Selam manis buat para pembaca semoga materi ini bisa membantu anda semua..
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Kata Kurikulum mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia
pendidikan lebih kurang sejak satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul
untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. Pada
tahun itu kata kurikulum digunakan dalam bidang olahraga, yakni suatu alat yang
membawa orang dari star sampai kefinish. Barulah pada
tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti
sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan.[1]
Pengertian kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori
dan praktik pendidikan. Dalam pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan
sejumlah mata pelajaran yang harus disampaikan oleh guru dan dipelajari oleh
siswa. Pandangan ini menekankan pengertian kurikulum pada segi isi. Dalam
pandangan yang muncul kemudian, penekanan terletak pada pengalaman belajar.
Dengan titik tekan tersebut, kurikulum diartikan sebagai segala pengalaman yang
disajikan kepada para siswa dibawah pengawasan atau pengarahan sekolah.[2]
Ada sejumlah ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa kurikulum
bukan hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga
peristiwa-peristiwa yang terjadi dibawah pengawasan sekolah, jadi selain
kegiatan kurikuler yang formal juga kegiatan kurikuler yang tidak formal.
Kegiatan kurikuler yang tidak formal ini sering disebut ko-kurikuler dan
ekstra-kurikuler.[3]
Untuk sekolah yang bersangkutan, kurikulum sekurang-kurangnya
memiliki dua fungsi: Sebagai alat untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan; dan Sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendidikan sehari-hari.[4]
Keutamaan mempelajari kurikulum bagi seseorang yang menekuni dunia
pendidikan adalah suatu kegiatan yang tidak boleh terlewatkan, karena berbicara
pendidikan berarti berbicara kurikulum yang ada didalamnya. Dengan demikian,
ditandai dengan adanya kurikulum maka dalam makalah ini yang akan di bahas
mengenai isi kurikulum berdasarkan para pekar pemikir Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana penentuan isi kurikulum
pendidikan Islam?
2.
Bagaimana pemikiran ulama tentang isi
kurikulum?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui penentuan isi kurikulum pendidikan Islam.
2.
Untuk
mengetahui pemikiran ulama tentang isi kurikulum.
A.
Penentuan Isi Kurikulum
Pendidikan Islam
Sebelum
mengetahui apa saja isi kurikulum pendidikan Islam, terlebih dahulu harus
diketahui mengenai syarat-syarat yang diajukan dalam perumusan kurikulum, yaitu
sebagai berikut.
1.
Materi
yang tersusun tidak menyalahi fitrah manusia.
2.
Adanya
relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagai upaya mendekatan diri
dan beribadah kepada Allah swt dengan penuh ketakwaan dan keikhlasan.
3.
Disesuaikan
dengan tingkat perkembangan dan usia peserta didik.
4.
Perlunya
membawa perta didik kepada objek empiris, praktik langsung, dan memiliki fungsi
pragmatis, sehingga mereka mempunyai keterampilan-keterampilan yang nyata.
5.
Penyusunan
kurikulum bersifat integral, terorganisasi dan terlepas dari segala kontradiksi
antara materi satu serta materi lainnya.
6.
Materi
yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah yang mutakhir, yang
sedang dibicarakan dan relevan dengan tujuan Negara setempat.
7.
Adanya
metode yang mampu menghantar tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan
perbedaan masing-masing individu.
8.
Materi
yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan peserta didik.
9.
Memperhatikan
aspek-aspek sosial, misalnya Da`wah Islamiyah.
10.
Materi
yang disusun mempunyai pengaruh positif terhadap jiwa peserta didik, sehingga
menjadikan kesempurnaan jiwanya.
11.
Memperhatikan
kepuasan pembawaan fitrah, seperti memberikan waktu istirahat dan refreshing
untuk menikmati suatu kesenian.
Isi kurikulum berkaitan dengan pengetahuan ilmiah dan pengalaman
belajar yang harus diberikan kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan. Untuk menentukan isi kurikulum tersebut harus disesuaikan dengan
tingkat dan jenjang pendidikan, perkembangan yang terjadi di masyarakat,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping juga tidak terlepas
dari kaitannya dengan kondisi anak didik (psikologis anak) pada setiap jenjang
pendidikan.
