PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Lahirnya
aliran-aliran dalam filsafat pendidikan selalu didasarkan atas keinginan
menciptakan manusia-manusia ideal melalui jalur pendidikan. Oleh karena itu
pula berbagai pemikiran pendidikan pun akan selalu mengacu pada cara pandang
seseorang atau kelompok orang dalam menilai eksistensi manusia dalam memproleh
pegalaman-pengalaman yang pada
gilirannya akan akan membentuk peradaban dan kebudayaan itu sendiri. Dan oleh
karena iitu, corak dan model yang ditawarkannya pun memiliki hubunga yang
signifikan dengan cara pandang aliran dalam memandang realitas manusia, baik
hakikat maupun eksistensinya di dunia dalam kaitannya dengan dirinya, alam,
danTuhan.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
Hakikat Aliran Progresivisme?
2. Bagaimana
Hakikat Aliran Perenialisme?
3. Bagaimana
Hakikat Aliran Esensialisme?
4. Bagaimana
Hakikat Aliran Rekonstruksionisme?
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Aliran Progresivisme
1.Pengertian dan sejarah aliran progresivisme
Progresivisme
secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan
secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan, progresivisme merupakan suatu
aliran yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya pemberian
sekumpulan pengetahuan kepada subjik didik, tetapi hendaklah berisi beragam
aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampun berpikir merekah secara
menyeluruh, merekah dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah
seperti penyediaan ragam data empiris informasi teoritis, memberikan analisis,
pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling
memungkinkan untuk pemecahan masalah yang tengah dihadapi. Dengan pemilikan
kemampuan berpikir yang baik, subjek-subjek didik yang akan terampil membuat
keputusan-keputusan terbaik pula untuk dirinya dan masyarakatnya serta dengan
mudah pula dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Para progresivis berkeyakinan, bahwa
manusia secara alamiah memiliki kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat
menghadapi dan dapat menghadapi dan atau kemampuan-kemampuan yang wajar dan
dapat menghadapi dan atau mengatasi berbagai problem kehidupnya menuju
perkembangan yang lebih baik, yang mengarah pada suatu yang progres. Pendidikan
dalam hal ini dipandang sebagai suatu motor bagi penumbuhkembangan kemampuan
dasar subjek didik agar mampu memecahkan kesulitan-kesulitan hidup yang dalam banyak
variannya memiliki hubungan straregis dengan penumbuhan sikap kemandirian
subjek didik dalam pengambilan kkeputusan berdasarkan cara-cara yang logis dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hanya dengan pemilikan
kemampuan-kemampuan inilah munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai bukti bagi kemajuan suatu masyarakat dan sebagai langkah pula bagi
kemajua-kemajuan berikutnya. Slogan yang pantas untuk bagian ini adalah bahwa
dari kepekaan subjek didik terhadap berbagai problem yang ada di sekitarnya,
akan muncul keinginan, dari keinginan akan muncul kreatifitas, dari kreatifitas
akan muncul prediksi dan dari prediksi akan mucul aksi yang akan membawa pada perubahan
dan kemajuan-kemajuan.
Secara historis, progresiv telah
muncul pada abad ke-19, namun perkembangannya secara pesat baru terlihat pada
abad ke-20, terutama di negara Amerika Serikat. Bahkan pemikiran yang
dikembangkan aliran inipun sungguh memiliki benang merah yang secara tegas
dapat dilihat sejak zaman Yunani kuno,seperti Heraklitos (± 544-454 SM),
Protagoras (± 480-410 SM), Socrates (± 469-391 SM), dan
Aristoteles (± 384-322 SM).
Sebagai sebuah aliran filsafat
pendidikan, progresivisme lahir sebagai protes terhadap kebijakan-kebijakan
pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah
diwariskan oleh filsafat abad ke-19 yang dianggap kurang kondusif dalam
melahirkan manusia-manusia yang sejati. Aliran ini memendang bahwa metodologi
pendidikan konversional yang menekankan pelaksanaan pendidikan melalui
pendekatan mental dicipline, passive learning yang telah menjadi karakteristik
pendidikan selama ini tidak sesuai dengan watak humanitas manusia yang
sebenarnya.
2.Landasan Filosofis
Progresivisme
Ilmu
pengetahuan berdasarkan Progresivisme beranggapan bahwa kemajuan-kemajuan yang
telah dicapai oleh manusia tidak lain adalah karena kemampuan manusia dalam
mengembangkan berbagai tata logis dan sistematisasi pemikiran ilmiah. Oleh
karena itu, tugas pendidikan adalah melatih kemampuan-kemampuan subjek didiknya
dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan yang mengarah pada pengembangan
ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupannya dalam masyarakat.
Ilmu pengetahuan diperoleh dari
peroses intraksinya dengan berbagai realitas, baik melalui pengalaman lansung
ataupun tidak lansung. Aliran ini memendang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu
yang bermamfaat, karen pengetahuan itu adalah sarana bagi kemajuan manusia. Charles
S. Peirce salah seorang tokoh pradigmatisme menyebutkan, bahwa pengetahuan
adalah suatu gambaran yang diperoleh dari akibat apa yang ditimbulkan.
