BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah
usaha sadar dan
terencana yang sistematis
dalam upaya memanusiakan manusia.
Sosiologi pendidikan adalah
ilmu yang mempelajari seluruh aspek
pendidikan, baik itu
struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun
aspek-aspek lainnya secara
mendalam melalui analisis
atau pendekatan sosiologis.
Dalam
berinteraksi manusia cenderung akan
membentuk kelompok-kelompok yang terbentuk di dalam masyarakat.
Kelompok-kelompok ini merupakan bentuk kehidupan yang nyata, karena peran
kelompok dalam kehidupan sangatlah penting, individu dapat menghabiskan
waktunya dengan berkegiatan, berinteraksi dan melakukan berbagai hal dengan
menjadi bagian dalam kelompok. Dengan banyaknya sejumlah kelompok yang
terbentuk di masyarakat, maka sangat besar kemungkinan untuk terjadinya
interaksi antar kelompok satu dengan yang lainnya.
Dengan
demikian, dalam makalah ini pemakalah akan menguraikan bagaimana pendidikan dan
hubungan antar kelompok itu sebenarnya. Menyangkut tentang prasangka dalam
hubungan antar kelompok, struktur
hubungan antar kelompok di sekolah, usaha-usaha memperbaiki hubungan antar
kelompok di sekolah, dan dasar-dasar bagi pendidikan antar golongan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana definisi
pendidikan dan kelompok?
2.
Bagaimana
pendidikan dan hubungan antar kelompok?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
definisi pendidikan dan kelompok.
2.
Untuk mengetahui
bagaimana hubungan antar kelompok.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pendidikan dan Kelompok
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, keterampilan, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. [1]
Dari definisi pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar yang terencana dan tersistematis dalam memanusiakan manusia.
Sedangkan definisi kelompok Menurut Abdul Rahmat yaitu Pergaulan manusia
pada awalnya dimulai dari kelompok kecil dalam masyarakat, yang kemudian
disebut keluarga. Dari keluarga inilah kemudian tercipta pengalaman-pengalaman
(social experiences) yang nantinya mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan
kepribadian seseorang. [2]
Menurut Joseph S. Roucek dalam Abullah Idi, mengatakan bahwa Suatu kelompok
meliputi dua atau lebih manusia yang diantara mereka terdapat beberapa pola
interasi yang dapat dipahami oleh para anggotanya atau orang lain secara
keseluruhan. Sedangkan menururt Mayor Polak dalam Abdullah Idi, mengatakan
bahwa Kelompok sosial adalah suatu group, yaitu sejumlah orang yang ada antara
hubungan satu sama lain dan hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur. [3]
Berdasarkan definisi kemompok di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok
adalah sebagai suatu kumpulan dari dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan
terstruktur dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga mengakibatkan
tumbuhnya rasa solidaritas antar sesama anggota.
Menurut Charles Harton Colley dalam Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati
membagi kelompok menjadi dua bagian, yaitu kelompok primer (Primary Group)
dan kelompok sekunder (Secondary Group).
Kelompok primer atau face to face group merupakan kelompok sosial yang paling
sederhana, di mana anggotanya saling mengenal serta ada kerja sama yang erat.
Contohnya keluarga, kelompok sepermainan, dan lain-lain. Sedangkan kelompok
sekunder adalah kelompok yang terdiri dari banyak orang, yang sifat hubungannya
tidak berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga tidak langgeng. Contohnya
hubungan kontrak jual beli.[4]
B.
Pendidikan
dan Hubungan Antar Kelompok
1. Prasangka dalam hubungan antar kelompok
Bermacam-macam teori
yang telah dikemukakan untuk menjelaskan gejala prasangka. Penjelasan yang
paling dahulu ialah memandang prasangka sebagai sesuatu yang wajar yang dengan sendirinya timbul bila terjadi hubungan
antara dua kelompok yang berlainan. Manusia sadar akan kesamaan dalam
kalangannya sendiri dan merasa solider dengan kelompok itu. Sebaliknya timbul
rasa tak suka terhadap orang yang berbeda jadi ada dislike of the unlike. Perasaan
itulah yang menimbulkan etnosentrisme, yaitu perasaan loyalitas terhadap
kelompok sendiri dan rasa bermusuhan terhadap semua orang yang mengancam rasa
kekompakan itu.