Beberapa alasan perlunya pilihan isi kurikulum yang didasarkan
pada luasnya ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam,
dan ilmu pengetahuan humaniora, dan sebagainya) sehingga tanpa adanya pilihan
isi kurikulum, bisa mengaburkan dalam pelaksanaan pendidikan, karena dapat
terjadi apa yang dipelajari di sekolah beraneka ragam coraknya, sehingga apa
yang ditetapkan dalam tujuan umum pendidikan tidak tercapai sebagaimana semestinya.[6]
Isi Kurikulum Pendidikan
Islam menyangkut materi pembelajran yang terdapat dalam kurikulum pendidikan
Islam pada masa sekarang nampaknya semakin luas. Hal ini karena dipicu oleh
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya, selain juga semakin beratnya
beban yang ditanggung oleh pihak sekolah sebagai penyelenggaa pendidikan. Oleh
karena tuntutan perkembangan yang demikian pesatnya maka para perancang
kurikulum pendidikan Islam juga dituntut untuk memperluas cakupan yang
terkandung dalam kurikulum pendidikan Islam, antara lain berkaitan dengan
tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran dan pendidikan.[7]
B.
Pemikiran Ulama Tentang Isi Kurikulum
Berikut
ini beberapa pemikir ulama tentang isi kurikulum pendidikan Islam di antaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Pemikiran Al-Abrasyi, Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakir Tentang Isi Kurikulum
Sebagaimana
dikutip oleh alAbrasyi, bahwa Kurikulum Pendidikan Islam terbagi dalam dua
tingkatan, yaitu: Tingkatan pemula (manhaj ibtida’i) yang mencakup materi
kurikulum pemula difokuskan pada pembalajaran al Qur’an dan as Sunnah, dan
tingkatan atas (manhaj‘ali) yakni kurikulum yang mempunyai dua kualifikasi,
yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti ilmu syari’ah
yang mencakup fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam dan ilmu- ilmu yang ditujukan
untuk ilmu-ilmu lain, dan bukan berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti, ilmu
bahasa, matematika dan mantiq (logika). Sedangkan Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir mengambil isi Kurikulum Pendidikan Islam yang berpijak pada
QS.Fushshilat ayat 53 :
Terjemahnya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaa) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (anfus), sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup
(bagikamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”
Dalam ayat ini terkandung tiga isi
Kurikulum Pendidikan Islam, yaitu:
1.
Isi
kurikulum yang berorientasi pada “ketuhanan” Ilmu ini meliputi ilmu kalam,
fiqh, akhlaq/tasawuf, ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan lain- lain.
2.
Isi
kurikulum yang berorientasi pada “kemanusiaan”. Ilmu ini berkaitan dengan
perilaku manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial, berbudaya dan
berakal.Ilmu ini meliputi ilmu sejarah, politik, bahasa, filsafat, psikologi
dan lain-lain.
3.
Isi
kurikulum yang berorientasi pada “kealaman”. Ilmu ini berkaitan dengan alam
semesta, seperti : ilmu fisika , kimia, pertanian, perikanan, biologi
danlain-lain.
2.
Pemikiran Imam Al-Gazali dan Ibnu Khaldun Tentang isi Kurikulum
Pandangan
al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu
pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib
dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.
Ilmu
yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia
di dunia maupun di akhirat, misalnya ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu
perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat dan akan meragukan
terhadap adanya Tuhan. Oleh karena itu, ilmu ini harus dijauhi.
2.
Ilmu
yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu
ini bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dari
kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3.
Ilmu
yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini
dapat membawa kepada kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan Tuhan), misalnya
ilmu filsafat.
Dari
ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua kelompok
ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu :
1.
Ilmu
yang hukum mempelajarinya Fardhu „ain yang wajib dipelajari oleh setiap
individu, misalnya ilmu agama dan cabang-cabangnya, ilmu yang bersumber pada
kitab Allah SWT.
2.
Ilmu
yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk
memudahkan urusan duniawi, seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik,
ilmu pertanian dan industri.
Dalam
istilah lain Prof. Jalaluddin membagi ilmu pengetahuan menurut al-Ghazali
kepada :
1.
Ilmu
syari‟at sebagai ilmu yang terpuji, terdiri dari :
a.
Ilmu
ushul ( ilmu pokok ) : ilmu al-Qur‟an, sunnah Nabi, pendapat
para sahabat, dan ijma‟.
b.
Ilmu
furu‟ (cabang) : fiqih, ilmu hal ihwal hati, dan akhlak
c.
Ilmu
pengantar (mukaddimah) : bahasa dan gramatika
d.
Ilmu
pelengkap (mutammimah) : ilmu qira‟at, makhraj al-huruf wa
al-faz, ilmu tafsir, nasikh wa mansukh, lafaz umum dan khusus, lafaz nash dan
zahir, serta biografi dan sejarah sahabat.
2.
