Member - Blog ~ Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. bacalah sampai selesai postingan berikut ini muda mudahan ada yang tinggal di otak anda,,, =>

BAB I

PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang Masalah

Pendidikan mendapat perhatian yang sangat serius dalam agama Islam. Hal ini bisa dicermati dari wahyu yang pertama kali turun di mana diserukan  perintah untuk “membaca” (iqra’). Perintah “membaca” pada dasarnya merupakan anjuran yang sangat kuat  mengenai pentingnya pendidikan dalam Islam.  Selain didasari atas wahyu tersebut, Nabi Muhammad saw. juga memberi penekanan yang serius terhadap pendidikan.
Islam memberi perhatian yang sangat serius terhadap pendidikan karena Islam amat menghargai ilmu pengetahuan. Orang yang gemar menuntut ilmu akan dimudahkan dalam menapaki kehidupan.
Kesemua terminologi tentang anak dalam Al-Qur'an bila ditelaah secara mendalam akan saling menguatkan untuk membentuk konsepsi tentang anak. Oleh sebab itu, konsepsi tersebut tentu memiliki maksud sendiri dan berkaitan dengan sistem pendidikan Islam.. Untuk itulah, penulisan makalah  ini hendak mengungkap konsep anak dalam Al-Qur'an berikut implikasinya terhadap pendidikan Islam dalam keluarga.

B.        Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
  1. Bagaimana Pengungkapan  Anak dalam Al-Qur'an?
  2. Bagaimana pandangan Al-Qur'an terhadap Pendidikan Anak?
  3. Bagaimana Metode Penanaman Nilai-nilai Islam pada Diri Anak?


BAB II

PEMBAHASAN


A.      Pengungkapan Anak dalam Al-Qur'an

 Al-Qur’an merupakan kitab suci yang di turunkan kepada baginda Rasulullah SAW. Kata alqur’an diambil dari akar kata qara’a yang berarti mengumpulkan menjadi satu. Qara’a  berarti juga membaca atau menuturkan, karena dalam pembacaan atau penuturan huruf-huruf dan kata-kata dihimpun dan disusun dalam susunan tertentu. Al-Qur’an merupakan petunjuk dalam segala urusan di dunia ini  termasuk juga dalam hal pendidikan anak.[1]
Harus diakui, bahwa setiap manusia adalah anak. Ia lahir dari rahim seorang ibu setelah melewati kurun sekitar sembilan bulan dalam kandungan. Kelahiran anak disambut dengan suka  cita berikut prosesi tasyakuran yang menyertainya. Setelah itu, ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mana di dalamnya terjadi interaksi dinamis dalam mengikuti alur proses pendidikan.  Al-Qur'an menyebut anak dengan istilah yang beragam sebagaimana halnya ragam sebutan untuk manusia. Sekadar tamsil, untuk menyebut manusia, Al-Qur'an terkadang menggunakan istilah   al-basyar, al-insan, an-nas, al-ins, abdullah, khalifatullah, bani Adam,         dan sebagainya.
Beragam istilah ini tentu bukan tanpa maksud. Masing-masing mengandung pengertian yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Istilah     al-basyar dan al-insan, misalnya. Manusia dalam istilah al-basyar mengandung pengertian manusia secara fisik yang menempati ruang dan waktu serta terikat oleh hukum-hukum alamiah. Sedangkan istilah al-insan berarti manusia yang tumbuh dan berkembang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Dengan kata lain, al- insan merujuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran manusia terhadap kehidupan.[2]

B.       Al-Qur'an dan Pendidikan Anak

Bila dirunut secara detail, memang al-Qur'an tidak mengungkap secara langsung bentuk pendidikan terhadap anak. Maksudnya, ayat-ayat al-Qur'an tidak menggambarkan secara terperinci bagaimana sistem, pola, dan mekanisme pendidikan yang efektif diterapkan untuk anak. Sejumlah redaksi al-Qur'an yang ditelusuri ternyata berupa rangkaian indikator yang  berkaitan dengan segala sesuatu di seputar proses kelangsungan hidup berkeluarga dalam kaitannya dengan keberadaan anak. Misalnya, mengandung seruan agar orangtua memerintahkan anak untuk selalu berbuat baik (QS. Luqman [31]: 13 dan 17-18);

¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ

Terjemahan: Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Ÿwur öÏiè|Áè? š£s{ Ĩ$¨Z=Ï9 Ÿwur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøƒèC 9qãsù ÇÊÑÈ

Terjemahan: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Mengajarkan anak berdikari secara mandiri (QS. Al-Anbiya' [21]: 78-79);
yŠ¼ãr#yŠur z`»yJøŠn=ßur øŒÎ) Èb$yJà6øts Îû Ï^öptø:$# øŒÎ) ôMt±xÿtR ÏmŠÏù ãNoYxî ÏQöqs)ø9$# $¨Zà2ur öNÎgÏJõ3çtÎ: šúïÏÎg»x© ÇÐÑÈ

Terjemahan: Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan Keputusan mengenai tanaman, Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah kami menyaksikan Keputusan yang diberikan oleh mereka itu,

$yg»oYôJ£gxÿsù z`»yJøŠn=ß 4 ˆxà2ur $oY÷s?#uä $VJõ3ãm $VJù=Ïãur 4 $tRö¤yur yìtB yŠ¼ãr#yŠ tA$t7Éfø9$# z`ósÎm7|¡ç uŽö©Ü9$#ur 4 $¨Zà2ur šúüÎ=Ïè»sù ÇÐÒÈ

Terjemahan: Maka kami Telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka Telah kami berikan hikmah dan ilmu dan Telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya.

Menanamkan sikap adil terhadap anak (QS. Yusuf [12]: 8);
øŒÎ) (#qä9$s% ß#ßqãs9 çnqäzr&ur =ymr& #n<Î) $oYŠÎ/r& $¨YÏB ß`øtwUur îpt7óÁãã ¨bÎ) $tR$t/r& Å"s9 9@»n=|Ê AûüÎ7B ÇÑÈ
Terjemahan: (yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.

Mengajari anak beribadah (QS. al-Baqarah [2]: 132- 133
4Óœ»urur !$pkÍ5 ÞO¿Ïdºtö/Î) ÏmÏ^t/ Ü>qà)÷ètƒur ¢ÓÍ_t6»tƒ ¨bÎ) ©!$# 4s"sÜô¹$# ãNä3s9 tûïÏe$!$# Ÿxsù £`è?qßJs? žwÎ) OçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÌËÈ
Terjemahan: Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".

÷Pr& öNçGYä. uä!#ypkà­ øŒÎ) uŽ|Øym z>qà)÷ètƒ ßNöqyJø9$# øŒÎ) tA$s% ÏmÏ^t7Ï9 $tB tbrßç7÷ès? .`ÏB Ï÷èt/ (#qä9$s% ßç7÷ètR y7yg»s9Î) tm»s9Î)ur y7ͬ!$t/#uä zO¿Ïdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur $Yg»s9Î) #YÏnºur ß`øtwUur ¼ã&s! tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÊÌÌÈ
Terjemahan: Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia Berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya".

Namun demikian, sejumlah redaksi al-Qur'an tersebut bisa dipakai sebagai piranti untuk mengkaji perhatian al-Qur'an terhadap pendidikan anak. Untuk itu, akan penulis mencoba membuat klasifikasi bentuk pendidikan anak dalam tiga hal, yaitu pendidikan fisik, pendidikan intelektual, dan pendidikan spiritual.
1.        Pendidikan Fisik
Pendidikan fisik ini sangat diperhatikan oleh Islam, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Saking besarnya kepedulian Islam terhadap jabang bayi dalam kandungan sampai-sampai terhadap istri yang telah ditalak tiga kali pun tetap diperhatikan hak-haknya. Dalam konteks demikian, terhadap istri yang ditalak tiga kali sebenarnya kewajiban mantan suami untuk memberi nafkah telah gugur. Hanya saja, disebabkan mantan istri tersebut tengah hamil, maka kewajiban menafkahi itu masih berlaku. Ini berarti fungsi nafkah yang substansial sejatinya tidak diperuntukkan bagi mantan istri, melainkan bagi jabang bayi yang dikandungnya.[3]
2.        Pendidikan Intelektual
Pendidikan intelektual menitikberatkan pada peranan akal. Tak bisa dipungkiri, keberadaan akal memang menjadi salah satu faktor yang memiliki peranan cukup penting dalam proses pemerolehan ilmu pengetahuan. Dalam kosakata arab kata akal           disebut dengan istilah             aql.      Dalam al-Qur'an istilah           aql diulang sebanyak 49 kali dengan berbagai derivasinya.[4]  
Pendidikan intelektual berarti memberi kesempatan belajar seluas-luasnya kepada anak. Pada masa ini, anak-anak memiliki potensi yang kuat untuk menghafal apapun yang sampai ke pendengarannya. Karena itu, proses belajar menjadi sangat penting untuk menanamkan berbagai pengetahuan dan membuatnya tetap melekat dalam ingatan anak. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda:


