PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsafat
dalam bahasa arab berarti falsafah, dan dalam bahasa yunani philosopia yang
mempunyai arti philos adalah cinta dan sopia adalah pengetahuan atau dalam
artian philosopia adalah cinta kepada kebijaksanaan / kebenaran. Filsafat
membawa kita kepada pemahaman dan tindakan, dalam filsafat juga ada yang
mempelajari tentang Aksiologi yang sangat berguna untuk berfilsafat.
Keingintahuan adalah salah satu pemicu kita untuk berfilsafat, dan begitu juga
dengan keragu-ragu’an, filsafat merupakan pemikiran secara rasional. Jika
mempelajari Aksiologi maka kita telah mempelajari sebagian cara berfilsafat,
dimana berfilsafat itu sangat penting dan jika kita tidak berfilsafat kita
tidak akan maju, itu dalam artian berfilsafat adalah berfikir secara abstrak.Pada awal
penciptaannya, manusia hanyalah makhluk yang tidak tau apa-apa dan karenanya
manusia membutuhkan sebuah petunjuk bagi jalan hidupnya. Manusia memerlukan
guideline agar hidupnya selamat di dunia dan di akhirat. Guideline bagi manusia
adalah agama. Agama adalah petunjuk hidup, melingkupi seluruh aspek dalam diri
manusia, termasuk ilmu pengetahuan.Begitu banyak
penemuan-penemuan ilmiah terbaru di abad modern ini ternyata sudah ditegaskan
oleh Al-Qur’an sejak belasan abad lampau. Dengan adanya bukti ilmiah yang sesuai
dengan kitab suci, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya agama selaras dengan
ilmu pengetahuan. Tidak ada pertentangan antara agama
dengan ilmu pengetahuan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Pengertian filsafat
2. Apa yg di maksud dengan aksiologi
3. Jenis-jenis aksiologi
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FILSAFAT
Pengertian
filsafat secara garis besar adalah ilmu yang mendasari suatu kosep berfikir
manusia dengan sungguh-sungguh untuk menemukan suatu kebenaran yang kemudian
dijadikan sebagai pandangan hidupnya. Sedangkan secara khusus filsafat adalah
suatu sikap atau tindakan yang lahir dari kesadaran dan kedewasaan seseorang
dalam memikiran segala sesuatu secara mendalam dengan melihat semuanya dari
berbagai sudut pandang dan korelasinya. Secara harfiyah atau etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan
kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan katan
majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya
dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia,
yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha
untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah)
atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan
kepandaian atau cinta pada kebijakan. [[1]] Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal
dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala,
fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata benda dari kata falsafa
ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut
Harun banyak terpakai kata filsafat,
padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy
(Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam
bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab
sehingga membentuk istilah filsafat. [[2]]
Secara terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik
dalam ungkapan maupun titik tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis
pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala
sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan
bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato
mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran
asli (hakiki), dan kata Aristoteles
filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di
dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.
Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang menjadi
pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan,
yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya adalah metafisika, (b)
apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika, (c) sampai di
mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu manusia,
jawabannya adalah antropologi. [[3]]
Barangkali karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya
juga relatif sangat beragam, maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah
memberikan definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya filsafat tidak diberikan
defenisi terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya secara serius,
nanti dia akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta ini mendapat dukungan
dari Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya, sebab inti sari filsafat
sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi – khususnya bagi pemula –
sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi itu masih sangat diperlukan.
2. Ilmu
Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang
berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman yang disusun dalam satu system
untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.[[4]]
Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat
dikatakan sebagai pengetahuan yang ilmiah. Pengetahuan yang telah disusun
secara sistematis untuk memperoleh suatu kebenaran. Ilmu pengetahuan merupakan
ilmu pasti. eksak, terorganisir, dan riil.
3. Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal
dari bahasa Sanskerta, āgama yang
berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan.[[5]]
Baik ilmu, filsafat maupun agama
bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan satu hal yang sama), yaitu
kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenarantentang
alam dan manusia Filsafat dengan wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran,
baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula dengan agama, dengan
karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan
manusia tentang alam,[6]manusia
dan Tuhan.[[7]]
Walau demikian baik ilmu, filsafat,
maupun agama juga mempunyai hubungan lain. Yaitu ketiganya dapat digunakan
untuk memecahkan masalah pada manusia. Karena setiap masalah yang di hadapi
hadapi oleh manusia sangat bermcam-macam. Ada persoalan yang tidak dapat
diselesaikan dengan agama seperti contohnya cara kerja mesin yang dapat
dipecahkan oleh ilmu pengetahuan.