Ilmu
yang bukan Syari‟ah terdiri dari :
a.
Ilmu
yang terpuji : ilmu kedokteran, ilmu berhitung, dan ilmu perusahaan.
Khusus mengenai ilmu perusahaan
dirinci menjadi :
1)
Pokok
dan utama : pertanian, pertenunan, dan tata pemerintah
2)
Penunjang
: pertukangan besi dan industry sandang
3)
Pelengkap
: pengolahan pangan (pembuatan roti), pertenunan (jahit menjahit)
b.
Ilmu
yang diperbolehkan (tidak merugakan): kebudayaan, sejarah, sastra dan puisi
Muhammad
Munir Mursi menjelaskan bahwa al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan
yang harus dipelajari di sekolah antara lain :
1.
Ilmu
al-Qur‟an dan ilmu agama seperti fiqh, hadis, dan tafsir.
2.
Sekumpulan
bahasa, nahwu dan makhraj serta lafaz-lafaznya, karena ilmu ini berfungsi
membantu ilmu agama.
3.
Ilmu-ilmu
fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka
macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
Pengklasifikasian
ilmu kepada beberapa klasifikasi seperti tersebut di atas oleh al-Ghazali, maka
implementasi dalam menyusun kurikulum al-Ghazali memberi perhatian khusus pada
ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang
sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya al-Ghazali tidak
mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifat
pribadinya yang dikuasai oleh tasawuf dan zuhud.
Dari
sifat dan corak ilmu-ilmu yang dikemukakan terlihat dengan jelas bahwa mata
pelajaran yang seharusnya di ajarkan dan masuk ke dalam kurikulum menurut
al-Ghazali di dasarkan pada dua kecenderungan.
Pertama,
kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali
menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat
untuk mensucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan
kecenderungan ini, maka al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena
menurutnya ilmu ini bertalian dengan pendidikan agama.
Kedua,
Kecenderugan pragmatis, al-Ghazali menilai ilmu berdasarkan manfaatnya bagi
manusia, baik untuk kehidupan dunia, maupun untuk kehidupan akhirat. Baginya
ilmu ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah,
ia bisa digolongkan sebagai penganut paham pragmatis teologis yaitu pemamfaatan
yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat dengan Allah swt.
Dengan
pengklasifikasian ilmu pengetahuan tersebut, banyak orang menuduh secara tidak
adil bahwa al-Ghazali-lah sebagai biang kemunduran peradaban Islam disebabkan
adanya dikotomi pasca pengklasifikasian ilmu pengetahuan. Akhirnya dikotomi
ilmu agama dan sekuler sudah menghancurkan esensi dan eksistensi ilmu sehingga
berakibat pada dehumanisasi, pengrusakan alam, dan tindakan eksploitatif
lainnya. Ilmu pengetahuan sekuler yang dikonstruksi guna memenuhi kebutuhan
materi belaka. Demikian juga ilmu pengetahuan agama, ternyata tidak terlepas
juga dari problem-problem yang cenderung bersifat statis. Hal ini terjadi
karena ilmu pengetahuan agama dibangun untuk mengurusi problem trasenden dan
ritual saja yang berakibat pada reduksionis kemerdekaan berfikir kritis dan
kreatifitas manusia sehingga berakses pada wilayah sosial budaya yang fasif.[10] Sedangkan menurut Pemikiran Ibnu
Khaldun Tentang Isi Kurikulum yaitu : Salah
satu komponen operasional pendidikan Islam adalah kurikulum, yang mengandung
materi ajar secara sistematis sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada
hakikatnya antara materi dan kurikulum mengandung arti yang sama, yaitu
bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu
sistem institusional pendidikan. Seseorang yang akan membuat lesson plan tidak cukup
hanya mempunyai kemampuan membuat rumusan tujuan pengajaran. Ia juga harus
menguasai materi pengajaran, karena rumusan tujuan pengajaran itu diilhami oleh
antara lain materi pengajaran.
Oleh
karena itu guru harus menguasai materi pengajaran.[11] Istilah materi pengajaran
berarti mengorganisir bidang-bidang ilmu pengetahuan ini satu dengan lainnya
dipisah-pisahkan namun merupakan satu-kesatuan yang utuh dan terpadu. Materi
pendidikan harus mengacu pada tujuan, bukan sebaliknya tujuan mengacu kepada
suatu materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh berdiri sendiri terlepas
dari kontrol tujuannya.[12] Salah satu faktor
ketidakjelasan kurikulum yang terjadi dalam sistem pendidikan modern pada
mayoritas negara berpenduduk Muslim adalah hilangnya visi hirarki pengetahuan
sebagaimana yang dapat dijumpai dalam sistem pendidikan tradisional. Padahal,
dalam tradisi intelektual Islam ada suatu hirarki dan saling hubungan antar berbagai
disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan dalam kemajemukan (unity in plurality).[13] Karena itu pembahasan
tentang klasifikasi ilmu menemukan relevansinya dalam konteks rekonstruksi pendidikan
Islam di negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Dari paparan tersebut di atas,
menurut Ibnu Khaldun ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada
peserta didik yaitu :
1.