Artinya: "Orang yang belajar di waktu kecil itu ibarat melukis di atas batu." (HR. Muslim)[5]  

3.        Pendidikan Spiritual
Di samping pendidikan fisik dan intelektual, pendidikan spiritual juga mendapat perhatian serius dalam al-Qur'an. Sebab, dalam konteks kehidupan modern saat ini, pendidikan spiritual yang berorientasi pada pengembangan
kecerdasan spiritual amat diperlukan. Semakin cerdas spiritualitas seseorang, kian
terbuka kesempatan untuk memaknai hidup dengan penuh kearifan. Kecerdasan spiritual ini bahkan diklaim lebih utama ketimbang kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ).[6]
Pendidikan spiritual terhadap anak mencakup pada proses pemenuhan kelapangan jiwa. Dengan begitu berarti bahwa anak tidak cukup diberi asupan kebutuhan fisik (materi) saja, tetapi juga kepuasan batin dan merasakan kasih sayang dan perhatian yang penuh dari orangtuanya.[7]
Dalam al-Qur'an, konsepsi pendidikan spiritual ini telah ditekankan sejak anak masih berada dalam kandungan, yakni setelah prosesi peniupan ruh ke dalam embrio bayi. Al-Qur'an merekam hal ini dalam Surat al-A'raf [7] ayat 172:

øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ

Terjemahan: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu  mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)."