Aliran ini memandang, bahwa yang
riil adalah segala sesuatu yang dapat dialami dan dipraktikkandalam kehidupan
nyata. Manusia adalah mahluk fisik yang berevolusi secara biologis, sosial, dan
psikologis dan karena itu manusia terus menerus akan berkembang ke arah yang
lebih baik dan sempurna. Jadi, manusia sesuai hakikatnya ini akan selalu menuju
ke arah kemajuan . bahkan dapat dikatakan bahwa esensi kemanusiaan tidak lain
adalah semangat untuk mengadakan perubahan-perubahan menuju kemajuan-kemajuan
hidup.
3.Pandangan progresivisme tentang pendidikan
Asas pokok aliran ini adalah bahwa
karena manusia selalu tetap survive terhadap semua tantangan kehidupannya yang
secara praktis akan senantiasa megalami kemajuan. Oleh karena itu aliran ini
selalu bahwa pendidikan tidak lain adalah proses perkembangan, sehingga seorang
pendidik mesti selalu siap untuk senantiasa memodifikasi metode dan strategi
dalam pengupayaan ilmu-ilmu pengetahua terbaru dan berbagi
pengetahuan-pengetahuan yang menjadi kecendrungan dalam suatu masyarakat.
Kualitas pendidikan pendidikan tidak dapat ditentukan semata dari standarisasi
suatu nilai kebaikan, kebenaran ataupun keindahan yang bersifat perenial,
tetapi ditentukan oleh sejauh mana suatu pendidikan itu mampu untuk terus
menerus merekontruksi berbagai pengalaman. Sebagai suatu aliran pragmatis,
aliran ini mengakui bahwa tidak ada sebuah perubahan dalam setiap realitas yang
bersifat permanen. Aliran ini memandang bahwa pendidikan dalam hal ini mesti
dipandang sebagai hidup itu sendiri, bukan sebagai suatu aktivitas untuk yang
mempersiapkan subjek-subjek didiknya untuk hidup.
Berdasarkan
pada pandangan ini pula, maka aliran ini berpendapat bahwa pendidikan mestilah
dimaknai sebagai sebuah proses yang dilandaskan pada asas pragmatis. Dengan
asas ini, pendidikan bertujuan untuk memberikan pengalaman empiris kepada anak
didik sehingga terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat. Belar mesti
pula terpusat pada anak didik, bukan pada pendidik. Pendidik progresif selalu
melatih anak didiknya untuk mampu memecahkan problem-problem yang ada dalam
kehidupannya. Seorang pendidik progresif mesti menggiring pemahaman pada anak
didiknya, bahwa belajar adalah suatu kebutuhan anak didik dan dialah yang ingin
belajar. Oleh karena itu, anak didik progresif mesti selalu mampu menghubungkan
apa yang ia pelajari dengan kehidupannya.
B. Hakikat Aliran Perenialisme
1.
Aliran Perenialisme dalam pengertian dan Sejarah
Perenialisme
dengan kata dasarnya perenil, yang berarti continuing throughout the whole year
atau lasting for a very long time, yakni abadi atau kekel yang terus ada tanpa
akhir.
Dalam pengertian yang lebih umum dapat dikatakan bahwa
tradisi dipandang juga sebagai suatu prinsip-prinsip yang abadi yang terus
mengalir sepanjang sejarah manusia, karena ia adalah anugera Tuhan pada semua
manusia dan memeng memerlukan hakikat insaniah manusia.
Karena esensi aliran ini berupaya menerapkan nilai-nilai
atu norma-norma yang bersifat kekel dan abadi yang selaluh seperti itu
sepanjang sejarah manusia, maka perenialisme dianggap sebagai suatu aliran yang
ingin kembali atau mundur kepada nilai-nilai kebudayaan pad masa lampau.
Kembali kepada masa lampau pada konteks aliran ini, bukanlah dalam pengertian
bernostalgia dansekedar mengingat-ingat
kembali pola kehidupan masa lalu, tetapi untuk membina kembali keyakinan akan
nilai-nilai asa masa silam untuk menghadapi problematika kehidupan manusia saat
sekarang dan bahkan sampai kapan pun dan dimana pun.
Perenialisme secara filosofis memiliki dasar pemikiran
yang melekat pada aliran fisafat klasik yang ditokohi ole Plato,
Aristoteles, Augustinus, dan Aquinas; namun menurut Sayyed Husein
Nasr, istilah filsafat penerial ini pertama kali digunakan oleh Augustinus
(1497-1548) dalam sebuah karyanya yang berjudul De Perennia Philosiphia
diterbitkan pada tahun 1540 M. Istilah menjadi lebih populer di tangan Leibniz
yang digunakan pada suratnya kepada temannya Remundo yang ditulisnya
pada tahun 1715 M. Perenialismes dalam pendidikan ditokohi oleh Robert
Maynard Hutchins, Mortimer J. Adler, dan Sir Richard Livingstone.
