I. PENDAHULUAN


     A. Latar Belakang Masalah

Peristiwa penting di dalam perjalan sejarah umat Islam,  yaitu  peristiwa Am’ al-Jamaah (rekonsiliasi umat Islam)  di  Maskin, dekat  Madain,  Kufah, pada tahun 41 H/661 M. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Peristiwa ini di tandai dengan prosesi penyerahan kekuasaan (khalifah) dari tangan Hasan bin bin Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah berkuasa lebih kurang 6 bulan. Hasan bin Ali melakukan sumpah setia dan mengskui Muawiyah bin Abi Sufyan  sebagai pemimpin umat Islam. Pengakuan itu kemudian diikuti oleh para pendukungnya di kota Kufah, Irak.
Meskipun kekuasaan Hasan bin Ali sangat singkat, peristiwa itu mengundang makna yang sangat penting di dalam proses perjalanan panjang sejarah politik umat Islam, karena masa-masa itu merupakan masa peralihan dari pemerintahan kahlifah yang bersifat demokratis. Menjadi pemerintahan khalifah yang monarchi heridities, yaitu masa pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M).

B.       Rumusan Masalah

1.    Bagaimana riwayat hudup Muawiyah Bin Abu Sofyan?
2.    Bagaimana  pembentukan  dinasti  Bani Umayyah?
3.    Bagaimana usaha Muawiyah Bin Abi Sufyan dalam mempertahankan kekuasaan?

C.      Tujuan Penulisan

1.    Untuk mengetahui riwayat hudup Muawiyah Bin Abu Sofyan.
2.    Untuk mengetahui pembentukan  dinasti  Bani Umayyah.
3.    Untuk mengetahui usaha Muawiyah Bin Abi Sufyan dalam mempertahankan kekuasaan.


II. PEMBAHASAN


A.      Riwayat Hudup Muawiyah Bin Abu Sofyan

Muawiyah bin Abi Sufyan dilahirkan di Mekkah pada tahun 600 Masehi, empat tahun sebelum Nabi SAW menerima wahyu pertama dan wafat pada tahun 680 M di Damaskus.  Nama lengkapnya adalah Muawiyah bin Abi Sufyan Sakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay. Ia seorang bangsawan dari suku Quraish. Nama panggilannya, Abu Abd. Ar-Rahman, digelari dengan “paman orang mukmin”. Ibunya bernama Hindun binti Rabi’ah bin Abdi Syams. Sedang bapaknya bernama Abu Sufyan, seorang Quraish  pada mulanya sangat membenci Nabi. Tetapi akhirnya masuk Islam setelah ia mendapat jaminan berupa keamanan dengan berlindung dirumahnya pada peristiwa penaklukkan Kota Mekkah.
Muawiyah bin Abi Sufyan  mempunyai beberapa isteri dan anak. Yang pertama, Masyun binti Unaif al-Qalbiyah. Dari perkawinan ini lahirlah Yazid yang kelak menggantikan posisi Muawiyah sebagai Khalifah. Isteri kedua, Fakhitah binti Karazat bin Amr bin Naufal bin Abdi Manaf, lahirlah Abdul Rahman dan Abdullah. Ketiga, Nailah binti Ammarah al-Kalbiyah dan isteri keempat, Katwah binti Karazat yang merupakan saudara dari isteri keduanya, isteri ketiga diceraikan dan yang keempat meninggal dunia.
Para ahli sejarah memberi penilaian yang berbeda-beda mengenai pribadi yang terdapat pada muawiyah ini. Menurut Syed Mahmudunnasir, dalam diri muawiyah ini digabungkan sifat-sifat seorang penguasa, politikus dan administrator. Ia seorang peneliti sifat manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia. Ia berhasil memanfaatkan para pemimpin, politikus, administrator yang paling ahli kala itu. Sedangkan menurut Philip K Hitti, muawiyah memiliki watak dan kecakapan yang luar biasa. Ia biasa mengambil tindakan tegas jika dalam posisi terpaksa serta selalu berusaha menguasai keadaan.
Muawiyah menjadi teladan dalam kesabaran, kecerdikan, toleransi, pengendalian diri, dan pemberian maaf ketika mampu. Dia mengetahui bagaimana cara menarik perhatian musuh-musuhnya dan para penantangnya yaitu dengan kesabaran dan kewibawaannya, seperti yang dilakukan Nabi terhadap orang-orang yang baru masuk Islam; selain dengan keyakinannya sendiri bahwa biaya perang dan resikonya lebih tinggi di bandingkan pemberian yang mesti ia bagikan untuk meredam penentangnya.
Muawiyah pernah berkata: “ Aku tidak akan menggunakan pedangku selama salama cambukku sudah cukup, aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa mengatasi. Jika ada rambut yang membentang antar diriku dan orang yang menentang diriku, maka rambut itu tidak akan pernah putus selamanya. Jika mereka mengulurnya, maka aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurkannya”.  Sehingga setelah itu, terkenallah Muawiyah dengan ungkapan Rambut Muawiyah dikalangan bangsa Arab hingga saat ini.[1]

