BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan mendapat
perhatian yang sangat serius dalam agama Islam. Hal ini bisa dicermati dari
wahyu yang pertama kali turun di mana diserukan
perintah untuk “membaca” (iqra’).
Perintah “membaca” pada dasarnya merupakan anjuran yang sangat kuat mengenai pentingnya pendidikan dalam
Islam. Selain didasari atas wahyu
tersebut, Nabi Muhammad saw. juga memberi penekanan yang serius terhadap
pendidikan.
Islam memberi perhatian yang
sangat serius terhadap pendidikan karena Islam amat menghargai ilmu
pengetahuan. Orang yang gemar menuntut ilmu akan dimudahkan dalam menapaki
kehidupan.
Kesemua terminologi tentang
anak dalam Al-Qur'an bila ditelaah secara mendalam akan saling menguatkan untuk
membentuk konsepsi tentang anak. Oleh sebab itu, konsepsi tersebut tentu
memiliki maksud sendiri dan berkaitan dengan sistem pendidikan Islam.. Untuk
itulah, penulisan makalah ini hendak
mengungkap konsep anak dalam Al-Qur'an berikut implikasinya terhadap pendidikan
Islam dalam keluarga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
- Bagaimana Pengungkapan Anak dalam Al-Qur'an?
- Bagaimana pandangan Al-Qur'an terhadap Pendidikan Anak?
- Bagaimana Metode Penanaman Nilai-nilai Islam pada Diri Anak?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengungkapan Anak
dalam Al-Qur'an
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang di turunkan kepada baginda Rasulullah
SAW. Kata alqur’an diambil dari akar kata qara’a yang berarti mengumpulkan menjadi satu. Qara’a berarti juga membaca atau menuturkan, karena
dalam pembacaan atau penuturan huruf-huruf dan kata-kata dihimpun dan disusun
dalam susunan tertentu. Al-Qur’an merupakan petunjuk dalam segala urusan di
dunia ini termasuk juga dalam hal pendidikan
anak.[1]
Harus diakui, bahwa setiap
manusia adalah anak. Ia lahir dari rahim seorang ibu setelah melewati kurun
sekitar sembilan bulan dalam kandungan. Kelahiran anak disambut dengan
suka cita berikut prosesi tasyakuran
yang menyertainya. Setelah itu, ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang
mana di dalamnya terjadi interaksi dinamis dalam mengikuti alur proses
pendidikan. Al-Qur'an menyebut anak
dengan istilah yang beragam sebagaimana halnya ragam sebutan untuk manusia.
Sekadar tamsil, untuk menyebut manusia, Al-Qur'an terkadang menggunakan istilah
al-basyar,
al-insan, an-nas, al-ins, abdullah, khalifatullah, bani Adam, dan sebagainya.
Beragam istilah ini tentu bukan
tanpa maksud. Masing-masing mengandung pengertian yang berbeda sesuai dengan
konteksnya. Istilah al-basyar dan al-insan, misalnya. Manusia dalam istilah al-basyar mengandung pengertian manusia secara fisik yang menempati
ruang dan waktu serta terikat oleh hukum-hukum alamiah. Sedangkan istilah al-insan berarti manusia yang tumbuh dan
berkembang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan termasuk di dalamnya adalah
pendidikan. Dengan kata lain, al- insan merujuk pada kualitas
pemikiran dan kesadaran manusia terhadap kehidupan.[2]
B.
Al-Qur'an dan Pendidikan Anak
Bila dirunut secara detail,
memang al-Qur'an tidak mengungkap secara langsung bentuk pendidikan terhadap
anak. Maksudnya, ayat-ayat al-Qur'an tidak menggambarkan secara terperinci
bagaimana sistem, pola, dan mekanisme pendidikan yang efektif diterapkan untuk
anak. Sejumlah redaksi al-Qur'an yang ditelusuri ternyata berupa rangkaian
indikator yang berkaitan dengan segala
sesuatu di seputar proses kelangsungan hidup berkeluarga dalam kaitannya dengan
keberadaan anak. Misalnya, mengandung seruan agar orangtua memerintahkan anak
untuk selalu berbuat baik (QS. Luqman [31]: 13 dan 17-18);
¢Óo_ç6»t ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# ÷É9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºs ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ
Terjemahan: Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
wur öÏiè|Áè? £s{ Ĩ$¨Z=Ï9 wur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøèC 9qãsù ÇÊÑÈ
Terjemahan: Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.