Prinsip dasar perenialime kemudian dikembangkan oleh Sayyed
Husein Nasr, seorang filsuf Islam kontenporer, yang mengatakan bahwa
manusia memiliki fitrah yang berpangkan pada asal kejadiannya yang fitri yang
memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan. Sipatnya tidak
berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam setiap ruang dan
waktu. Menurutnya, tradisi yang mengisyaratkan kebenaran yang fitrak bersifat
langgeng, tetap, abadi dan berkesinambungan. Perenialisme dalam konteks Sayyed
Husein Nasr terlihat hendak mengembalikan kesadaran manusia akan hakikatnya
yang fitri yang akan membuatnya berwatak kesucian dan kebaikan.
Dalam perjalanan sejarahnya, perenialisme berkembang
dengan dua sayap yang berbedah, yaitu dari golongan teologis yang ingin
menegakkan supremasi ajaran agama,dan dari kelompok yang skuler yang berpegang
teguh dengan ajaran fisafat Plato dan Aristoteles
2.Landasan
Filosofis perenialisme
Sebagaimana
dalam perkembangan pemikiran filsafat umumnya, dasar pemikiran filsafat
perenialisme ini pun terlihat dari keyakinan ontologis mereka tentang manusia
dan alam. Bagi mereka sistem gerak perkembangan manusia memiliki hukum natural
yang bersifat tetap dan teratur menurut hukum-hukumnya yang jelas dan terarah.
Aliran ini memandang bahwa hakikat
manusia sebagai makhluk rasional akan selalu bagi setiap manusia di mana pun
dan sampai kapan pun dalam mengembangkan histiroritasnya. Keyakinan ontologis
sedemikian, membawa mereka pada suatu pemikiran, bahwa kemajuan dan
keharmonosan yang dialami oleh manusia di suatu masa akan dapat pula diterapkan
pada manusia-manusia lain pada masa dan tempat yang berbeda, sehingga kesuksesan
masa lalu dapat pula diterapkan untuk memecahkan problem masa sekarang dan akan
datang bahkan sampai kapan pun dan di mana pun.
Menurut psikologis Plato, manusia pada
hakikatnya memiliki tiga potensi dasar, yaitu nafsu, kemauan dan pemikiran.
Ktiga potensi ini merupakan asas bagi bangunan kepribadian dan watak manusia.
Ketiga potensi ini akan tumbuh dan berkembang melelui pendidikan, sehingga
ketiganya berjalan secar berimbang dan harmonis. Manusia yang memilik potensi
rasio yang besar akan menjadi manusia kelas pemimpin, kelas sosial yang tinggi.
Manusia yang besar potensi kemauannya, akan menjadi manusia-manusia kelas
prajurid, kelas menengah. Sedangkan manusia yang besar potensi nafsunya akan
menjadi manusia-manusia pekerja, kelas rakyat jelata. Pendidikan dalam hal ini
hendaklah berorientasi pada potensi psikologis dan masyarakat, sehingga dapat
mewujudkan pemenuhan kelas-kelas sosial dalam masyarakat tersebut.
Mortimer
J. Adler sebagai salah seorang pendukung perenialisme ini
mengatakan, bahwa jika seorang manusia adalah makhluk rasional yang merupakan
hakikatyang senantiasa seperti itu di sepanjang sejarahnya, maka tentulah
manusia memiliki gambaran yang tetap pula dalam hal program pendidikan dengan
tidak mengikutkan peradaban danmasa tertentu. Begitu pula Sayyed Husein Nasr
menyebutkan, bahwa karakteristik khusus manusia tidak lain adalah
rasionalitas. Rasionalitas ini merupakan sifat manusia yang hakiki.
3.Pandangan
Perenialisme tentang Pendidikan
Perenialisme
dalam konteks pendidikan dibangun atas dasar suatu keyakinan ontologisnya,
bahwa batang tubuh suatu pengetahuan yang berlansung dalam ruang dan waktu ini
mestilah terbentuk melalui dasar-dasar pendidikan yang diterima oleh manusia
dalam kesejarahannya. Robert M. Hutchins, salah seorang tokoh penennial
menyimpulkan, bahwa tugas popok pnidikan adalah pengajaran. Pengajaran
menunjukkan pengetahuan sedangkan pengetahuaan itu sendiri menunjukkaan
kebenaran. Kebenaran pada setiap manusia adalah sama, oleh karena itu dimana
pun dan kapan pun ia akan selalu sama.
Mortimer J. Adler menyebutkan
bahwa mengingat esensi manusia ada pada rasionalitas, maka faktor intelektual
memerlukan pengertian khusus manusia sebagai manusia. Esensi pendidikan general
di sini selalu berkenaan dengan kehidupan intelektual ini.