B.       Pembentukan  Dinasti  Bani Umayyah

Dinasti adalah keturunan raja-raja yang memerintah yang semuanya berasal dari satu keluarga.[2] Dinasti bani umayyah merupakan keturunan keluarga bani umayyah yang memerintah setelah jaman Khulafaurrasyidin secara turun-temurun. Khalifah pertama dinasti ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, walaupun sebenarnya kurang tepat dikatakan sebagai khalifah. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalampengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah SWT.[3] Dalam kenyataannya, bentuk pemerintahan yang sebelumnya bersifat demokratis, diubah oleh Muawiyah menjadi monarki heridetis. Muawiyah juga salah seorang yang ahli dan paling menguasai dunia politik, cerdik, ahli siasat, penguasa yang kuat dan bagus planingnya dalam urusan pemerintahan. Muawiyah  ibn  Abi Sofyan diangkat  Khalifah menjadi gubernur bagian utara Jazirah Arab  walaupun  Abu Ubaidah  ibn  Jarrah yang ditunjuk menjadi Panglima Perang ke wilayah utara itu.[4] Ia  menjadi gubernur selama dua puluh dua tahun  (pada masa khalifah Umar dan Usman, 13-35 H.) dan  menjadi khalifah selama dua puluh tahun (40-60 H).[5]
Sementara dalam Perkembangan Peradaban Islam Muawiyah bin Abi  Sofyan,  Abdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit, bertindak  sebagai  sekretaris penulis wahyu  Rasulullah saw,  mereka diperintahkan Nabi menulis wahyu yang baru saja diterimanya. Mereka menulisnya di pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang.[6]
Pengalaman berpolitik Muawiyah telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan-kebijaksanan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando panglima besar Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Syiria dan Mesir dari tangan imperium Romawi, lalu menjabat sebagai gubernur di Syam yang membawahi Syiria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Umar.
Keberhasilan Muawiyah dalam pembentukan Dinasti Bani Umayyah ini bukan semata-mata hanya karena kemenangannya pada peristiwa arbitrase dan terbunuhnya Khalifah  Ali. Ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya dimasa depan.  
Pertama, dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Rakyat Syiria yang patuh dan setia pada Muawiyah, mempunyai laskar ketentaraan yang kokoh, terlatih, disiplin, dan berpengalaman dalam peperangan.
Keduasebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada tempat-tempat strategis. Mereka adalah ‘Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi.
Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai seorang negarawan sejati. Ia dapat segera menguasai dirinya ketika akan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.[7]