Mengajarkan anak berdikari secara mandiri (QS. Al-Anbiya' [21]:
78-79);
y¼ãr#yur z`»yJøn=ßur øÎ) Èb$yJà6øts Îû Ï^öptø:$# øÎ) ôMt±xÿtR ÏmÏù ãNoYxî ÏQöqs)ø9$# $¨Zà2ur öNÎgÏJõ3çtÎ: úïÏÎg»x© ÇÐÑÈ
Terjemahan:
Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan Keputusan
mengenai tanaman, Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan
kaumnya. dan adalah kami menyaksikan Keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
$yg»oYôJ£gxÿsù
z`»yJøn=ß
4 xà2ur
$oY÷s?#uä
$VJõ3ãm
$VJù=Ïãur
4 $tRö¤yur
yìtB
y¼ãr#y
tA$t7Éfø9$#
z`ósÎm7|¡ç
uö©Ü9$#ur
4 $¨Zà2ur
úüÎ=Ïè»sù
ÇÐÒÈ
Terjemahan:
Maka kami Telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih
tepat); dan kepada masing-masing mereka Telah kami berikan hikmah dan ilmu dan
Telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama
Daud. dan kamilah yang melakukannya.
Menanamkan sikap adil
terhadap anak (QS. Yusuf [12]: 8);
øÎ) (#qä9$s% ß#ßqãs9 çnqäzr&ur =ymr& #n<Î) $oYÎ/r& $¨YÏB ß`øtwUur îpt7óÁãã ¨bÎ) $tR$t/r& Å"s9 9@»n=|Ê AûüÎ7B ÇÑÈ
Terjemahan: (yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya
Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada
kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya
ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.
Mengajari
anak beribadah (QS. al-Baqarah [2]: 132- 133
4Ó»urur !$pkÍ5
ÞO¿Ïdºtö/Î)
ÏmÏ^t/ Ü>qà)÷ètur ¢ÓÍ_t6»t
¨bÎ) ©!$# 4s"sÜô¹$# ãNä3s9
tûïÏe$!$#
xsù £`è?qßJs?
wÎ) OçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÌËÈ
Terjemahan: Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada
anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati
kecuali dalam memeluk agama Islam".
÷Pr& öNçGYä. uä!#ypkà øÎ) u|Øym z>qà)÷èt ßNöqyJø9$# øÎ) tA$s% ÏmÏ^t7Ï9 $tB tbrßç7÷ès? .`ÏB Ï÷èt/ (#qä9$s% ßç7÷ètR y7yg»s9Î) tm»s9Î)ur y7ͬ!$t/#uä zO¿Ïdºtö/Î) @Ïè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur $Yg»s9Î) #YÏnºur ß`øtwUur ¼ã&s! tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÊÌÌÈ
Terjemahan: Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan
(tanda-tanda) maut, ketika ia Berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu
sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu
dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha
Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Namun demikian, sejumlah redaksi al-Qur'an tersebut bisa dipakai
sebagai piranti untuk mengkaji perhatian al-Qur'an terhadap pendidikan anak.
Untuk itu, akan penulis mencoba membuat klasifikasi bentuk pendidikan anak
dalam tiga hal, yaitu pendidikan fisik, pendidikan intelektual, dan pendidikan
spiritual.
1.
Pendidikan Fisik
Pendidikan fisik ini sangat diperhatikan oleh Islam, bahkan sejak
anak masih dalam kandungan. Saking besarnya kepedulian Islam terhadap jabang
bayi dalam kandungan sampai-sampai terhadap istri yang telah ditalak tiga kali
pun tetap diperhatikan hak-haknya. Dalam konteks demikian, terhadap istri yang
ditalak tiga kali sebenarnya kewajiban mantan suami untuk memberi nafkah telah
gugur. Hanya saja, disebabkan mantan istri tersebut tengah hamil, maka
kewajiban menafkahi itu masih berlaku. Ini berarti fungsi nafkah yang
substansial sejatinya tidak diperuntukkan bagi mantan istri, melainkan bagi
jabang bayi yang dikandungnya.[3]
2.