Kurikulum
yang merupakan alat bantu pemahaman, kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu
nahwu, ilmu balaghah, bayan, dan sastra (adab) atau bahasa yang tersusun secara
puitis (syair).
2.
Kurikulum
sekunder yaitu yang menjadi pendukung untuk memahami Islam, kurikulum ini
meliputi filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam kategori ilmu
ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu tehnik,
hitung, fisika, kimia, antropologi, kedokteran, anstronomi, sejarah, dan tingkah
laku (behavior) manusia. Termasuk juga ilmu sihir dan ilmu nujum
(perbintangan).[14]
Tentang ilmu nujum, Ibnu Khaldun menganggapnya sebagai ilmu fasid (merusak),
karena ilmu itu dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas
dasar perbintangan. Hal itu merupakan sesuatu yang bathil berlawanan dengan
ilmu tauhid dan syari’at agama yang menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan
kecuali Allah itu sendiri.[15]
3.
Kurikulum
primer, yaitu merupakan kurikulum yang menjadi inti pelajaran Islam, kurikulum
ini meliputi semua bidang al-‘ulûm alnaqliyah, seperti al-Qur’an, hadits, ilmu
tafsir, ilmu hadist, ilmu qiraat, ilmu ushul fiqih, fiqih, faraid, ilmu kalam,
tasawuf dan lainlain.[16]
Pemikiran
Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan di atas dapat dikelompokkan menjadi:
“ilmu-ilmu agama Islam yang berdasarkan otoritas syari’at (al-‘ulûm asy-syari’iyyah
al-naqliyyah), dan Ilmu pengetahuan filosofis yang bersifat alami dan diperoleh
manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya (al-‘ulûm al-‘aqliyyat).[17]
Klasifikasi
ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun tersebut di atas mencerminkan buah pikiran
dan pengamatannya yang sangat cermat serta teliti dalam suatu babak sejarah
bagi seorang sarjana muslim yang ahli sejarah dan boleh dikatakan berada di
luar peristiwa sejarah tersebut.[18] Lebih dari itu Ibnu
Khaldun dapat diumpamakan sebagai cahaya terang yang menyinari umat manusia
sebelum memasuki zaman gelap gulita yang berlanjut berabad-abad lamanya.[19]
Dari
klarifikasi ilmu yang telah dibuat oleh Ibnu Khaldun tersebut, dapat diketahui
dengan jelas bahwa pemikirannya tentang kurikulum (materi pendidikan) memiliki
karakteristik tersendiri, di antaranya yaitu:
Pertama,
tidak adanya pemisahan antara ilmu teoritis dengan ilmu praktis. Karakteristik
ini tampak ketika Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa “kebiasaan, keterampilan, atau
penguasaan (malakah) yang terbentuk dari pengajaran ilmu atau pencarian
keterampilan ialah buah dari aktivitas intelektual”.[20]
Kedua,
adanya keseimbangan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Meskipun dia meletakkan
ilmu agama pada tempat pertama ditinjau dari segi kegunaannya bagi umat Islam,
karena dapat membentuk kepribadiannya untuk hidup dengan baik. Namun Ibnu Khaldun
juga menganjurkan untuk mempelajari ilmu-ilmu aqliyah, karena hal itu merupakan
hasil dari aktivitas akal yang merupakan pemberian tersebar dari Allah SWT
kepada manusia.[21]
Ketiga,
Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu ke dalam ilmu syar’iyah dan ghairu
syar’iyah atau naqli dan aqli, tidak dapat dipahami bahwa dia telah memisahkan
antara ilmu yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi klasifikasi tersebut
hanya sebatas pemilahan yang antara ilmu tersebut tetap saling mendukung dan
melengkapi.[22]
Pemakalah dapat menegaskan bahwa paradigma semacam ini jelas menghilangkan
dikotomi ilmu dalam artian pemisahan dan pertentangan antara satu dengan yang
lainnya.