Pendidikan
menurut aliran ini bukanlah semacam imitasi kehidupan, tetapi tidak lain
adalah suatu upaya mempersiapkan kehidupan. Sekolah menurut kelompo ini tidak
akan pernah dapat menjadi situasi kehidupan yang riil. Anak dalam hal ini
menyusun rancangan di mana ia belajar dengan prestai-prestasi warisan budaya
masa lalu. Tugasnya kemudian adalah bagaiman meralisasikan nilai-nilai yang
diwariskan kepadanya dan jika memungkinkan menungkatkan dan menambah
prestasi-prestasi itu melalui usaha sendiri.
Prinsip mendasar pendidikan bagi
aliran perenial ini adalah membantu subjek-subjek didik menemukan dan
menginternalisasikan kebenaran abadi, karena memang kebenarannya mengandung
sifat universal dan tetap. Kebenara-kebenaran seperti ini hanya dapat diperoleh
subjek-subjek didik melalui latihan intelektual yang dapat menjadikan pikiranya
teratur dan tersistematis demikian rupa. Hal ini semakin penting terutama
dikaitkan dengan persoalan pengembangan spritual manusia.
C.Hakikat Aliran Esensialisme
1.Pengertian dan Sejarah Aliran Esensialisme
Filsafat Esensialisme merupakan merupakan suatu
aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealisme-objektif
di satu sisi dan realism-objektif di sisi lainnya.Oleh karena itu, wajar jika ada yang mengatakan
bahwa platolah sebagai peletak asas-asas filosofis aliran ini,ataupun Aristoteles dan Democritos sebagai peletak dasar-dasarnya.kendatipun kemunculan
aliran ini didasari oleh pemikiran filsafat idealisme Plato dan realisme Aristoteles, namun
bukan berarti kedua aliran ini lebur ke dalam paham esensialisme.
Sebagai sebuah aliran filsafat, esensialisme telah lahir sejak
zaman renaissance, bahkan dapat dikatakan sejak zaman Plato dan Aristoteles.
Esensialisme secara formal memang
tidak dapat dihubungkan dengan berbagai tradisi filsafat, tetapi compatible dengan berbagai
pemikiran filsafat,adapun tahap-tahap pertama dari perkembangan esensialisme
dapat dilihat dari zaman renaissance. Hal ini mengingatkan tentang aliran ini yang
menempatkan ciri-cirinya pada alam pemikiran manusia. Pada zaman ini telah
muncul upaya-upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan seni serta
kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi.
menekankan,bahwa
pendidikan harus dibangun di atas nilai-nilai yang kukuh,tetap dan
stabil.kemunculannya adalah reaksi atas kecenderungan kehidupan manusia kepada
yang serba manusiawi, ilmiah, pluralistik dan materialistik, akibat dari
prinsip pendidikan yang fleksibel, terbuka untuk segala bentuk perubahan, toleran
serta tidak mempunyai pegangan yang kukuh dengan doktrin tertentu.
Esensialisme pertama kali muncul
sebagai reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan.Aliran
ini beranggapan, bahwa manusia perlu kembali pada kebudayaan lama, yaitu
kebudayaan yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama.Hal ini
mengingatkan kebudayaan lama itu telah lama membuktikan kebaikan-kebaikannya
untuk manusia.
Tokoh-tokoh
yang tercatat sepanjang sejarahnya, antara lain Desiderius Erasmus, Johann
Amos Comenius (1592-1670), Jonn
Locke (1632-1704),
Johann Hendrich
Pestalozzi (1746-1827), Jonn
Frederich Froebel, Immanuel
Kant, Schopenhhauer, Libneiz, Hegel, Kandel, dan
lain-lain. Arthur
K, Ellis
dkk. menyebutkan bahwa esensialisme yang
dikaitkan dengan pendidikan diformulasikan oleh prof.William C.Bagley, namun George F.Kneller, menambahkan
dengan nama-nama seperti Thomas Briggs, Frederick Breed, dan
Isaac L.Kandel.
Menurut Kneller, mereka ini tercatat sebagai
orang-orang yang telah membentuk komite Esensialis guna untuk meningkatkan
pendidikan di Amerika.Tradisi ini dilanjutkan pula dengan adanya
tulisan-tulisan William Brickman,editor
buku school and society, sejumlah
nama lain yang tercatat sebagai penyokong aliran ini adalah Arthur Beston dan Mortimer Smith. Kendatipun dua nama terakhir ini
dikatakan sangat skeptis terhadap nilai study pendidikan formal melalui
pemikiran-pemikiran pendidikan yang dikembangkan oleh aliran esensialisme ini, namun kenyataannya mereka berpendapat bahwa pendidikan mesti
dibangun di atas nilai-nilai yang tetap.
2.Landasan Filosofis Esensialisme
Esensialisme memandang bahwa manusia
sebagai bagian dari alam semesta yang bersifat mekanisdan tunduk pada
hukum-hukumnya yang objektif kausalitas, maka ia pun secara nyata terlibat dan
tunduk pula pada hukum-hukum alam. Dengan demikian, manusia selalu bergerak dan
berkembang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum natural yang bersifat
universal.hukum universallah yang mengatur keseluruhan makrokosmos yang
meliputi aturan benda-benda, energy, ruang dan waktu bahkan juga fikiran
manusia.Tuhan dalam hal ini mengatur segala realitas yang ada termasuk diri
manusia dari’Atas’. Semua
hukum ilmu pengetahuan tidak lain adalah perwujudan keharmonisasian dan
validitas aktivitas Tuhan.