C.      Usaha Muawiyah Bin Abi Sufyan Dalam Mempertahankan Kekuasaan

Langkah strategis yang dilakukan Muawiyah setelah mendapatkan jabatan dari Hasan bin Ali pada tahun 41 H/661 M adalah :
1.   Meminta Pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali
Muawiyah bin Abi Sufyan meminta kepada Hasan bin Ali untuk menjelaskan hasil kesepakatan yang telah dicapai antara Hasan Bin Ali dengan Muawiyah dalam sebuah pertemuan di maskin kepada para pendukungnya. Muawiyah berharap, dengan cara seperti ini, ia akan berhasil menjalankan roda pemerintahan tanpa harus mendapatkan banyak perlawanan atau penolakan dari kelompok yang kurang setuju atas hasil kesepakan tersebut. selain itu, pelimpahan kekuasaan yang terjadi dari tangan Hasan ke tangan Muawiyah akan terjadi semakin kuat posisi dan kedudukan Muawiyah karena mendapat dukungan yang relatif cukup kuat dari penduduk Kufah, Basrah dan para penduduk kota-kota lainnya.
Permohonan Muawiyah telah disetujuinya, Hasan bin Ali kemudaia mengumpulkan para sahabat setianya di kediaman Madain, sebelum memberikan penjelasan lebih jauh kepada para sahabat setianya di Masjid Kufah. Di dalam pertempuran itu Hasan menjelaskan bahwa dirinya telah menyerahkan kekuasan kepada Muawiyah dan telah mengakui Muawiyah sebagai pemimpin. Oleh karena itu, sekali lagi lagi Hasan meminta agar mereka melakukan seperti apa yang dilakukannya, yaitu menjadikan Muawiyah sebagai pemimpin mereka, dan jangan sekali-kali membantahnya bila telah melakukan bai’at kepadanya.
Sebagai penegasan atas pelimpahan khalifah tersebut, kembali Hasan bin Ali pergi ke Masjid Kufah untuk memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan mengakuinya sebagai khalifah. Setelah umat Islam berkumpul di Masjid, Hasan bin Ali di minta oleh Amr bin Al-Ash melalui Muawiyah untuk memberikan penjelasan kepada para sahabat setianya mengenai pristiwa yang telah terjadi di Maskin itu. Ketika itu, hadir tokoh-tokoh penting, baik dari pihak Hasan bin Ali maupun baik pihak Muawiyah bin Abi Sufyan. Dari pihak Hasan bin Ali hadir antara lain, Abdullah bin Abbas, Qays bin Sa’ad, Abu Ja’far, Abu Amir, dan lainnya. Sementara dari pihak Muawiyah hadir antara lain, ’Amr bin Al-Ash, Abu Al-A’war Al-Sulma, ’Amr bin Sufyan.
Di dalam masjid Kufah inilah, Hasan bin Ali memberikan penjelasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan mau mengakuinya sebagai khalifah. Mereka bergiliran memeberikan sambutan masing-masing. Sebelum Muawiyah meminta umat Islam mengakui kepemimpinannya, terlebih dahulu Hasan diminta untuk memberikan penjelasan kepada pendukung setianya. Baru kemudian Muawiyah yang berbicara dan memberikan penjelasan penting mengenai perjanjian perdamain yang telah di sepakati bersama antara dirinya dan Muawiyah bin Abi Sufyan, dengan berbagai konsekuensinya. Antara lain, mereka diminta melakukan apa yang telah di sepakati dan mentaati perintah Muawiyah yang kini telah menjadi pemimpin mereka.
Setelah memberikan penjelasan kepada pengikutnya, maka secara de Jure atau secara legal, Muawiyah telah menjadi nomor satu di dunia Islam kala itu. Dengan kata lain, sejak saat itulah berdirinaya dinasti Bani Umayyah pada tahun 661 M.
2.    Memindahkan Pusat Kekuasaan ke Damaskus
Setelah Muawiyah memperoleh pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali, maka langkah yang dilakukan selanjutnya adalah usahanya memindahkan pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus. Pemindahan ini dilakukan karena di kota itulah pusat kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan sebenarnya. Di kota itulah para pendukung setianya berada. Dari kota Damaskus Muawiyah mengendalikan pemerintahan dan mengatur berbagai kebijakan politik
Alasan lainnya Muawiyah memindahkan pusat kekhalifahan adalah : karena Kota Damaskus memiliki letak yang sangat strategis bagi Muawiyah untuk mengambangkan kekuasaanya ke bakas-bekas wilayah kekuasaan kerajaan Romawi di bagian utara. Letak strategis itu tidak hanya dari sisi politik militer, juga dari sisi ekonomi. Sebab kota Damaskus. Syiria terletak di dekat laut Tengah (Laut Mediterania) yang merupakan jalur perdagangan ke Eropa.