Apa dimaksud dengan “kesamaan”
dalam kelompok tidak selalu sama. Sering yang dijadikan ciri kesamaan atau
ketidaksamaan hal-hal yang secara visual sangat menonjol. Perbedaan kebudayaan
juga tidak memberi penjelasan yang memuaskan tentang prasangka. Manusia tidak
selalu menginginkan kesamaan. Akan tetapi justru senantiasa mencari yang baru
yang lain.
Dalam kelompok yang “sama” dapat
terdapat perbedaan-perbedaan individu. Sebaliknya antara dua orang dari
kelompok yang berbeda sekali dapat tumbuh rasa persahabatan yang mendalam. Ada
pula kelompok-kelompok yang tidak menunjukkan rasa prasangka terhadap bangsa
lain, seperti halnya di kalangan suku-suku primitif. Jika mereka bermusuhan
dengan kelompok lain, dasarnya bukanlah rasial, bukan “dislike of the unlike” melainkan mungkin karena takut akan orang
lain.
Teori lain yang mencoba
menjelaskan sebagai hakikat manusia, yakni sebagai instink ialah antara lain Dollard. Ia mengemukakan adanya instink agresi pada manusia. Freud
menggunakan istilah “instink mati”
yaitu rasa benci yang universal
terhadap seseorang.
Menurut Dollard setiap anak dalam
tiap kebudayaan mengalami frustrasi karena tidak diizikan melakukan sesuka
hatinya. Frustrasi ini menimbulkan kecenderungan agresi dalam hidup
selanjutnya. Maka karena itu setiap orang dewasa memiliki sikap agresif dalam
dirinya terhadap lingkungannya, yang biasanya laten atau terpendam akan tetapi
dapat bangkit setiap waktu bila mendapat obyek tertentu.
a.
Prasangka sebagai sesuatu yang
dipelajari
Teori ini memandang prasangka
sebagai hasil proses belajar seperti halnya dengan sikap-sikap lain yang
terdapat pada manusia. Sikap senang atau tidak senang terhadap golongan lain
adalah hasil pengalaman pribadi yang berlangsung lama atau berdasarkan
pengalaman yang traumatis. Seorang dapat dikondisikan oleh sikap-sikap yang
telah ada dalam masyarakat.
Jika prasangka tidak selalu
timbul berkat pengalaman pribadi akan tetapi sering atas pengaruh sikap yang
pada umumnya terdapat dalam lingkungan, khususnya di rumah dan sekolah. Guru
dan orang tua sangat besar pengaruhnya, karena mudah mempengaruhi anak pada
usia muda yang memandang orang dewasa sebagai orang serba tahu. Juga media masa
seperti surat kabar, radio, film, televisi besar besar pengaruhnya. Bila bangsa
tertentu sering dilukiskan sebagai inferior, licik, kejam, dan sebagainya maka
stereotip itu akan diterima oleh para pembaca, pendengar, atau penonton
termasuk anak-anak.
b.
Prasangka sebagai alat mencapai
tujuan praktis
Golongan yang dominan ingin
menyingkirkan golongan minoritas dari dunia persaingan. Nazi Jerman membunuh
orang Yahudi untuk mendapatkan kedudukan dan kekayaan mereka. Atau seperti halnya
dengan Negro pada masa yang lalu di Amerika Serikat mereka dipandang dan
diperlakukan sebagai inferior yang tidak layak menempati kedudukan tinggi.
Sikap itu terdapat dikalangan penjajah terhadap bangsa yang dijajah agar dapat
dieksploitasi. Untuk membenarkan diri mereka mencari alasan penindasan itu
dengan jalan rasionalisasi.
Perubahan yang radikal ini tidak
disebabkan oleh pengaruh struktur penduduk, tidak disebabkan oleh pengalaman
pribadi yang baru, tidak timbulnya sifat agresif pada orang kulit putih, tidak
pula disebabkan kesadaran instingtif atas kesamaan kelompok sendiri. Pada
umumnya orang tidak mau terang-terangan mengaku bahwa ia berprasangka dan
biasanya mencari perlindungan di belakang alasan-alasan yang mulia.
c.