Berdasarkan tesisnya ini pulalah, maka para esensialisme melihat
hakikat ilmu pengetahuan tidak saja bersifat fisikis-naturalis yang bercorak
empiris-realistis, tetapi
juga bersifat metafisikis-supranaturalis yang bercorak rasionalis.para
esensialis memandang, bahwa ilmu pengetahuan mulai dari upaya manusia dalam
memandang realitas melalui bantuan alat pancaindranya, atas dasar penggunaan
alat indranya, manusia kemudian akan dapat memahami dan mengerti apa yang ia
lihat sehingga melahirkan ide dengan cara membuat ralasi antar fakta dan
realitas tidak lain adalah melalui kesadaran jiwa dalam memandang fakta
tersebut. Oleh karena itu adalah sesuatu hal mustahil ilmu pengetahuan tumbuh
dan berkembang jika semata-mata berdasarkan pada hal-hal yang bersifat indrawi
saja tanpa mengikut sertakan fungsi akal manusia.
Aliran ini berpendapat, bahwa sumber
segala pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Dalam bidang aksiologi, nilai bagi aliran ini, seperti
kebenaran, berakar dalam dan berasal dari sumber abjektif. Watak sumber merupakan perpaduan
pandangan idealisme dan realisme. Di satu sisi esensialisme, mengakui bahwa
hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, dan karenanya seseorang dikatakan baik
jika ia secara aktif, berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum kosmos, dan
karenanya seseorang dikatakan baik jika ia secara aktif, berada di dalam dan
melaksanakan hukum-hukum itu. Di sisi lain, pemahaman objektif atas fakta dan
peristiwa dalam kehidupan juga menjadi pertimbangan proporsional dalam ekspresi
keinginan, rasa suka, kagum, tidak suka dan penolakan yang akhirnya melahirkan
predikat baik dan buruk terhadap sesuatu.
3.Pandangan Esensialisme Tentang
Pendidikan
Tidak seperti perenialisme
yang menolak progresivisme dalam keseluruhan aspek yang menjadi
karakteristiknya, esensialisme
hanya bemberikan penolakan dalam beberapa aspek khusus saja, seperti pemberian konsentrasi
aktivitas pembelajaran semata-mata berpusat pada anak didik saja sehingga
terlihat kesan pengabaian fungsionalitas pendidik sebagai orang yang mengatur
dan mengarahkan proses pembelajaran itu sendiri.
Kelompok esensialis memandang, bahwa pendidikan yang didasari pada
nilai-nilai yang fleksibel dapat menjadikan pendidikan ambivalen dan tidak
memiliki arah dan orientasi yang jelas.
Oleh
karena itu, agar
pendidikan memiliki tujuan yang jelas dan kukuh diperlukan nilai-nilai yang
kukuh yang akan mendatangkan kestabilan.
Untuk
itu perlu dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan telah teruji
oleh waktu.
Esensialisme memberikan penekanan
upaya kependidikan dalam hal pengujian ulang materi-materi kurikulum, memberikan pembedaan-pembedaan
esensial dan non-esensial dalam berbagai program sekolah dan memberikan kembali
pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di sekolah. Esensialis percaya
bahwa pelaksanaan pendidikan memerlukan
modifikasi, dan
penyempurnaan sesuai dengan kondisi manusia yang bersifat dinamis dan selalu
berkembang,namun mengingat pengembangan manusia akan selalu berada di bawah
azas ketetapan dan natural,maka pendidikan harus dibina atas dasar nilai-nilai
yang kukuh dan tahan lama agar memberikan kejelasan dan kestabilan arah
bangunannya. Pendidikan
yang bersifat fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak berhubungan dengan
doktrin dan norma yang universal menjadikan eksistensinya mudah goyah dan tidak
memiliki arah yang jelas. Oleh
karena itu,pendidikan mesti didasarkan pada asaz yang kukuh yang secara nyata
telah teruji kebenaran dan ketangguhannya dalam perjalanan sejarah.
Untuk
merumuskan hakikat belajar yang sesungguhnya esensialisme berupaya untuk
kembali pada psikologi pendidikan tentang pola dan cara manusia dalam proses
peraihan pengetahuan melalui aktivitas belajar.berdasarkan ini para essensialis
memaknai belajar sebagai melatih daya jiwa yang secara potensial sudah ada, seperti
daya pikir, ingat dan perasaan. Belajar bertujuan untuk mengisi subjek seperti
berbagai realitas, nilai-nilai
dan kebenaran baik sebagai warisan sosial maupun makrokosmis. pengenalan warisan masa lampau
tersebut menurut Brakley dan Finey dijadikan sebagai dasar
interpretasi bagi realitas yang ada sekarang.