Upaya yang dilakukan Muawiyah ini memang sangat strategis. Sebab, selain alasan politik, ekonomi dan perdagangan , Damaskus juga pernah menjadi Wilayah jajahan Romawi dan Persia. Dua kerajaan yang pernah mempunyai masa kejayaan yang di tinggalkan di kota tersebut. Karena itu wajar bila kemudian pada masa pemerintahan Muawiyah dan para penerusnya banyak terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, peradapan dan sebagainya.
Muawiyah bin Sufyan dalam usahanya memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, merupakan sebuah langkah yang tepat ketika itu. Sebab bila tidak di lakukan dengan segera, kemungkinan ia akan banyak menghabiskan energi dan waktu hanya sekedar untuk menghalau mereka yang tidak senang atas kepemimpinan Muawiyah. Selain itu, kemungkinan besar ia tidak memiliki banyak peluang untuk mengembangkan kemampuanya di dalam membangun sebuah cita-cita diri dan kablahnya untuk menjadi penguasa tunggal di dunia Islam.
3.    Mengangkat Para Pejabat Gubernur
Setelah  Muawiyah berhasil memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, maka langkah selanjutnya adalah mengangkat para pejabat yang akan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan. Orang-orang tersebut dipercaya untuk memangku jabatan yang amat strategis di wilayah kekuasaan Muawiyah guna mempertahankan keutuhan wilayah dan kekuasaan yang ada. Mereka menjabat sebagai gubernur yang tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan dinasti Bani Umaiyah di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muawiyah bin Abi Sufyan sejak usia remaja telah nampak jiwa kepemimpinannanya,  beliau memiliki sifat dan kepribadian sampai pada tingkat hilm yang terkenal dimiliki orang-orang Mekkah. Muawiyah di gambarkan sebagai orang yang tidak mudah terpancing emosi, tidak mudah bingung, selalu melalui pertimbangan yang masak dalam menentukan atau mengambil sebuah keputusan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakanya dalam mengangkat para pejabat dan bawahanya yang akan menjadi pembantu setianyadi dalam menjalankan roda pemerintahan. Misalnyasaja soalpengangkatan gubernur daerah yang akan menjadi pejabat di wilayah yang berada di bawah kekuasaanya.
Muawiyah bin Abi Sufyan telah memilih beberapa orang yang dapat memperkuat posisi kepemimpinannya. Mereka adalah Amr bin Al-Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Kedua orang yang di sebutkan itu, Amr dan Al Mughirah bin Syu’bah, memiliki peran yang sangat penting, baik sebelum atau sesudah Muawiyah menjadi khalifah. Sementara Ziyad baru memainkan peran pentingnya ketika ia di beri kesempatan oleh Muawiyah untuk menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan Bani Umaiyah, yaitu gubernur Basrah.
Salah satu alasan Muawiyah merangkul  Amr bin Al-Ash, adalah karena ia telah memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah taktik dan strategi politik dan peperangan yang sebanding dengannya. Ia kemudian di ajak kerjasama dalam mengahadapi kekuatan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian setelah itu diberi kepercayaan untuk menaklukan Mesir dan setelah berhasil Amr di percaya menjadi gubernur kota itu. Setelah Muawiyah bin Abi Sufyan berhasil mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat luas, khususnya para pendukung Ali dan Hasan di Kufah dan Basrah, jabatan tersebut tetap di percayakan kepada Amr bin Al-Ash. Pemberian jabatan ini karena Muawiyah tau persis kemampuan yang di miliki Amr dan kekuatan yang ada padanya. Amr berkuasa sebagai gubernur selama kurang lebih dua tahun (41-43 H).
Selain merangkul Amr bin Al-Ash, Muawiyah juga mengangkat  Al-Mhugirah bin Syu’bah. Ia memiliki potensi besar dengan dukungan masa ynag cukup banyak di kotanya. Karena itu, ketika Muawiyah berkuasa sebagai khalifah, ia melihat Al-Mughirah sebagai seorang tokoh potensial yang perlu di rangkul dengan jabatan strategis di wilayah Kufah, jabatan yang pernah di dipegang selama satu tahun atau dua tahun ketika Umar bin Khattab berkuasa yang mencakup pula wilayah Syiria. Ia mengaku jabatan ini selama lebih kurang satu dasawarsa hingga ia wafat pada tahun 50 H. Setelah ia wafat, wilayah kekuasaanya di gabungkan Muawiyah ke dalam wilayah pemerintahan gubernur Ziyad bin Abihi.