Prasangka sebagai aspek pribadi
Menurut penelitian Murphy dan
Likert, ada orang yang mempunyai pribadi yang berprasangka. Orang yang
berprasangka terhadap orang asing akan memperluasnya kepada kelompok-kelompok
lain. Jadi ada kemungkinan bahwa prasangka tidak semata-mata ditimbulkan oleh
kelakuan kelompok lain, akan tetapi berdasarkan pribadi seseorang. Orang yang
pribadinya berprasangka menaruh prasangka terhadap berbagai-bagi hal. Dalam
penelitian terhadap kolerasi yang tinggi antara etnosentrisme,
konservatisme, otoritarisme, super-patriotisme, fasisme. Orang yang
berprasangka tampaknya harmonis, penuh kepercayaan akan diri sendiri, akan
tetapi pada hakikatnya merasa diri tak aman, menaruh perasaan bermusuhan yang
tak terpendam terhadap dunia luar, sangat terikat pada pola-pola hidup yang
diterimanya dari orang tua, mudah mempersalahkan orang lain atas kegagalannya,
sadar akan statusnya, memandang rendah terhadap orang bawahan. Maka kepribadian
merupakan suatu faktor penting bila kita ingin memahami hakikat dan
perkembangan prasangka.
d.
Pendekatan multi dimensional
Dari berbagai faktor yang dapat
menimbulkan prasangka dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memahami prasangka
harus kita gunakan pendekatan multi dimensional. Prasangka dapat memenuhi
kebutuhan, dapat dipelajari dengan berbagai cara. Prasangka dapat merupakan
pernyataan dari sikap lingkungan individu, prasangka itu dapat ditimbulkan oleh
bermacam-macam faktor. Faktor-faktor itu sendiri sering bertalian. Misalnya
seorang akan menaruh lebih banyak prasangka terhadap golongan lain, bila ia
mengalami kemunduran ekonomi dan prasangkanya akan berkurang pada saat ia
mencapai kemajuan. Jadi faktor ekonomi dan psikologi saling berhubungan.
Dalam membicarakan prasangka
dalam hubungan antar kelompok perlu kita ketahui bahwa prasangka bukanlah suatu
instink yang dibawa lahir, melainkan
sesuatu yang dipelajari. Karena prasangka itu prasangka itu dipelajari, maka
dapat diubah atau dikurangi dan dapat pula dicegah timbulnya.
Oleh prasangka dapat disebabkan
oleh bermacam-macam faktor, maka tak akan dapat ditemukan satu cara tertentu
untuk mengatasinya. Bila prasangka itu multi dimensional maka cara mengatasinya
harus melalui berbagai pendekatan. Teknik yang digunakan sedapat mungkin harus
bertalian dengan pengertian kita tentang sebab-sebabnya. Karena sebab-sebab itu
saling berhubungan harus berbagai teknik digunakan serempak.[5]
2. Struktur hubungan antar kelompok di sekolah
Salah satu aspek yang biasa
terlupakan oleh sekolah adalah memupuk hubungan sosial di kalangan murid-murid.
Biasanya sekolah terlalu fokus pada peningkatan kualitas akademik saja. Program
pendidikan antar murid, antar golongan ini bergantung pada struktur sosial
murid-murid. Ada tidaknya golongan minoritas di kalangan mereka mempengaruhi hubungan
kelompok-kelompok itu. Kebanyakan negara mempunyai penduduk
yang multi rasial, menganut agama yang berbeda-beda, dan mengikuti adat
kebiasaan yang berlainan. Perbedaan golongan dapat juga disebabkan oleh
perbedaan kedudukan sosial dan ekonomi.
Murid-murid di sekolah sering
menunjukkan perbedaan asal kesukuan, agama, adat istiadat, dan kedudukn sosial.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan itu mungkin timbul golongan minoritas di
kalangan murid-murid, yang tersembunyi ataupun yang nyata-nyata.[6]
Kelompok dalam sekolah dapat
dikategorikan berdasarkan: Status sosial orang tua murid, Hobi/minat/kegemaran, Intelektualitas, Jenjang kelas, Agama, dan Asal daerah.
3. Usaha-usaha memperbaiki hubungan antar kelompok di
sekolah
Tiap sekolah perlu
memperhatikan hubungan antar-murid dan antar-kelompok, terlebih jika terdapat
golongan minoritas. Berbagai usaha dapat dijalankan untuk memperbaiki hubungan
antar-kelompok, walaupun kekuasaan sekolah sangat terbatas. Oleh sebab sekolah
terbatas kemampuannya untuk mengubah situasi sosial sekolah, dapat menggugah
nilai-nilai dan sikap anak-anak secara individual, rasa keadilan, rasa
keagamaan yang mengemukakan kesamaan manusia di hadapan Tuhan. Cara ini dapat
dilakukan melalui pemberian informasi diskusi kelompok, hubungan pribadi dan
sebagainya.
