PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ilmu sebagai suatu pengetahuan, yang
diperoleh melalui cara-cara tertentu. Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib,
maka kaum muslimin menjalankannya sebagai suatu ibadah, seperti kita
menjalankan sholat, puasa. Maka orang
pun mencari keutamaan ilmu. Disamping itu, timbul pula proses belajar-mengajar
sebagai konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah itu proses belajar mengajar
ini menimbulkan perkembangan ilmu, yang lama maupun baru, dalam berbagai
cabangnya. Ilmu telah menjadi tenaga pendorong perubahan dan perkembangan
masyarakat. Hal itu terjadi, karena ilmu telah menjadi suatu kebudayaan. Dan
sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
masyarakat Muslim dan dihadapan Allah. Jadi ilmu juga bisa diartikan atau
dijadikan sebagai pusat dari perubahan dan perkembangan di dalam suatu
masyarakat. Ilmu telah diibaratkan dengan keutamaan atau kelebihan Nabi yg
diberikan Allah kepadanya. Begitu tingginya derajat orang yang berilmu disisi
Allah dan manfaatnya ataupun pentingnya sangat banyak untuk perubahan-perubahan
dalam masyarakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
pengertian ilmu pengetahuan dan perbedaan ilmu pengetahuan.?
2.
apa yg di maksud dengan filsafat.?
3.
apa yg di maksud dengan pragmatisme.?
PEMBAHSAN
A. Ilmu
Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman yang
disusun dalam satu system untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang
sedang dipelajari.[1]
Dengan demikian ilmu pengetahuan
dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang ilmiah. Pengetahuan yang telah disusun
secara sistematis untuk memperoleh suatu kebenaran. Ilmu pengetahuan merupakan
ilmu pasti. eksak, terorganisir, dan riil. Jika
dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan
demikian pengatahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa
yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui dan obyek, yakni sesuatu yang diketahui. Dan
pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran, karena demi mencapai
kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah kesesuaian antara
pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut
kekeliruan. Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu banyak
aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya
mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya tetap
tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa amat sulit untuk mencpai
kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran
dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan.
Menurut Jan Hendrik Rapar
(1996:38) bahwa pengetahuan itu dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : 1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Ini terdiri dari
“nir-ilmiah” dan “pra-ilmiah”. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil penyerapan
dengan indera terhadap obyek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari
dan termasuk pula pengetahuan intuituf. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil
penyerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional
yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. 2) pengetahuan
ilmiah (scientific knowledge),
pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih
menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Inilah pengetahuan yang sering
disebut sains (science). 3. pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), yang diperoleh
lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi,
penilaian kritis serta pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan sistematis.
Pengetahuan filsafat ini berkaitan dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh
realitas yang dipersoalkan selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.
Perbedaan Pengetahaun dengan Ilmu
Dari seperangkat pengertian yang ada, pengetahaun dengan ilmu sering
dikacaubalaukan. Keduanya sering dianggap mempunyai persamaan makna, bahkan
telah dirangkum menjadi sebuah kata majemuk yang mengandung arti tersendiri.
Padahal apabila kedua kata itu berdiri sendiri, maka perbedaannya akan nampak
dengan jelas. Kata pengetahuan
diambil dari bahasa Inggris knowledge,
sedangkan ilmu berasal dari bahasa
Arab ilm (عـلـم) atau kata Inggis science. Makna semacam ini nampak lebih
baik daripada mencampuradukkan dua kata tersebut. Dengan memisahkan kedua kata
ini, maka akan diperoleh pengertian dan perbedaannya masing-masing.
Pengetahaun dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu
atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapi atau
obyek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud benda-benda fisik, pemahamannya
dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal. Dapat pula
obyek yang dipahami itu berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah
kejiwaan yang cara memahaminya dengan komprehensi, bahkan dapat berwujud
subsistensi yang dipahami lewat persepsi. Apabila obyeknya berupa nilai (value),
pemahamannya lewat persepsi pula. Franz Rosenthal mengemukakan bahwa ada lebih
dari seratus definis pengetahaun, antara lain : (a) pengetahaun yang menyangkut
proses mengetahui, (b) pengetahuan yang menyangkut tentang pengamatan, (c)
pengetahaun yang menyangkut proses yang diperoleh melalui persepsi mental dan
(d) pengetahuan yang menyangkut kepercayaan.[2]
Pengertian ilmu sebagaimana dikemukakan oleh The Liang Gie adalah suatu
bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya manusia memperoleh suatu
pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam
di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang
meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungan serta
mengubah sifat-sifatnya sendiri. Sementara Charles Singer mengatakan “Ilmu
adalah proses yang membuat pengetahuan”. Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu Dalam Perspektif menulis “ilmu
lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap
dikonsumsikan”.
Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat
perbedaan ciri-cirinya. Menurut Herbert L. Searles ciri-ciri tersebut sebagai
berikut : “Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri empiris, maka
ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematisnya”. Mohammad Hatta
(mantan Wakil Presiden RI pertama) membedakan ilmu dengan pengetahuan sebagai
berikut : “Pengetahuan yang didapat dari pengalaman disebut pengetahuan pengalaman, atau ringkasnya pengetahuan. Pengetahuan yang didapat
dengan jalan keterangan disebut ilmu.
Bahwasanya pengetahuan saja bukanlah ilmu, dapat kita persaksikan pada binatang
yang juga mempunyai pengetahuan, misalnya anjing. Dari gerak tangan tuannya
atau dari keras atau lembutnya suara tuannya itu, ia tahu apa yang dimaksud
tuannya terhadap dia. Tiap-tiap ilmu mesti bersendi kepada pengetahuan.
Pengetahuan adalah tangga yang pertama bagi ilmu untuk mencari keterangan lebih
lanjut”.
Jadi pada dasarnya perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan adalah terletak
pada sifat sistematik dan cara memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut
pengetahuan yang pra-ilmiah atau pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan
ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti. Dalam perkembangan
selanjutnya di Indonesia, pengetahuan disamakan artinya dengan ilmu, karena
kata ilmu yang berasal dari bahasa Arab berarti pengetahuan. Nawawi Dusky
menulis dalam Buletin Dakwah : “ilmu
yang berasal dari bahasa Arab ini artinya adalah pengetahaun”. Dengan demikian
bahwa secara bahasa pengetahuan dengan ilmu bersinomin arti, sedangkan dalam
arti material keduanya mempunyai perbedaan. Sementara itu menurut disiplinya,
ilmu pengetahuan dapat digolongakan menjadi tiga, yaitu : ilmu deduktif (ilmu-ilmu formal), ilmu induktif (ilmu-ilmu empiris) dan ilmu reduktif (sejarah dan lain-lain) [3]
B. Filsafat
Secara
etimologis (asal-usul kata) filsafat berasal dari kata yunani philia (=love,
cinta) dan sophia (=wisdom, kebijaksanaan). Jadi ditinjau dari pada arti
etimologis istilah ini berarti cinta pada kebjaksanaan.[4]
Pengertian
filsafat secara garis besar adalah ilmu yang mendasari suatu kosep berfikir
manusia dengan sungguh-sungguh untuk menemukan suatu kebenaran yang kemudian
dijadikan sebagai pandangan hidupnya. Sedangkan secara khusus filsafat adalah
suatu sikap atau tindakan yang lahir dari kesadaran dan kedewasaan seseorang
dalam memikiran segala sesuatu secara mendalam dengan melihat semuanya dari
berbagai sudut pandang dan korelasinya. Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep
mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu. Secara
etimologi,
filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini
berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia.
Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya
dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia,
yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha
untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah)
atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan
kepandaian atau cinta pada kebijakan.[5]
Harun Nasution juga mengatakan bahwa
filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau
timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata
benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf.
Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan dari kata falsafah
(Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan
merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah
(jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat.[6]
Dalam
bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara terminologi
pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik
tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang
berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan
pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat adalah
sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan
yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah peengetahuan yang
meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika,
ekonomi, politik dan estetika. Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat
adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup
di dalamnya empat persoalan, yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya
adalah metafisika, (b) apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika,
(c) sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu
manusia, jawabannya adalah antropologi.[7]
Barangkali karena rumitnya
mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya juga relatif sangat beragam, maka
Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah memberikan definisi filsafat. Menurut dia
sebaiknya filsafat tidak diberikan defenisi terlebih dahulu, biarkan saja orang
mempelajarinya secara serius, nanti dia akan faham dengan sendirinya. Pendapat
Hatta ini mendapat dukungan dari Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya,
sebab inti sari filsafat sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi
– khususnya bagi pemula – sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi
itu masih sangat diperlukan.