Pendidikan Intelektual
Pendidikan intelektual
menitikberatkan pada peranan akal. Tak bisa dipungkiri, keberadaan akal memang
menjadi salah satu faktor yang memiliki peranan cukup penting dalam proses
pemerolehan ilmu pengetahuan. Dalam kosakata arab kata akal disebut dengan
istilah aql.
Dalam al-Qur'an istilah aql
diulang sebanyak 49 kali dengan berbagai derivasinya.[4]
Pendidikan intelektual berarti
memberi kesempatan belajar seluas-luasnya kepada anak. Pada masa ini, anak-anak
memiliki potensi yang kuat untuk menghafal apapun yang sampai ke
pendengarannya. Karena itu, proses belajar menjadi sangat penting untuk
menanamkan berbagai pengetahuan dan membuatnya tetap melekat dalam ingatan
anak. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: "Orang yang belajar di waktu kecil itu ibarat
melukis di atas batu." (HR. Muslim)[5]
3.
Pendidikan Spiritual
Di samping pendidikan fisik
dan intelektual, pendidikan spiritual juga mendapat perhatian serius dalam
al-Qur'an. Sebab, dalam konteks kehidupan modern saat ini, pendidikan spiritual
yang berorientasi pada pengembangan
kecerdasan spiritual amat diperlukan.
Semakin cerdas spiritualitas seseorang, kian
terbuka kesempatan untuk memaknai hidup
dengan penuh kearifan. Kecerdasan spiritual ini bahkan diklaim lebih utama
ketimbang kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ).[6]
Pendidikan spiritual
terhadap anak mencakup pada proses pemenuhan kelapangan jiwa. Dengan begitu
berarti bahwa anak tidak cukup diberi asupan kebutuhan fisik (materi) saja,
tetapi juga kepuasan batin dan merasakan kasih sayang dan perhatian yang penuh
dari orangtuanya.[7]
Dalam al-Qur'an, konsepsi pendidikan spiritual ini telah
ditekankan sejak anak masih berada dalam kandungan, yakni setelah prosesi
peniupan ruh ke dalam embrio bayi. Al-Qur'an merekam hal ini dalam Surat
al-A'raf [7] ayat 172:
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
Terjemahan: "Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini
(keesaan Tuhan)."
C.
Metode Penanaman Nilai-nilai
Islam pada Diri Anak
Pendidikan atau
penanaman nilai-nilai Islam pada diri anak akan berhasil bila diwujudkan
dengan mengikuti langkah-langkah yang
baik dan benar. Sehubungan dengan hal ini, Abdurrahman
an-Nahwali mengemukakan tujuh kiat dalam mendidik anak. Berikut adalah ketujuh
kiat tersebut:
1.
Hiwar (Dialog)
Mendidik anak
dengan cara dialog
merupakan suatu keharusan
bagi orangtua. Oleh karena itu kemampuan berdialog mutlak harus ada pada
setiap orangtua. Dengan dialog, akan terjadi komunikasi yang dinamis antara
orangtua dengan anak, serta lebih mudah dipahami dan berkesan. Selain itu
orangtua akan mengetahui perkembangan pemikiran
dan sikap anak.
Rasulullah saw juga menerapkan langkah ini dalam mendidik
anak.
2.
Kisah
Mendidik anak dengan
cara berkisah sangat penting bagi perkembangan jiwa anak. Sebuah kisah yang
baik akan menyentuh jiwa dan memotivasi anak untuk mengubah sikap. Kalau kisah
yang diceritakan itu baik, maka sifat baik tokoh tersebut akan ditiru oleh anak
yang bersangkutan.
Cerita tentang
kisah-kisah yang mengandung hikmah sangat efektif untuk menarik perhatian
anak dan merangsang
otaknya agar bekerja
dengan baik, bahkan metode ini
dianggap yang terbaik dari cara-cara lain dalam mempengaruhi pola pikir anak.