Kebanyakan usaha dalam
perbaikan hubungan antar-kelompok mengandung unsur penggugahan nilai dan sikap,
oleh sebab itu sekolah tidak mampu mengubah keadaan sosial dan prasangka dalam
masyarakat. Munkin cara yang paling sering dilakukan ialah memberikan informasi
tentang sumbangan minoritas kepada masyarak. Orang Cina, India, Arab, Yahudi
dan bangsa-bangsa lain banyak memberikan sumbangan yang berharga kepada umat
manusia dan keturunan mereka yang tersebar di berbagai pelosok di dunia ini
patut di hargai atas jasa-jasa itu.[7]
Agama dapat di jadikan pengangan untuk
memandang semua manusia sama karena mereka semua sama di hadapan Tuhan. Juga
UUD 1945 mengakui kesamaan hak setiap warga negara berhak mendapat perlakuan
yang terhormat.
4. Dasar-dasar bagi pendidikan antar golongan
Program-program tentang hubungan
antar golongan dapat dilakukan menurut pola pelajaran lainnya, yakni dengan
menyampaikan informasi seperti pelajaran sejarah, geografi, dan lain-lain.
Namun kita dapat bertanya apakah pendidikan itu tidak sebaiknya dikaitkan
dengan berbagai teori tentang prasangka.
Bila kita anggap bahwa prasangka
disebabkan oleh rasa frustrasiagres, seperti terdapat dalam pribadi otoriter,
maka perlu diperhatikan pendidikan anak dalam rumah tangga sejak kecil. Bila
kepribadian yang serupa itu dibiarkan terus berkembang, ada kemungkinan ia
hanya dapat kesembuhan dengan pertolongan ahli psikiatri.
Bila kita anggap bahwa prasangka
disebabkan oleh persaingan dalam mencari keuntungan, status, kekuasaan yng
terdapat dalam sistem politik ekonomi, maka di sekolah dapat diajarkan bahwa
prestasi seseorang ditentukan oleh usaha dan kemampuannya, yang bagi setia
orang mempunyai batas-batas tertentu. Sejauh kesanggupannya sebaiknya setiap
orang harus berusaha sekeras mungkin dan jangan mempermasalahkan orang lain
atau merasa cemburu atas keberhasilan orang lain. Harus diakui bahwa prasangka
yang ditimbulkan oleh persaingan ekonomi di dalam masyarakat dapat melumuhkan
usaha sekolah.
Prasangka dapat pula menjadi aspek
kebudayaan yang diperoleh melalui proses sosialisasi, melalui situasi-situasi
yang dihadapi anak dalam hidupnya. Bila lingkungan itu menunjukkan rasa
prasangka terhadap golongan lain, maka dapat diharapkan anak itu akan berbuat
sesuai dengan lingkungannya. Sekolah dapat memberikan pelajaran agar anak tidak
berprasangka, namun apakah akan terjadi transfer ke dalam situasi-situasi lain
di luar sekolah menjadi pertanyaan, karena kelakuan akan bertentangan dengan
yang lazim dilihatnya di dalam masyarakat. Hanya dengan penuh keyakinan dan
keberanian seorang dapat bertindak menurut cara yang berlawanan dengan kelakuan
umum.
Di sekolah dapat dibentuk
perkumoulan siswa yang dapat dijadikan model hubungan antar kelompok. Tentu
saja sekolah mendapatkan dukungan sepenuhnya dari Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila yang mengemukakan kesamaan hak bagi seluruh umat manusia.[8]
[1]
Fatkhul Ribkhah, Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok, dalam,
http://meyribkha.blogspot.co.id/2013/12/pendidikan-dan-hubungan-antar-kelompok.html,
di akses pada tanggal 24 Maret 2018 pukul 20:37
[3] Abullah Idi, Sosiologi
Pendidikan : Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2013), h. 117
[4] Soerjono Soekanto dan
Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 116
[5] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), h. 44-50
[6] S. Nasution, Ibid.
h. 51
[7] S. Nasution, Ibid.
h. 52-53
[8] S. Nasution, Ibid. h. 57-58
sampai di sini yha postingan kali ini,, muda-mudahan kita berjumpa di lain waktu, dengan postingan yang berbeda, wassalamu'alaikum wr,wb
0 Silahkan Berkomentar Blogger 0 Facebook
Post a Comment
Sampaikanlah kritik dan saran anda yang bersifat membangun di kolom komentar untuk kesempurnaan dan kenyamanan anda dalam membaca. Terima kasih atas kerja samanya.