Agama
Agama
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.
Kata
"agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang
berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan.[8]
D. Pengertian Pragmatisme
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang
menyebutkan kata itu biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata,
“Rancangan ini kurang pragmatis”, maka maksudnya ialah rangcangan itu kurang
pragtis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme
yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Kata pragmatisme diambil dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan (Encyclopedia Americana, 15 : 683). Pragmatisme
mula-mula di perkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), filosof
Amerika yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat
(Stroh, 1968) tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates,
Aristoteles, Berkeley, dan Humen.[9]
Adapun pengertian lain mengenai Pragmatisme yaitu suatu
aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara pragtis.
Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat
membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima
asalkan bermanfaat bagi kehidupan.[10]
Sedangkan menurut pendapat saya
selaku penulis makalah ini berpendapat bahwa pragmatisme adalah suatu hal yang
pragtis dalam pemaparannya dan mudah
dimengerti dan mempunyai kegunaan yang bermanfaat dalam ilmu filsafat. Adapun
prgmatisme menurut para ahli antara lain:
Menurut William James mengatakan bahwa secara ringkas
pragmatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Peirce-lah yang
membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah
dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang
objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep
objek tersebut.” Ia juga menambahkan untuk mengukur kebenaran suatu konsep,
kita harus mempertimbangkan apa konsekunsi itulah yang merupakan pengertian
konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis konsep
itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai pengertian apa-apa,
maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kiat.[11]
Begitupun pengertian Charles S. Pierce (1839-1914) bagi doktrin pragmatisme,
yang diumumkannya pada tahun 1978. Pragmatisme adalah pragmatisme menurut paham
PIERCE itu.[12]
Secara umum,
Pragmatisme berarti hanya idea yang dapat dipraktikkan yang benar dan berguna.
Idea-idea yang hanya ada di dalam idea seperti idea pada Plato, pengertian umum
pada Socrates, definisi pada Aristoteles, juga keimbangan terhadap realitas
objek indera pada Descartes semua ini nonsense
bagi pragmatisme. Yang ada adalah apa yang real ada. Demikian menurut James
takkala ia membantah Zeno yang mengaburkan arti gerak.[13]
Pragmatisme dalam Ilmu
Filsafat
Pemikiran filsafat lahir karena dalam sepanjang hidup
mengalami konplik antara pandangan ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia
beranggapan, bahwa masalah kebenaran tentang asal/tujuan dan hakikat bagi orang
Amerika terlalu teoritis. Ia menginginkan hasil-hasil yang konkret. Dengan
demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah diselidiki
konsekuensi-konsekuensi praktisnya. Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide
agama dapat memperkaya kehidupan, ide-ide tersebut benar.[14]
Toko pragmatisme kedua adalah John Dewey. Sebagai pengikut
filsafat pragmatisme, Jhon Dewey mengatakan bahwa tugas filsafat adalah
memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran meta yang kurang praktis, tidak ada paedahnya. Oleh karena
itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengelolahnya secara kritis.
Menurutnya, tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa
bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi
kesulitan kesulitan itu. Oleh karena itu, berpikir tidak lain dari alat
(instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari
berhasil tidaknya memengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya
untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui arti yang sebenarnya adalah
metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan
juga bagi persoalan-pesoalan sosial dan moral.[15]
James melihat ada dua macam watak kefilsafatan yang pokok
ia menggunakan istilah tough minded dan tender minded.
Tough minded yang fositif ialah karena ia
empiris dan mendasarkan dari atas fakta yang jelas. Tetapi tidak mampu
menunjukkan nilai-nilai yang nyata, tidak mendukung agama, dan kurang
memperhatikan kebutuhan manusia.
Tender minded memdukung agama, memperhatikan
harapan-harapan manusia, tetapi tidak berdasarkan fakta nyata. Pernyataan
pragmatisme disini ialah: dapatkah kita memiliki suatu filsafat yang menyertai
kedua ekstremitas ini? Dapatkah kita memiliki filsafat yang mendasarkan diri
atas fakta, tetapi memperhatikan pula nilai-nilai kehidupan berupa agama dan
harapan?