Para esensialis juga percaya bahwa proses belajar
adalah proses penyesuaian diri individu dengan lingkungan dalam pola stimulus
dan respons.Dalam hal ini tugas guru adalah sebagai agen untuk memperkuat
pembentukan kebiasaan dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan
tersebut.Berdasarkan konsep ini,
para
esensialis sangat yakin, bahwa
belajar harus didasarkan pada disiplin dan kerja keras yang ketat.hal ini
disebabkan karena proses belajar akan berlangsung baik dengan adanya dedikasi
tinggi untuk meraih tujuan yang lebih jauh.para esensialis menolak keras konsep
progresivisme yang menekankan pendidikan pada intres personal. Esensialis memberikan perhatian bukan pada
subjek belajar, tetapi lebih pada subjek kurikulum.
D.Hakikat Aliran Rekontsruksionisme
1.Pengertian dan Sejarah Aliran Rekontruksionisme
Kata rekontruksionisme berasal dari bahasa inggris
reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,
rekonstruksionisme adalah sebuah aliran yang berupaya merombak tata susunan
lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. aliran
ini sering pula di sebut dengan aliran rekonstruksi sosial.
Rekonstruksionisme sebagai aliran pendidikan sejak
awal sejarahnyanya di tahun 1920 dengan lahirnya sebuah karya john dewey yang berjual yang berjudul
reconstruction in philosophy yang kemudian digerakkan secara nyata oleh George
Counts dan Harold Rugg di tahun 1930-an selalu ingin menjadikan lembaga
pendidikan sebagai wahaya rekonstruksi masyarakat. Rekonstruksionisme ini pun
telah pula diformulasikan oleh George S. Counts dalam sebuah karya klasiknya
Dare the Schools Build a New Social Order? Yang diterbitkan pada tahun 1932.
Aliran ini pada prinsipnya sependapat dengan aliran
perenialisme dalam mengungkap krisis kebudayaan modern. Menurut Syam, kedua aliran tersebut memandang
bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang kebudayaannya terganggu oleh
kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Bila aliran perenialisme memilih
cara dan jalan pemecahan masalah dengan kembali kepada abad pertengahan, maka
rekonstruksinisme berupaya membina suatu consensus yang paling mungkin tentang
tujuan pertama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Hal yang sama di kemukakan oleh John Hendrik, bahwa
rekonstruksionisme merupakan reformasi sosial yang menghendaki budaya modern
para pendidik. Rekonstruksionisme memandang kurikulum sebagai problem sentral.
Tujuan utama dan tertinggi hanya melalui kerja sama
semua bangsa. Penganut aliran ini percaya telah tumbuh keinginan yang sama dari
bangsa-bangsa yang tersimpul dalam ide rekonstruksionisme. Hari depan
bangsa-bangsa adalahsebuah dunia yang di atur dan diperintah oleh rakyat secara
demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan. Cita-cita demokratis
ini bukan hanya sekedar teori tetapi mesti menjadi kenyataan, Karena hanya
dengan cara demikian dapat diwujudkan sebuah dunia denga potensi-potensi
teknologi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran, keamanan dan
jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membeda-bedakan warna kulit, nasionalitas,
dan kepercayaan.
Rekontruksionisme berusaha mencari kesepakatan
tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu
tatanan yang baru di seluruh lingkungannya., rekonstruksionisme ini juga ingin
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunann kebudayaaan baru melalui
lembaga dan proses pendidikan. John
dewey (1859-1952) dalam hal ini mengatakan, bahwa education as
reconstruction.
2.Landasan filosofis
Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realitas
itu bersifat universal, realitas itu ada dimana saja dan sama di setiap tempat.
Untuk memahami suatu realitas dimulai dari sesuatu yang konkret menuju arah
yang khusus yang menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat
dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia. Misalnya hewan,
tumbuh-tumbuhan atau benda-benda lain di sekeliling kita. Realitas tidak
terlepas dari suatu sistem di samping substansi yang dimiliki bagi tiap-tiap
benda tersebut yang dipilih melalui akal pikiran.
Pada prinsipnya aliran ini memandang alam metafisika
dalam bentuk dualism di mana alam nyata ini mengandung dua hakikat, jasmani dan
rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki cirri yang bebas dan berdiri sendiri,
azali dan abadi, hubungan antara keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam
alam. Rine decartes seorang tokohnya menyatakan bahwa umumnya manusia tidak
sulit menerima prinsip dualism ini yang menunjukkan bahwa kenyataan batin
segera diakui dengan adanya akal dan perasaan hidup. Di balik realitas,
sesungguhnya terdapat kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama
atas kausa prima. Kausa prima dalam kontrks ini adalah tuhan sebagai penggerak
yang tidak digeraknya. Tuhan adalah akualitas murni yang sama sekali sunyi dari
substansi.