C.      Metode Penanaman Nilai-nilai Islam pada Diri Anak

Pendidikan atau penanaman nilai-nilai Islam pada diri anak akan berhasil bila  diwujudkan  dengan  mengikuti  langkah-langkah  yang  baik  dan  benar. Sehubungan dengan hal ini, Abdurrahman an-Nahwali mengemukakan tujuh kiat dalam mendidik anak. Berikut adalah ketujuh kiat tersebut:
1.        Hiwar (Dialog)
Mendidik  anak  dengan  cara  dialog  merupakan  suatu  keharusan  bagi orangtua. Oleh karena itu kemampuan berdialog mutlak harus ada pada setiap orangtua. Dengan dialog, akan terjadi komunikasi yang dinamis antara orangtua dengan anak, serta lebih mudah dipahami dan berkesan. Selain itu orangtua akan mengetahui  perkembangan  pemikiran  dan  sikap  anak.  Rasulullah  saw  juga menerapkan langkah ini dalam mendidik anak.
2.         Kisah
Mendidik anak dengan cara berkisah sangat penting bagi perkembangan jiwa anak. Sebuah kisah yang baik akan menyentuh jiwa dan memotivasi anak untuk mengubah sikap. Kalau kisah yang diceritakan itu baik, maka sifat baik tokoh tersebut akan ditiru oleh anak yang bersangkutan.
Cerita tentang kisah-kisah yang mengandung hikmah sangat efektif untuk menarik  perhatian  anak  dan  merangsang  otaknya  agar  bekerja  dengan  baik, bahkan metode ini dianggap yang terbaik dari cara-cara lain dalam mempengaruhi pola pikir anak. Karena dengan mendengar cerita, anak merasa senang sekaligus menyerap  nilai-nilai  pendidikan  tanpa  merasa  dijejali.  Cara  seperti  ini  telah dicontohkan oleh Rasulullah saw sejak dulu, beliau seringkal bercerita tentang kisah kaum-kaum terdahulu agar dapat diambil hikmah dan pelajarannya.
Ada satu hal penting yang haru digaris bawahi, yaitu bahwa kisah kisah yang  diceritakan  Rasulullah  saw  bukanlah  cerita  bohong  belaka,  melainkan riwayat-riwayat  yang  jelas  latarbelakangnya  dan  sejarahnya  serta  yang paling mengandung  nilai-nilai  pendidikan  dan  ruh keislaman  yang dapat mendorong anak yang mendengarkan untuk bersikap sesuai dengan akhlak luhur dan mulia yang diajarkan oleh Islam kepada seluruh umatnya. [8]
3.         Perumpamaan
Al-Qur’an dan hadits banyak sekali mengemukaan perumpamaan. Jika Allah swt dan Rasul-Nya mengungkapkan perumpamaan, secara tersirat berarti orang  tua  jug  harus  mendidik  anak-anaknya  dengan  perumpamaan.  Sebagai contoh,  orangtua  berkata  kepada  anaknya,  “Bagaimana  pendapatmu  bila  ada seorang  anak  yang  rajin  shalat,  giat  belajar,  dan  hormat  kepada  kedua orangtuanya, apakah anak ini akan disukai oleh ayah dan ibunya?” Maka si anak pasti berkata, “Tentu, anak itu akan disukai oleh ibu bapaknya.”
4.        Keteladanan
Orang tua merupakan pribadi yang sering ditiru oleh anak-anaknya. Kalau perilaku orang tua baik, maka anak akan meniru hal-hal yang baik. Sebaliknya, bila perilaku orangtua buruk, maka anaknya akan meniru hal-hal yang buruk pula. Dengan  demikian,  keteladan  yang  baik  merupakan  salah  satu  kiat  orangtua menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang shalih, maka yang harus menjadi shalih terlebih dahulu adalah orangtua.
Melalui metode ini maka anak/peserta didik dapat melihat, menyaksikan dan meyakini cara  yang sebenarnya sehingga mereka dapat melaksanakannya dengan lebih baik dan lebih mudah.  Maksudnya adalah dalam hal kebaikan dan kebenaran, apabila kita menghendaki orang  lain  juga  mengerjakannya,  maka  mulailah  dari  diri  kita  sendiri  untuk mengerjakannya.[9] 
5.         Latihan dan Pengamalan
Anak  yang shalih bukan hanya rajin berdoa untuk kedua orangtuanya, tetapi, ia juga berusaha secara maksimal untuk melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Agar dapat mengajarkan amalan Islam, seorang anak harus dilatih sejak dini. Ia harus dilatih sejak awal tentang shalat, puasa, berjibab, dan lain  sebagainya.  Tanpa  latihan  yang  dibiasakan,  seorang  anak  akan  sulit mengamalkan ajaran Islam, meskipun ia telah memahaminya. Oleh karena itu, seorang ibu harus menanamkan kebiasaan yang baik kepada anak-anaknya dan melakukan control agar seorang anak disiplin dalam melaksanakan ajaran Islam.
6.        Ibrah dan Mau’izah
Para orangtua bisa mengambil pelajaran bagi anak-anaknya dari berbagai kisah, misalnya tentang sejarah. Begitu pula dengan peristiwa yang actual, bahkan dari kehidupan makhluk lain, banyak sekali pelajaran yang bisa diambil. Bila orangtua sudah berhasil mengambil pelajaran dari suatu kejadian  bagi anak- anaknya, langkah berikutnya adalah memberikan nasihat (mau’izah) yang baik. Memberi nasihat itu tidak selalu harus dengan kata-kata. Nasihat bisa dilakukan  melalui  kejadian-kejadian  tertentu  yang  menggugah  hati  seperti menjenguk orang sakit, takziah, ziarah ke kubur dan lain sebagainya.
7.         Targhib dan Tarhib        
Targhib  adalah  janji-janji  yang  menyenangkan  bagi  seseorang  yang melakukan kebaikan, sedangkan tarhib adalah ancaman yang mengerikan terhadap orang  yang  melakukan  keburukan.  Banyak  sekali  ayat  dan  hadist  yang mengungkapkan janji dan ancaman. Itu artinya, orangtua juga mesti menerapkan metode dalam mendidik anaknya.39  [10]
Pahala  dari  mendidik  anak  sangatlah  besar,  malah  apabila  orang tua berhasil dalam mendidik sehingga anak-anaknya menjadi shalih maka pahalanya mengalir terus meskipun orang tuanya telah meninggal. [11]


