BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
          Ilmu sebagai suatu pengetahuan yang diperoleh melalui cara-cara tertentu. Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum muslimin menjalankannya sebagai suatu ibadah, seperti kita menjalankan sholat, puasa. Maka orang pun mencari keutamaan ilmu. Disamping itu, timbul pula proses belajar-mengajar sebagai konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah proses belajar mengajar ini menimbulkan perkembangan ilmu, yang lama maupun baru, dalam berbagai cabangnya. Ilmu telah menjadi tenaga pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat. Hal itu terjadi, karena ilmu telah menjadi suatu kebudayaan. Dan sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat Muslim dan dihadapan Allah. Jadi ilmu juga bisa diartikan atau dijadikan sebagai pusat dari perubahan dan perkembangan di dalam suatu masyarakat. Ilmu dan pendidikan telah diibaratkan dengan keutamaan atau kelebihan Nabi yg diberikan Allah kepadanya. Begitu tingginya derajat orang yang berilmu disisi Allah dan manfaatnya ataupun pentingnya sangat banyak untuk perubahan-perubahan dalam masyarakat.
B.      Rumusan Masalah
1.      Apakah hakikat, tugas, dan fungsi manusia?
2.      Apakah hakikat pendidikan itu?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat  Manusia

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tercanggih. Memiliki banyak kelebihan dibanding dengan makhluk lain terutama akalnya. memiliki rasa ingin tahu, maka diaktuakisasikan dalam bentuk bertanya. melalui rasio maka manusia memberikan jawaban terhadap aneka pertanyaan, manusia bertanya, manusia pula menjawab.
manusialah yang benar-benar bereksistensi karena memiliki kesadaran dan otonomi dirinya.dengan kata lain melalui akalnya manusia mampu menyamai makhluk lain.
         Burung terbang tinggi, manusia terbang dengan pesawat ciptaannya.
         Angsa bisa berenang ke ujung pulau, manusia berenang dengan kapal Feri ciptaannya.
         Ikan mampu menembus dasar lautan, manusia menembus lautan dengan kapal selam ciptaannya.
Untuk mencari hakikat manusia secara komprehensif adalah suatu hal yang sangat sulit. Hal ini tidak saja karena keunikan karakternya, tetapi juga karena sangat terbatasnya data dan kemampuan manusia untuk mengenal dirinya  alexis carrel  seperti yang di kutip oleh Quraish shihab[1]  menyebutkan, bahwa  sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian besar untuk mengetahui tentang dirinya, namun manusia itu hanya bisa mengetahui sekelumit saja dari dirinya.
            Manusia secara seederhana dapat saja di katakan sebagai mahluk tuhan yang paling unik yang bermukim di bumi yang memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dirinya dari makhluk-makhluk lain yang berada di dunia.
Pendefinisian seperti ini tentulah tidak akan menggambarkan hakikat manusia ini secara keseluruhan, karena ada banyak varian yang bersemayam dalam sebutanya.
            Para filsuf  juga berbeda-beda dalam memandang hakikat manusia, yang sekaligus menunjuk pada perkembangan-perkembangan pemikiran dalam dunia filsafat itu sendiri.
            Plato umpamanya, ia memandang manusia sebagai suatu pribadi yang tidak terbatas pada saat bersatunya jiwa dan raga. Jiwa dan raga bukan di ciptakan secara bersamaan. Jiwa telah ada jauh sebelum ia muncul ke  dunia, sehingga ada yg berpendapat bahwa yang disebut manusia secara sensual adalah jiwa itu sendiri, raga manusia dalam hal ini hanyalah sebatas instrument bagi penyempurnaan jiwanya di dunia.bagi plato, manusia lahir ke dunia telah membawa  ide kebaikan (innate idea).
            Aristoteles dan para pengikutnya pun dengan pemikiran yang cerdas telah pula melakukan analisis panjang tentang manusia dengan suatu kesimpulan bahwa manusia adalah mahluk organil yang pungsionalisnya tergantung pada jiwanya. Dengan menitik beratkan fungsi humanitis itu pada jiwa, menjadikan pandanganya berhadapan  dengan kesulitan-kesulitan ketika manusia memperlihatkan fungsi motoriknya, padahal unsur kreativitas manusia memiliki hubungan dengan signifikan dengan daya motorik ini.