Muhammad
Iqbal sebagai tokoh rekonstruksionisme dari dunia islam
mengatakan, bahwa hakikat manusia adalah segenap kekuatan diri yang akan
menentukan siapa ia. Apabila ego seseorang dapat berkembang dengan baik, maka
eksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan diakui. Jika manusia tidak
mengambil prakarsa dan berkeinginan untuk mengembangkan dirinya dan tidak ingin
merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan
mengkristal dan perlahan-perlahan akan menjadikan dirinya tereduksi kepada
benda-benda mati. Oleh karena itu Muhammad
Iqbal berpendapat, bahwa untuk membangun kembali umat islam yang telah
terpuruk pada kemerosotan humanitas, perlu menata dan membangun kembali tata
sistem baru dengan mengembangkan potensi diri dan akal manusia yang akan
menunjuk pada eksistensi manusia dalam diri dan akal manusia yang akan manunjuk
pada eksistensi manusia dalam memandang realitas. Suatu yang riil bukan saja
bersifat rasional-idealis seperti yang ditawarkan plato, tetapi juga sesuatu yang bersifat indrawi.
Muhammad
Iqbal dalam hal ini percaya, bahwa gagasan semata tidak
akan memberiakn pengaruh bagi gerak maju manusia. Suatu gagasan memerlukan
penjabaran ke dalam bentuk tindakan nyata, karena memang amal perbuatanlah yang
akan membentuk kualitas kemanusiaan. Muhammad
Iqbal dalam hal ini menegaskan, bahwa hidup sesungguhnya adalah melakukan
segala sesuatu yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Islam dalam hal ini
memiliki aturan-aturan yang di susun sedemikian rupa, sehingga individu dan
masyarakat manapun yang melaksanakannya akan dapat memperoleh kemajuan yang
paling besar dalam menata kehidupannya menuju pada kesempurnaan manusia.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh John dewey yang mengungkapkan bahwa
ide-ide dan gagasan-gagasan mestilah sesuatu yang dapat diterapkan dalam
tindakan-tindakan yang berguna bagi bagi pemecahan berbagai problematika yang
muncul dalam masyarakat.
Kajian epistemology aliran ini tampaknya merujuk
pada pendapat aliran pragmatism di satu sisi dan perenialisme di sisi lain,
karena menurut aliran ini bahwa untuk memahami realitas alam nyata memerlukan
sebuah azas tahu, dalam arti tidak mungkin memahami realitas tanpa mengalami
proses pengalaman dan hubungan dengan realitas dahulu melalui penemuan suatu
gerbang ilmu pengetahuan. Karena itu, baik indra maupun rasio sama-sama
berfungsi membentuk pengetahuan.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar suatu
kebenaran dapat di buktikan dengan self-evidence, yakni bukti yang ada pada
dirinya sendiri, realitas dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan
yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam
pengetahuan itu sendiri. Kajian tentang kebenaran itu, diperlukan suatu
pemikiran dan metode yang diperlukan untuk menuntut agar sampai pada pemikiran
yang hakiki.
3.Pandangan rekonstruksionisme
tentang pendidikan
Aliran ini yakin bahwa pendidikan tidak lain adalah
tanggung jawab sosial. Hal ini mengingatt eksistensi pendidikan dalam
keseluruhan realitasnya diarahkan untuk pengembangan dan perubahan masyarakat.
Rekonstruksionisme tidak saja berkonsentrasi tentang hal-hal yang berkenaan
dengan hakikat manusia, tetapi juga terhadap teori belajar yang dikaitkan
dengan pembentukan kepribadian subjek didik yang berorientasi pada masa depan.
Oleh karena itu pula, maka idealitasnya
terletak pada filsafat pendidikannya. Bahkan penetapan tujuan dalam hal ini
merupakan sesuatu yang penting dalam aliran ini. Segala sesuatu yang diidamkan
untuk masa depan suatu masyarakat mesti ditentukan secara jelas oleh
pendidikan.
Para rekonstruksionis menginginkan, bahwa pendidikan
dapat memunculkan kesadaran para subjek didik untuk senantiasa memperhatikan
persoalan sosial, ekonomi dan politik dan menjelaskan kepada mereka bahwa
memecahkan kesemua problem itu hanya melalui keterampilan memecahkan problem.
Tujuan aliran ini tidak lain adalah untuk membangun masyarakat baru, yakni
suatu masyarakat global yang memiliki hubungan interdependensi.
Muhammad
Iqbal menyebutkan, bahwa tujuan pendidikan adalah mampu membangun dunia
bagi masyarakat dengan menggunakan kemampuan akal, indra dan intuisi. Oleh
karena itu ketiga aspek ini mesti tertuang dalam kurikulum pendidikan itu.
Pendidikan harus menjadikan subjek didiknya mampu menggunakan ilmu pengetahuan
yang di perolehnya sebgai wahana bagi perealisasian nilai-nilai spiritual.
Untuk itu perlu adanya upaya integrasi intelektual dan cinta, sebab hidup
bukanlah rutinitas, tetapi seni yang kreatif, konstruksi dan inovatif.