BAB III

PENUTUP


Kesimpulan

1.      Al-Qur'an menyebut anak dengan istilah yang beragam sebagaimana halnya ragam sebutan untuk manusia. Sekadar tamsil, untuk menyebut manusia, Al-Qur'an terkadang menggunakan istilah   al-basyar, al-insan, an-nas, al-ins, abdullah, khalifatullah, bani Adam,   dan sebagainya. Beragam istilah ini tentu bukan tanpa maksud. Masing-masing mengandung pengertian yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Istilah        al-basyar dan al-insan, misalnya. Manusia dalam istilah al-basyar mengandung pengertian manusia secara fisik yang menempati ruang dan waktu serta terikat oleh hukum-hukum alamiah. Sedangkan istilah al-insan berarti manusia yang tumbuh dan berkembang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Dengan kata lain, al- insan merujuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran manusia terhadap kehidupan.
2.      Sejumlah redaksi al-Qur'an yang ditelusuri ternyata berupa rangkaian indikator yang  berkaitan dengan segala sesuatu di seputar proses kelangsungan hidup berkeluarga dalam kaitannya dengan keberadaan anak. Misalnya, mengandung seruan agar orangtua memerintahkan anak untuk selalu berbuat baik (QS. Luqman [31]: 13 dan 17-18); Mengajarkan anak berdikari secara mandiri (QS. Al-Anbiya' [21]: 78-79); Menanamkan sikap adil terhadap anak (QS. Yusuf [12]: 8); Mengajari anak beribadah (QS. al-Baqarah [2]: 132- 133 dan sebagainya.
3.      Klasifikasi bentuk pendidikan anak dalam tiga hal, yaitu pendidikan fisik, pendidikan intelektual, dan pendidikan spiritual. Pendidikan atau penanaman nilai-nilai Islam pada diri anak akan berhasil bila  diwujudkan  dengan  mengikuti  langkah-langkah  yang  baik  dan  benar. Sehubungan dengan hal ini, Abdurrahman an-Nahwali mengemukakan tujuh kiat dalam mendidik anak. Berikut adalah ketujuh kiat tersebut: Hiwar (Dialog),  Kisah, Perumpamaan Keteladanan, Latihan dan Pengamalan, Ibrah dan Mau’izah dan yang terakhir Targhib dan Tarhib




[1] Akmal hawi, Dasar- Dasar Studi Islam, (cet; 1, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2014), h. 64
[2] Musa Asy'ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an,       (Yogyakarta: LESFI, 1991), hal. 21-22.
[3] Jamal Abdurrahman, Tumbuh di Bawa Naungan Ilahi, Terj. Ghazali Mukri, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2002), h. 30-31
[4] Ahmad bin Hasan, Fath ar-Rahman li Thalib Ayat Al-Qur'an, (Beirut: al-Ma'arif, t.th.), h. 306
[5] Sikun Pribadi, Mutiara-Mutiara Pendidikan, (Jakarta: Erlangga, 1987), hal. 76
                [6] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Penerbit Arga, 2002), hal. 57.
[7] Zakiyah Darajat,  Perawatan  Jiwa untuk  Anak-anak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 469
[8] Abdul Hafizh,  Mendidik  Anak  Bersama  Rasulullah,  (Cet; 1,  Bandung: al-Bayan, 1997),  h. 301
[9] Jauhari Muchtar,  Fikih  Pendidikan,  (Cet; I,  Bandung: Remaja  Rosdakarya,  2005),  h. 19
[10] Subhan  Husain  Albari,  Agar  Anak  Rajin  Solat, (Cet;  I, Yogyakarta: DIVA  Press, 2011),  h. 46-53
[11] Jauhari  Muchtar, Op.cit. h. 87
 sampai di sini yha postingan kali ini,, muda-mudahan kita berjumpa di lain waktu, dengan postingan yang berbeda, wassalamu'alaikum wr,wb

1 Silahkan Berkomentar Blogger 1 Facebook

  1. I am really inspired with your writing abilities as well as
    with the format on your weblog. Is that this a paid
    subject matter or did you modify it yourself?
    Anyway stay up the excellent quality writing, it is uncommon to see a nice
    blog like this one nowadays..

    ReplyDelete

Sampaikanlah kritik dan saran anda yang bersifat membangun di kolom komentar untuk kesempurnaan dan kenyamanan anda dalam membaca. Terima kasih atas kerja samanya.

 
Copyright © 2014 -. Member Blog ( Mb ) All Rights Reserved. Powered by Blogger
Privacy Policy Top