Karena dengan mendengar cerita, anak merasa senang sekaligus menyerap nilai-nilai
pendidikan tanpa merasa
dijejali. Cara seperti ini
telah dicontohkan oleh Rasulullah saw sejak dulu, beliau seringkal
bercerita tentang kisah kaum-kaum terdahulu agar dapat diambil hikmah dan
pelajarannya.
Ada satu hal penting
yang haru digaris bawahi, yaitu bahwa kisah kisah yang diceritakan
Rasulullah saw bukanlah
cerita bohong belaka,
melainkan riwayat-riwayat
yang jelas latarbelakangnya dan
sejarahnya serta yang paling mengandung nilai-nilai
pendidikan dan ruh keislaman
yang dapat mendorong anak yang mendengarkan untuk bersikap sesuai dengan
akhlak luhur dan mulia yang diajarkan oleh Islam kepada seluruh umatnya. [8]
3.
Perumpamaan
Al-Qur’an dan hadits
banyak sekali mengemukaan perumpamaan. Jika Allah swt dan Rasul-Nya
mengungkapkan perumpamaan, secara tersirat berarti orang tua jug
harus mendidik anak-anaknya
dengan perumpamaan. Sebagai contoh, orangtua
berkata kepada anaknya,
“Bagaimana pendapatmu bila
ada seorang anak yang
rajin shalat, giat
belajar, dan hormat
kepada kedua orangtuanya, apakah
anak ini akan disukai oleh ayah dan ibunya?” Maka si anak pasti berkata,
“Tentu, anak itu akan disukai oleh ibu bapaknya.”
4.
Keteladanan
Orang tua merupakan
pribadi yang sering ditiru oleh anak-anaknya. Kalau perilaku orang tua baik,
maka anak akan meniru hal-hal yang baik. Sebaliknya, bila perilaku orangtua
buruk, maka anaknya akan meniru hal-hal yang buruk pula. Dengan demikian,
keteladan yang baik
merupakan salah satu
kiat orangtua menginginkan
anak-anaknya menjadi anak yang shalih, maka yang harus menjadi shalih terlebih
dahulu adalah orangtua.
Melalui metode ini maka
anak/peserta didik dapat melihat, menyaksikan dan meyakini cara yang sebenarnya sehingga mereka dapat
melaksanakannya dengan lebih baik dan lebih mudah. Maksudnya adalah dalam hal kebaikan dan
kebenaran, apabila kita menghendaki orang
lain juga mengerjakannya, maka
mulailah dari diri
kita sendiri untuk mengerjakannya.[9]
5.
Latihan dan
Pengamalan
Anak yang shalih bukan hanya rajin berdoa untuk
kedua orangtuanya, tetapi, ia juga berusaha secara maksimal untuk melaksanakan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Agar dapat mengajarkan amalan Islam,
seorang anak harus dilatih sejak dini. Ia harus dilatih sejak awal tentang
shalat, puasa, berjibab, dan lain
sebagainya. Tanpa latihan
yang dibiasakan, seorang
anak akan sulit mengamalkan ajaran Islam, meskipun ia
telah memahaminya. Oleh karena itu, seorang ibu harus menanamkan kebiasaan yang
baik kepada anak-anaknya dan melakukan control agar seorang anak disiplin dalam
melaksanakan ajaran Islam.
6.
Ibrah dan Mau’izah
Para orangtua bisa
mengambil pelajaran bagi anak-anaknya dari berbagai kisah, misalnya tentang
sejarah. Begitu pula dengan peristiwa yang actual, bahkan dari kehidupan
makhluk lain, banyak sekali pelajaran yang bisa diambil. Bila orangtua sudah
berhasil mengambil pelajaran dari suatu kejadian bagi anak- anaknya, langkah berikutnya adalah
memberikan nasihat (mau’izah) yang baik. Memberi nasihat itu tidak selalu harus
dengan kata-kata. Nasihat bisa dilakukan
melalui kejadian-kejadian tertentu
yang menggugah hati
seperti menjenguk orang sakit, takziah, ziarah ke kubur dan lain
sebagainya.
7.
