnya anjing. Dari gerak tangan tuannya
atau dari keras atau lembutnya suara tuannya itu, ia tahu apa yang dimaksud
tuannya terhadap dia. Tiap-tiap ilmu mesti bersendi kepada pengetahuan.
Pengetahuan adalah tangga yang pertama bagi ilmu untuk mencari keterangan lebih
lanjut”.
Jadi pada dasarnya perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan adalah
terletak pada sifat sistematik dan cara memperolehnya. Perbedaan tersebut
menyangkut pengetahuan yang pra-ilmiah atau pengetahuan biasa, sedangkan
pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti. Dalam
perkembangan selanjutnya di Indonesia, pengetahuan disamakan artinya dengan
ilmu, karena kata ilmu yang berasal dari bahasa Arab berarti pengetahuan.
Nawawi Dusky menulis dalam Buletin Dakwah
: “ilmu yang berasal dari bahasa Arab ini artinya adalah pengetahaun”. Dengan
demikian bahwa secara bahasa pengetahuan dengan ilmu bersinomin arti, sedangkan
dalam arti material keduanya mempunyai perbedaan. Sementara itu menurut
disiplinya, ilmu pengetahuan dapat digolongakan menjadi tiga, yaitu : ilmu deduktif (ilmu-ilmu formal), ilmu induktif (ilmu-ilmu empiris) dan
ilmu reduktif (sejarah dan lain-lain)
[11]
1.3. Sumber Pengetahuan
Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam
epistemologi, sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatan. Pandangan
yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan, yaitu dalam
sifatnya baik yang apriori maupun aporteriori. Pengetahuan apriori adalah
pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman
indera maupun pengalaman bathin. Sedangkan pengetahuan aporteriori adalah
pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dalam mengetahui sesuatu
diperlukan alat-alat, seperti pengalaman indera (sense experience), nalar (reason),
otoritas (othority), intuisi (intuition), wahyu (revelation) dan keyakinan (faith).
[12]
0 Silahkan Berkomentar Blogger 0 Facebook
Post a Comment
Sampaikanlah kritik dan saran anda yang bersifat membangun di kolom komentar untuk kesempurnaan dan kenyamanan anda dalam membaca. Terima kasih atas kerja samanya.