Tokoh lainnya yang dianggap perlu diangkat adalah: Ziyad bin Abihi. Dalam pandangan Muawiyah, orang seperti Ziyad juga perlu mendapatkan perhatian dan kedudukan khusus di pemerintahan. Sebab, Ziyad bin Abihi, meskipun sedikit memiliki pengaruh keluarga atau klan, karena Ziyad di beritakan tidak memiliki ayah yang jelas yang kemudian orang mengenalnya dengan sebutan Ziyad bin Abihi tetap saja menjadi orang yang di perhitungkan oleh Muawiyah, bukan hanya karena reputasinya, juga karena dari penelusuran silsilah atau asal usulnya, ternyata Ziyad di ketahui anak seorang ibu yang sebenarnya budak Abi Sufyan yang berasal dari Thaif yang beralih tangan al-Harits bin Kaldah sebelum Ziyad lahir. Karenanya, Ziyad juga sering di sebut dengan Ziyad bin Abi Sufyan.
Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa, Ziyad di tunjuk sebagai gubernur Basrah dengan tugas khusus di persia bagian selatan. Karenanya ketika Ali wafat, dan Hasan memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dalam peristiwa Am al-Jama’ah di maskin tahun 661 M/41 H, ia pindah ke persia sembunyi di sana. Hal itu di  lakukan karena ia merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena ia telah menolak ajakan Muawiyah agar Ziyad mau bergabung bersamanya yang telah mengakuinya sebagai saudara seayah .
Berkat kecerdikan Muawiyah dan kepiawaian, maka Muawiyah akhirnya mampu mempengaruhi Ziyad untuk bergabung dengannya, bahkan Muawiyah mengikatnya dengan ikatan perkawinan antara putri Muawiyah dengan putra Ziyad bernama Muhammad bin Ziyad. Dengan cara-cara seperti itu, akhirnya Ziyad mau menyatakan bersedia bergabung dan secara otomatis mengakui keberadaan khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Hal tersebut dilakukan Muawiyah karena ia melihat potensi besar yang dimiliki Ziyad dalam masalah kemiliteran dan keteguhan dalam mempertahankan prinsip yang dimilikinya.
Ditempat tugas barunya inilah Ziyad  menyampaikan pidato perdananya kepada masyarakat Basrah. Pidato yang disampaikan sangat mengagumkan dan sekaligus menggetarkan sendi-sendi orang yang berusaha menentang kekuasaannya atau kekuasaan Muawiyah. Pidatonya itu di kenal dengan pidato batra, karena tidak dimulai dengan ucapan basmalah. Isi pidatonya sangat jelas dan menelanjangi kejahatan-kejahatan penduduk Basrah. Ia mengulurkan ancaman-ancaman keras terhadap mereka yang tidak patuh.  Dalam pidatonya itu, ia juga bersumpah kalau tidak hanya akan menghukum mereka yang berdosa, juga menghukum tuan lantaran dosa hamba sahaya, dan seterusnya.
Diantara isi pidato Ziyad adalah sebagai berikut:
Kebencian pada diriku tidak akan aku hukum hanya kejahatan (yang kuhukum). Banyak yang berduka karena kedatanganku akan bergembira, dan mereka yang berduka akan berduka. Aku datang kepada kalian atas kehendak Allah untuk memerintahmu dan mengawasi kesejahteranmu. Maka menjadi kewajibanmulah untuk mendengar dan mematuhikudalam hal yang kupandang baik, dan hak kamulah untuk menuntutku agar berbuat adil dalam tanggung jawabku. Dalam beberapa hal aku memiliki kekurangan, tetepi ada tiga hal yang aku bertekad untuk tidak kekurangan. Aku akan mendengar permohonan-permohonanmu, bahkan jika kamu datang mal;am hari, aku tidak akan menahan makanan dan tunjangan-tunjanganmu melewati waktunya, dan aku tidak akan mengirim kamu ke medan perang untuk waktu yang lama. Doakanlah kesejahteraan pemimpin-pemimpinmu, karena mereka adalah penguasamu yang membenarkanmu dan tempetmu memperoleh pertolongan. Janganlah hatimu dipenuhi kedengkian dan kemarahan pada mereka, karena tidak baik bagimu. Jika kamu melihatku masalahmu dengan baik, maka berterima kasihlah. Saya melihat di antara kamu ada banyak bangkai, hati-hatilah jangan sampai ada di antara kamu yang akan menjadi bangkai pula.”
Mendengar pidato Ziyad tersebut, banyak penduduk Basrah dan orang-orang yang mencoba berusaha melawannya, berdiri, merinding dan ketakutan. Karena dengan tegas dan sangat jelas, bahwa Ziyad akan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang membangkang dan tidak patuh terhadap pemimpin yang telah mereka akui keneradaanya. Selain itu, juga membawa angin segar bagi para penduduk yang mau bekerja sama dengannya dalam membangun dan mempertahankan keutuhan wilayah Islam. Bahkan ia berjanji akan membuka pintu rumahnya bagi mereka yang ingin menyampaikan keluhan dan saran yang baik guna kemajuan atau kemaslahatan umat dan negara.