B. AKSIOLOGI
Aksiologi
membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal,
teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat,kriteria dan
status metafisik dari nilai.[8]
Problem utama aksiologi ujar runes berkaitan empat faktor [9]:
- Kodrat
nilai berupa problem mengenai apakah nilai itu berasl dari keinginan,
kesenangan, kepentingan, keinginan rasio murni.
- Jenis-jenis
nilai menyangkut perbedaan antara nilai intrinsik, ukuran untuk
kebijaksanaan nilai itu sendiri, nilai-nilai instrumental (baik
barang-barang ekonomi atau peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai
nilai-nilai intrinsik.
- Kriteria
nilai (ukuran nilai yang di butuhkan).
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum,
sebagai landasan ilmu, aksiologi membicarakan untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu di pergunakan?.[10]
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat Nilai, pada umumnya
ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan[11]
Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena mengandung
kualitas-kualitas pengirisan didalam dirinya, sedangkan Nilai Instrumentalnya
ialah pisau yang baik adalah pisau yang dapat digunakan untuk mengiris, [12]jadipenulis
dapat menyimpulkan bahwa Nilai Instrinsik ialah Nilai yang yang dikandung pisau
itu sendiri atau sesuatu itu sendiri, sedangkan Nilai Instrumental ialah Nilai
sesuatu yang bermanfaat atau dapat dikatakan Niai guna.
Situasi Nilai maliputi[13]:
- Suatu
subyek yang memberi Nilai – yang sebaiknya kita namakan “segi pragmatis”.
- Suatu
obyek yang diberi Nilai-yang kita sebut “segi semantis”.
- Suatu
perbuatan peNilaian.
- Suatu
Nilaiditambah perbuatan peniaian.
- Nilai
sepenuhnya berhakekat subyektif.
- Nilai-Nilai
merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontologi namun tidak
terdapat dalam ruang dan waktu.
- Nilai-Nilai
merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
Makna “Nilai”[15]:
- Mengandung
Nilai
- Merupakan
Nilai
- Mempunyai
Nilai
- Memberi
Nilai
A.
NilaiMerupakan Kualitas Empiris Yang Tidak Dapat Didefinisikan
Kualitas ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata
lain, kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari
barang barang tersebut dan dapat membantu melukiskanya.[16]
Kualitas empiris ialah kualitas yang dapat diketahui melalui pengalaman.[17]
Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu
segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat
membantu melukiskannya.[18]
Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui atau
dapat diketahui melalui pengalaman.[19]
Jika Nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek
dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas Nilai-Nilai, tetapi
tidak mungkin sebaliknya. Contoh “pisang itu kuning” tapi saya tidak bisa
mengatakan bahwa “kuning itu pisang”, karna kuning bermacam-macam.[20]
Kenyataan bahwa Nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti Nilai tidak dapat
dipahami. Nilai bersifat subyektif, contoh si A mengatakan bahwa “si gadis itu
cantik”, tapi si B mengatakan bahwa “si gadis itu jelek”[21]
B.
Nilai Sebagai Obyek Suatu Kepentingan
Ada yang mengatakan bahwa masalah Nilai sesungguhnya merupakan masalah
pengutamaan. Contoh ungkapan “perang merupakan suatu keburukan” kiranya
diiringi oleh tanggapan ”saya menentang perang”.
Pandangan orang Amerika dalam bukunya bahwa jika saya mengatakan “x berNilai”
maka dalam arti yang sama saya dapat mengatakan “ saya mempunyaikepentingan
pada x”. Sikap setuju atau menentang tersebut oleh Perry ditunjuk dengan
istilah “kepentingan”.[22]
Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang
dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat.
Masalah nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation,
Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan.
Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan
tujuan.[23]
Menurut perry jika seorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal
tersebut mempunyai Nilai,[24]
jadipenulis dapat menyimpulkan bahwa Nilai ialah kepentingan.
C.
Teori Pragmatis Mengenai Nilai
Sejumlah hal yang telah saya perbincangkan yang bersifat penolakan terhadap
teori Nilai yang didasarkan atas kepentingan kiranya menyebabkan tampilnya
teori lain, yaitu Teori Pragmatis. Pragmatisme mendasarkan diri atas
akibat-akibat, dan begitu pula halnya dengan teori pragmatisme mengenai Nilai.[25]
Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa Teori Pragmatis mengenai Nilai adalah
akibat-akibat dari sesuatu menjadi kita anggap bernilai.
D.