John
Dewey sebagai seorang
tokoh awal pergerakan aliran ini
mengatakan, bahwa pengembangan watak manusia ini selalu berinteraksi
dengan kosndisi-kondisi yang mengelilinginya dalam menghasilkan budaya. Oleh
karena itu manusia selalu berkenaan dengan pembentukan kebudayaannya. Masalah
perbedaan biologis dan perbedaan individu berfungsi dalam suatu bentuk sosiam
namun itu bukanlah sifat asli yang dapat memisahkan suatu bangsa, kelompok, dan
kelas tertentu dari yang lainnya. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kebebasan
adalah hak esensial manusia, namun dalam pengembangannya memerlukan hubuungan
dengan sesuatu yang berada di luar dirinya dan di sinilah manusia mesti
meenjadi bagian dalam suatu masyarakat, maka pendidikan secara efisiensi mesti
mengacu pada kepentingan rekontruksi masyarakat.
Muhammad
iqbal dalam hal ini tampaknya lebih menginginkan
pendidikan yang sesuai dengan watak manusia yakni suatu pendidikan yang
mengaksentuasikan aktivitasnya pada memberikan pengetahuan kepada subjek didik
melalui metode problem solving, suatu
cara yang efektif untuk melatih berfikir kreatif, kritis, dan inovatif. Dengan
cara ini menurutnya dapat membentuk cakrawala berfikir subjek didik sedemekian
rupa sehingga menjadi manusia-manusia yang tanggap akan berbagai problematika
kehidupannya dalam masyarakat.
Guru menurut aliran ini bertugas meyakinkan subjek
didiknya tentang urgensi rekonstruksi dalam memajukan kehidupan sosial
kemasyarakatan dan membiasakan mereka untuk sensistif terhadap berbagai problem
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta mencarikan solusi yang
diperlukanbmenuju perbaikan dan perubahan-perubahan. Untuk itu, seorang guru di
tuntut untuk memiliki keterampilan dalam membantu dan menyediakan kondisi
kepada subjek didik agar subjek didiknya mampu dan trampil dalam memberikan
solusi terhadap berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik yang tumbuh dalam
masyarakat. Seorang guru mesti berani berbeda pandangan sebagai lambing dari
suatu persoalan-persoalan yang dipikirkan.
Kinsley
Price dalam hal ini menggaris bawahi, bahwa hal-hal
mendasaar dalam aliran ini tercermin dalam pemilihan corak aktivitas
pembelajaran sebagai berikut:
a.
Segala sesusatu
yang bercorang otokasi mesti dihindari, sehingga yang belajar terhindar dari
unsur pemaksaan.
b.
Guru mesti dapat
meyakinkan subjek didiknya akan kemampuannya dalam memecahkan masalah, sehingga
masaalah yang ada dalam subject matters dapat diatasi.
c.
Untuk
menumbuhkembangkan keiinginan belajar subjek didik secara individu.
d.
Seorang guru mesti
dapat menciptakan kondisi kelas sedemikian rupa sehingga interaksi guru dengan
subjek didik dan semua yang hadir dalam suatu ruangan kelaas dapat
berkomunikasi dengan baik, tanpa ada yang menunjukkan sikap otoriter.
KESIMPULAN
1)
Aliran-aliran filsafat terdiri dari 4 diantaranya
yaitu :
Aliran Progresivisme,
Aliran Perenialisme, Aliran
Esensialisme, dan Aliran
Rekontruksionisme.
2)
Progresivime
secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat.
3)
Aliran progresivisme
telah muncul pada abad ke-19, namun perkembangannya secara pesat baru terlihat
pada abad ke-20,teruta di negara Amerika Serikat. Bahkan pemikiran yang
dikembangkan aliran inipun sungguh memiliki benang merah yang secara tegas
dapat dilihat sejak zaman Yunani kuno,seperti Heraklitos (± 544-454 SM),
Protagoras (± 480-410 SM), Socrates (± 469-391 SM), dan
Aristoteles (± 384-322 SM).
4) Perenialisme
dengan kata dasarnya perenil, yang berarti continuing throughout the whole year
atau lasting for a very long time, yakni abadi atau kekal yang terus ada tanpa akhir.
5)
Esensialisme
merupakan merupakan suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide
filsafat idealisme-objektif di satu sisi dan realisme-objektif di sisi lainnya.
6) Rekontruksionisme
berasal dari bahasa inggris reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam
konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme adalah sebuah aliran yang
berupaya merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Aliran
ini sering pula disebut dengan aliran rekonstruksi sosial.
sumber
Muhmidayeli, filsafat
pendidikan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2013.
UNTUK MELIHAT CONTOH KATA PENGANTAR SILAHKAN KLIK DISINI
0 Silahkan Berkomentar Blogger 0 Facebook
Post a Comment
Sampaikanlah kritik dan saran anda yang bersifat membangun di kolom komentar untuk kesempurnaan dan kenyamanan anda dalam membaca. Terima kasih atas kerja samanya.