Targhib dan Tarhib
Targhib adalah
janji-janji yang menyenangkan
bagi seseorang yang melakukan kebaikan, sedangkan tarhib
adalah ancaman yang mengerikan terhadap orang
yang melakukan keburukan.
Banyak sekali ayat
dan hadist yang mengungkapkan janji dan ancaman. Itu
artinya, orangtua juga mesti menerapkan metode dalam mendidik anaknya.39 [10]
Pahala dari
mendidik anak sangatlah
besar, malah apabila
orang tua berhasil dalam mendidik sehingga anak-anaknya menjadi shalih
maka pahalanya mengalir terus meskipun orang tuanya telah meninggal. [11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Al-Qur'an
menyebut anak dengan istilah yang beragam sebagaimana halnya ragam sebutan
untuk manusia. Sekadar tamsil, untuk menyebut manusia, Al-Qur'an terkadang
menggunakan istilah al-basyar, al-insan, an-nas, al-ins, abdullah,
khalifatullah, bani Adam, dan
sebagainya. Beragam istilah ini tentu bukan tanpa maksud. Masing-masing
mengandung pengertian yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Istilah al-basyar
dan al-insan, misalnya. Manusia
dalam istilah al-basyar mengandung
pengertian manusia secara fisik yang menempati ruang dan waktu serta terikat
oleh hukum-hukum alamiah. Sedangkan istilah al-insan
berarti manusia yang tumbuh dan berkembang sepenuhnya tergantung pada
kebudayaan termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Dengan kata lain, al- insan merujuk pada kualitas
pemikiran dan kesadaran manusia terhadap kehidupan.
2.
Sejumlah
redaksi al-Qur'an yang ditelusuri ternyata berupa rangkaian indikator yang berkaitan dengan segala sesuatu di seputar
proses kelangsungan hidup berkeluarga dalam kaitannya dengan keberadaan anak.
Misalnya, mengandung seruan agar orangtua memerintahkan anak untuk selalu
berbuat baik (QS. Luqman [31]: 13 dan 17-18); Mengajarkan anak berdikari secara
mandiri (QS. Al-Anbiya' [21]: 78-79); Menanamkan sikap adil terhadap anak (QS.
Yusuf [12]: 8); Mengajari anak beribadah (QS. al-Baqarah [2]: 132- 133 dan
sebagainya.
3.
Klasifikasi
bentuk pendidikan anak dalam tiga hal, yaitu pendidikan fisik, pendidikan
intelektual, dan pendidikan spiritual. Pendidikan
atau penanaman nilai-nilai Islam pada diri anak akan berhasil bila diwujudkan
dengan mengikuti langkah-langkah yang
baik dan benar. Sehubungan dengan hal ini, Abdurrahman
an-Nahwali mengemukakan tujuh kiat dalam mendidik anak. Berikut adalah ketujuh
kiat tersebut: Hiwar (Dialog), Kisah,
Perumpamaan Keteladanan, Latihan dan
Pengamalan, Ibrah dan Mau’izah dan yang terakhir Targhib dan Tarhib
[1] Akmal hawi, Dasar- Dasar
Studi Islam, (cet; 1, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2014), h. 64
[2] Musa
Asy'ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam al-Qur'an, (Yogyakarta:
LESFI, 1991), hal. 21-22.
[3] Jamal Abdurrahman, Tumbuh di
Bawa Naungan Ilahi, Terj. Ghazali Mukri, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2002),
h. 30-31
[4] Ahmad
bin Hasan, Fath ar-Rahman li Thalib Ayat
Al-Qur'an, (Beirut: al-Ma'arif, t.th.), h. 306
[5] Sikun
Pribadi, Mutiara-Mutiara Pendidikan, (Jakarta:
Erlangga, 1987), hal. 76
[7] Zakiyah
Darajat, Perawatan Jiwa untuk Anak-anak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989),
h. 469
[11] Jauhari
Muchtar, Op.cit. h. 87
I am really inspired with your writing abilities as well as
ReplyDeletewith the format on your weblog. Is that this a paid
subject matter or did you modify it yourself?
Anyway stay up the excellent quality writing, it is uncommon to see a nice
blog like this one nowadays..