Nilai Sebagai Esensi
Sesungguhnya Nilai-Nilai merupakan hasil ciptaan yang-tahu (subyek yang
mengetahui).[26]
Jika Nilai merupakan Nilai karena kita yang menciptakannya, maka tentu kita
akan dapat membuat baik menjadi buruk dan sebaliknya.[27]
Esensi adalah inti, sesuatu yang menjadi pokok utama, hakikat.[28]
Contoh “Perdamaian merupakan sesuatu yang bernilai”, maka ia memahami bahwa di
dalam hakekat perdamaian itu sendiri terdapat Nilai yang mendasarinya.[29]
Jadi penulis menyimpulkan Nilai sebagi esensi ialah Nilai tentang sesuatu yang
pasti ada dalam setiap sesuatu tersebut.
Esensi tidak dapat di tangkap secara inderawi. Ini berarti bahwa nilai tidak
dapat di lakukan sebagaimana kita memahami warna.
C. JENIS-JENIS AKSIOLOGI
1. AKSIOLOGI SAIN
1)
Kegunaan pengetahuan sain
Apa guna atau nilai dari Sain ? secara umum teori berarti pendapat yang
beralasan, sekurang-kurangnya kegunaan teori Sain ada tiga yakni[30]:
a. Sebagai
alat membuat eksplanasi
Menurut teori Sain anak-anak yang orang tuanya cerai, pada umumnya akan
berkembang menjadi anak nakal, penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak
mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya.
b. Teori
sebagai alat peramal
Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengatahui juga faktor
penyebab terjadinya gejala itu, dengan “mengutak-atik” faktor penyebab itu,
ilmuwan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa ilmuwan ramalan itu di sebut
prediksi.
c. Teori
sebagai alat pengontrol
Ayah dan ibu sudah cerai. Diprediksi anak-anak mereka akan nakal. Adakah upaya
agar anak-anak nakal ? Ada, upaya itulah yang di sebut kontrol.
2)
cara sain menyelesaikan masalah
Adapun caranya adalah[31]
:
a.
Mengidentifikasi masalah
b. Mencari
penyebab terjadiny masalah tersebut
c. Mencari
cara untuk memperbaiki masalah
3)
Netralitas Sain
Artinya sain tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada kejahatan.[32]
2.
AKSIOLOGI FILSAFAT
1)
Kegunaan pengetahuan filsafat
Adapun kegunaanya adalah[33]:
a. Fisafat
sebagai kumpulan teori filsafat
b. Sebagai
metode pemecah masalah
c. Sebagai
pandangan hidup
2)
Cara filsafat menyelesaikan masalah
Filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal, secara mendalam
berarti filsafat ingin mencari asal masalah, dan secara universal berarti
filsafat ingin, masalah dilihat dalam hubungan seluas-luasnya.[34]
3.
AKSIOLOGI MISTIK
1)
Kegunaan pengetahuan mistik
Di kalangan para sufi biasanya pengetahuan dapat mententramkan hati mereka,
pengetahuan mistik sering dapat menyelesaikan persoalan yang tidak dapat di
selesaikan oleh filsafat dan sain.[35]
2)
Cara pengetahuan mistik menyelesaikan masalah
Pengetahuaan mistik tidak menyelesaikan masalah dengan proses inderawi dan
tidak juga melalui proses rasio. Mistik ialah kegiatan spiritual tanpa
penggunaan rasio, sedangkan “mistik-magis” adalah kegiatan mistik yang
mengandung tujuan-tujuan untuk memperoleh sesuatu yang diingini penggunanya.[36]
Mistik magis dibagi menjadi dua yaitu mistik magis putih yaitu mistik magis
yang kebanyakan digunakan untuk mengobati.[37]
Pemilik mistik magis putih ini menyadari bahwa kekuatan tuhan baik yang ada
dalam diri-Nya atau yang ada dalam firmanya dapat di gunakan oleh manusia, dan
mistik magis hitam yaitu mistik yang digunakan untuk meningkatkan harga diri
dan dikatakan hitam karena penggunanya untuk kejahatan.[38]
[11] Soejono Soe
Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta:
1986. Hal 327
[12] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 328
[13] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff.
Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 329
[14] Soejono Soe
Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta:
1986. Hal 331
[15] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 332
[16] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 332
[17] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 333
[20] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 334
[21] Soejono Soe
Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta:
1986. Hal 335
[22] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff.
Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 337
[24] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 338
[25] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 339
[26] Soejono Soe
Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta:
1986. Hal 344
[27] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 345
[29] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis
O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta: 1986. Hal 345
0 Silahkan Berkomentar Blogger 0 Facebook
Post a Comment
Sampaikanlah kritik dan saran anda yang bersifat membangun di kolom komentar untuk kesempurnaan dan kenyamanan anda dalam membaca. Terima kasih atas kerja samanya.