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penentuan isi kurikulum
pendidikan Islam di tandai dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi
dan budaya, selain juga semakin beratnya beban yang ditanggung oleh pihak
sekolah sebagai penyelenggaa pendidikan. Oleh karena tuntutan perkembangan yang
demikian pesatnya maka para perancang kurikulum pendidikan Islam juga dituntut
untuk memperluas cakupan yang terkandung dalam kurikulum pendidikan Islam,
antara lain berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses
pembelajaran dan pendidikan.
Berikut
ini beberapa pemikir ulama tentang isi kurikulum pendidikan Islam di antaranya
adalah (1) Pemikiran Al-Abrasyi, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir Tentang Isi
Kurikulum. Sebagaimana dikutip oleh alAbrasyi,
bahwa Kurikulum Pendidikan Islam terbagi dalam dua tingkatan, yaitu: Tingkatan
pemula (manhaj ibtida’i) dan tingkatan atas (manhaj‘ali). Sedangkan Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakir mengambil isi Kurikulum Pendidikan Islam yang berpijak pada
QS.Fushshilat ayat 53 seperti yang telah di sebutkan tadi di atas. (2) Pemikiran Imam
Al-Gazali dan Ibnu Khaldun Tentang isi
Kurikulum. Pandangan al-Ghazali tentang
kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia
membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh
anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu : Ilmu yang tercela, banyak atau
sedikit. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. dan Ilmu yang terpuji pada
taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam. Sedangkan menurut Ibnu Khaldun ada tiga kategori
kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik yaitu : Kurikulum yang merupakan
alat bantu pemahaman, Kurikulum sekunder, dan Kurikulum primer.
[5] Harunnilah, Makalah Kurikulum Pendidkan Islam, 2014 dalam http://harunnilah.blogspot.co.id,/2014/12/makalah-kurikulum-pendidikan-islam.html.
Di akses pada tanggal 30 November 2017
[6] Syafruddin Nurdin, Guru
Profesional dan Implementasi Kurikulum,
(Cet; Ke-III, Jakarta : PT. Ciputat Press, 2005), h. 53-54
[7] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media, h. 153
[8] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sejarah
dan Pemikirannya, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2011), h.184
[9] Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah:
Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-„Arabiyyah, (Kairo: Alam al-Kutub, 1977),
h. 243
[11] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan
Islam; Menelusuri jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia, (Jakarta: kencana, 2009),
h. 11.
[12] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009), h. 77.
[13] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir
Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1986), h. 11.
[14]M. Arifin, Op.cit h. 83-84.
[15] Ahmadie Thoha (Penj), Muqaddimah Ibn Khaldun, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.
682.
[16] Toto Suharto, Filsafat
Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2006), h. 172.
[17] Ahmadie Thoha,
Op.cit h. 543.
[18] Samsul Nizar, op.cit, h. 45.
[19] Rustam E. Tamburaka, Pengantar
Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan IPTEK (Jakarta:
Rineka Cipta, 1999), h. 219-220.
[21] Ibid., h. 544.
[22] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu:
Sebuah Rekonstruksi Holistik , (Bandung: Mizan,
2005), h. 15. Lihat juga, Muhammad Kosim, Pemikiran
Pendidikan Islam Ibnu Khaldun:
Kritis, Humanis, dan Religius,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 81.
This post will assist the internet visitors for setting up new website or even a blog from start to end.
ReplyDeletehow does that mean
DeleteHi, after reading this remarkable post i am too happy
ReplyDeleteto share my know-how here with mates.
I wanted to thank you for this great read!!
ReplyDeleteI definitely loved every little bit of it. I have you
saved as a favorite to check out new stuff you post…
It's an awesome post designed for all the internet people; they
ReplyDeletewill take advantage from it I am sure.
whoah this blog is great i love reading your posts.
ReplyDeleteStay up the good work! You recognize, lots of individuals are looking
round for this information, you can help them greatly.
Hi! I could have sworn I've been to this blog before but after looking
ReplyDeleteat some of the posts I realized it's new to me. Nonetheless, I'm definitely
delighted I stumbled upon it and I'll be bookmarking it and checking back
frequently!
Wow, that's what I was seeking for, what a data! present here at this weblog, thanks admin of this
ReplyDeleteweb page.
An impressive share! I have just forwarded this onto a co-worker who was conducting a little homework on this.
ReplyDeleteAnd he actually bought me breakfast due to the fact that I found it for him...
lol. So allow me to reword this.... Thanks for the
meal!! But yeah, thanx for spending the time to talk about this issue here
on your website.
Thaks...
DeleteThaks brother
ReplyDelete