Pidato Ziyah yang begitu tegas dan transparan tersebut, membuat suasana jadi tegang dan tidak memberi peluang bagi mereka yang ingin berbuat kecurangan atau berbuat tidak adil. Bagi mereka yang mau melakukan pemberontakan, akan berfikir ulang untuk merealisasikannya. Karena mereka tau benar siapa Zayid bin Abihi. Ia di kenal tegas dan tidak pandang bulu ketika menjatuhkan sanksi hukum. Hal itu dapat dilihat, misalnya ketika memperlakukan jam malam. Al-Thabary menceritakan bahwa Ziyad pernah menjatuhkan hukum pancung pada seorang musafir yang tertangkap pada malam hari oleh penjaganya. Padahal, musafir itu tidak mengetahui adanya jam malam dengan adanya keluar bagi masyarakat, dan bagi mereka yang melanggar peraturan itu, akan di hukum pancung. Oleh karena itu, ketika musafir itu di bawah ke hadapan Ziyad, gubernur itu
mengintrograsinya. Ziyad bertanya : apakah engkau tidak mengetahui (mendengar) adanya peraturan pelanggaran adanya jam malam? Musafir itu menjawab. Demi Allah, aku tidak mendengarnya. Aku seorang musafir yang kemalaman, karena itu aku berhenti di padang pasir menuggu datangnya fajar subuh, dan aku tidak tau adanya larangan keluar malam. Ziyad menjawab: ”Aku kira egkau benar, tetapi demi kemaslahatan rakyat, engkau harus dibunuh.”
Ziyad merupakan sosok pemimpin yang tegas dan tidak plin-plan. Ia teguh mempertehankan prinsip dan semuanya itu dilakukan untuk menegakkan peraturan yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain dapat di katakan bahwa ketegasan yang di perlihatkan oleh Ziyad sebagai seorang penguasa lokal dan wujud dari seorang khalifah yang berkuasa, justru menjadi momen penting dan bahkan sangat kondusif untuk membangun citra pemerintahan Muawiyah di daerah Basrah dan sekitarnya, sehingga mereka yang ingin berlaku macam-macam untuk melanggar atau menentang kekuasaanya, akan berhadapan denganya dan hidupnya akan berakhir di ujung pedang.
Muawiyah selain memberikan jabatan kepada tiga tokoh di atas juga memberikan jabatan kepada Marwan bin Al-Hakam untuk diangkat menjadi gubernur Madinah, Mekkah dan Tha’if. Marwan memegang jabatan itu hingga Muawiyah wafat pada tahun 680 M. Di antara alasan mengapa Muawiyah memberikan jabatan itu kepada Marwan adalah karena Marwah masih saudara sepupu Muawiyah yang telah banyak memberikan Investasinya untuk mendudkung gerakan Muawiyah memperoleh posisi penting dalam dunia Islam menjadi nomor satu, terutama pasca kematian khalifah Usman dan perjalanan karier politik Muawiyah bin Abi Sufyan.
Kecerdasan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai seorang pemimpin politik nampak dari strateginya dalam merekrut tokoh-tokoh penting yang memiliki pengaruh dan daerah kekuasaan sebagaimana para tokoh-tokoh di atas. Dengan mengangkatnya beberapa tokoh di atas, maka posisi Muawiyah sebagai seorang pemimpin semakin kuat.[8]



[1] http://macam2-artikel.blog.spot.co.id/2015/12/makalah-muawiyah-ibn-abi-sufyan.html di akses pada tanggal 22 November 2017
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Cet. VII, Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 235
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Cet. XV; Jakarta: Raja Grafindo 2003), h. 42
[4] Syamruddin Nasution,  Sejarah Peradaban Islam,  (cet; 3 Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau 2013), h. 72
[5] Ibid, h. 103
[6] Ibid, h. 76
[7] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 70-71
[8] http://paradigmakaumpedalaman.blog.spot.co.id/2012/06/muawiyyah-bin-abi-sufyan-sejarah.html di akses pada tanggal 21 November 2017

0 Silahkan Berkomentar Blogger 0 Facebook

Post a Comment

Sampaikanlah kritik dan saran anda yang bersifat membangun di kolom komentar untuk kesempurnaan dan kenyamanan anda dalam membaca. Terima kasih atas kerja samanya.

 
Copyright © 2014 -. Member Blog ( Mb ) All Rights Reserved. Powered by Blogger
Privacy Policy Top