Pragmatisme, menurut James, memperhatikan tuntutan manusia
dan tuntutan filsafat. Pembangunan kedua-duanya itulah yang disebut meliorisme,
yaitu suatu konsep yang ingin menengahi
kedua ekstremitas tadi. Dengan demikian, pragmatisme James lebih luas dari pada
tough dan tender minded. Namun,
perlu diingat bahwa pada dasarnya pragmatisme adalah suatu metode atau
pendekatan masalah, bukan filsafat yang memberikan jawaban final terhadap
permasalahan manusia. Tatkala James menengahi kedua filsafat yang ekstrem itu,
kelihatanlah pragmatisme itu memihak kepada metode empiris. Akan tetapi, ia
tidak terbatas pada apa yang dapat diindera saja sebagaimana ia tidak hendak
ide yang kompleks dengan semata-mata hasil asosiasi. Karena pragmatisme adalah
empirisme radikal, ia tidak menerima objek spiritual yang abstrak dan statis
secara a priori seperti halnya pemikiran tender
minded. Pragmatisme James dapat
menerima realitas agama dan spiritual selama hal itu berfungsi dalam kehidupan
manusia.[16]
Manfaat Pragmatisme
dalam Ilmu Filsafat
Cara
menentukan baik dan tidak baik juga harus menggunakan pandangan pragmatisme.
Seseorang bertindak tentulah karena mengharapkan suatu hasil. Seseorang
bartindak berbeda dengan yang lain karena hasil yang diharapkan berbeda. Oleh
karena itu, kaidah moral yang umum tidak mungkin.
Mengenai determinisme dan indeterminisme, menurut James,
sains tidak dapat membuktikan hakikat keduanya. Sains tidak dapat menentukan
apakah menentukan apak seseorang bebas ataukah terikat dalam memilih
tindakannya. Pragmatisme melihat hal ini dari segi hasilnya. Determinisme akan
melahirkan pesimisme dan menghilangkan harapan masa depan, jadi tidak membawa
kepada kemajuan. Determinisme mengajarkan bahwa
segala-galanya sudah ditentukan. Ini ternyata tidak dapat dibuktikan
kebenarannyaoleh sains. Di lain pihak, ia menghasilkan optimisme, harapan masa
depan yang cerah. Akan tetapi, karena aliran ini mengajarkan segala-galanya
ditentukan oleh manusia, maka aliran ini juaga mengakibatkan yang tidak baik
bagi moral. Bila orang berbuat berdasarkan rancangannya, maka kekacauan moral
akan terjadi. Kalau begitu, bagaimana?
Pragmatisme menunjukkan jalan tengah. Pragmatisme meyakini
perlunya indeterminisme (free will) karena paham ini berguna bagi
kemajuan. Akan tetap, nilai moral yang dibuat olah orang per orang itu tidak
boleh doabsolutkan. Nila moral tidak boleh statis. Ia dapat berubah dan dapat
lebih dari satu macam, sesuai dengan keperluan dalam tindakan. Jadi, di dalam
free will itu kita akan sampai kepada kebenaran moral, tetapi kebenaran itu
tidak absolut ; ia adalah kebenaran yang belum selesai.[17]
Seperti telah kita lihat, James konsep asli pragmatisme
dari peirce dengan menjadikannya “dapat dipraktekkan” atau “dapat digunakan”
pada semua aspek kehidupan. Ia setuju dengan Peirce bahwa pragmatisme itu
semata-mata metode, bukan doktrin. Akan tetapi karena James melihat pragmatisme
itu dapat diterapkan pada masalah-masalah manusia, ia mengembangkan pragmatisme
tersebut. Selama pragmatisme merupakan metode, itu hanya berarti bahwa dunia
pada dasarnya dikenal lewat pengalaman. James mengembangkan bahwa pragmatisme,
selain sebagai empirisisme, juga berarti konsep yang dinamis dan fungsional
yang dulu gagal diselesaikan oleh empirisisme. Bila pragmatisme itu empiris, ia
harus membimbing kepada empirisme yang dinamis, radikal. Empirisisme radikal
ialah nama yang diberikan oleh James untuk pandangan tentang dunia.[18]
0 Silahkan Berkomentar Blogger 0 Facebook
Post a Comment
Sampaikanlah kritik dan saran anda yang bersifat membangun di kolom komentar untuk kesempurnaan dan kenyamanan anda dalam membaca. Terima kasih atas kerja samanya.