Rene Descartes  (1596- 1650), seorang tokoh rasionalisme, menjelaskan bahwa jiwa adalah terpadu, rasional, dan konsisten yang dalam aktivitasnya selalu menjadi interaksi dengan tubuh. Interaksi jiwa dan tubuh ini dapat mengubah makna nafsu yang di maknai dengan pengalaman- pengalaman sadar yang di sertai  dengan emosi jasmaniah[2]. Ini berarti hakikat manusia pada aspek kesadaran yang eksistensinya ada pada daya intelek sebagai hakikat jiwa.
Anggapan seperti ini kemudian mendapaat kritikan  tajam dari Arthur Schopenhauer (1788- 1860) dengan mengatakan, bahwa kesadaran dan intelek hanyalah permukaan jiwa kita, pada hal di bawah intelek itu sesungguhnya ada suatu kehendak yang tidak sadar yang merupakan daya kekuatan hidup dan sifatnya abadi.
Kehendak bagi schopenhouer adalah suatu kekuatan yang menggerakan intelek kita untuk dirinya. Hal ini karena memang dapat di lakukan dalam alam realitas. Sifat dan watak kehendak yang demikian dapat mengakibatkan hidup tertekan dan merupakan penderitaan, dan disinilah diperlukan kebijaksanaan.[3]
Pandangan schopenhaouer di atas memunculkan suatu persoalan yang mesti di pecahkan, yaitu apakah mungkin suatu kebijaksanaan dapat muncul begitu saja tanpa pendayagunaan daya intelek manusia dalam memandang realitas, jika demikian, schopenhaouer mesti pula mengakui bahwa eksistensi manusia adalah tarik menarik daya kehendak dan daya inteleknya. Daya kehendak dalam hal ini adalah salah satu instrument yang dapat menyokong eksistensinya dalam menentukan kehidupan manusia di dunia.

Barangkali atas dasar tesis ini pulalah ada banyak filsuf kemudian yang menjadikan persoalan kesadaran ini menjadi focus dalam kajianya.
kita ambil contoh, Aguste comte (1796- 1857) berupaya menjelaskan tahap perkembangan intelek manusia dengan hukum tiga tahapnya;Edmund Husserl (1859- 1938) yang berupaya membuat kategorisasi kesadaran dan aktivitasnya yang kemudian memengaruhi analisis eksisitensial yang di buat oleh Martin Heidegger (1889- 1976)  dengan mengatakan bahwa keterlemparan manusia di dunia memastikan dirinya mengakui keterbatasanya, sehingga kehidupanya selalu beranjak dari masalah yang satu ke masalah yang lain tanpa henti. Kesadaran manusia di awali dengan kecemasan dan kegelisahan yang dalam yang memaksanya untuk membuat pilihan-pilihan yang dapat mengeluarkan dirinya dari kegelisahan dan kecemasan itu. Jadi, kecemasan itu di perlukan bagi manusia dalam proses penyempurnaan-penyempurnaa.
Dapat di katakana di sini bahwa hidup adalah bagaimana seorang dapat menyikapi berbagai macam realitas dan menatanya sedemikian rupa agar kehidupanya benar-benar menjadi sesuatu yang penuh makna.
Al-qur’an sebagai sumber utama dalam islam, banyak memberikan isyarat yang menunjuk pada hakikat manusia, antara lain memuat dalam surah as-sajadah   ayat 7-9, surat al-hajj ayat 5,surat al-anam ayat 2, surat al-mu’minuun ayat 12-16, surat at-tiin ayat 4-6.
Merujuk istilah yang di gunakan al-qur’an, terlihat bahwa  kata-kata yang di pakai untuk menunjuk hakikat manusia sangat bervariasi,seperti dengan istilah insaan, al-naas, dan basyr. Penggunaan istilah-istilah tampaknya juga dengan tunjukan hakikat yang berbeda pula. oleh karena itu untuk menentukan hakikat manusia dalam konteks islam pun mesti pula di awali dengan mengemukakan maksud pemakaian masing-masing ;istilah tersebut.
Kata ‘’insaan’’ ada yang berasal dari kata anasa yang berarti melihat, mengetahui dan minta izin, terlihat bahwa kata insaan di kaitkan dengan aspek utama kemanusiaanya, yaitu kemampuan penalaran dengannya manusia mampu mengamati, mencermati, menangkap, mengintefikasi, mengelomppokan, dan menganalisis bernagai kasus dan kondisi dalam berbagai realitas yang di hadapinya dengan cara membuat hubungan antar fakta dan informai dalam berbagai realitas yang ada menuju pengambilan suatu kesimpulan dan atau keputusan yang akan menjadi pelajaran dan atau hikmah yang berguna bagi kehidupanya.
Sebagai makhluk yang memiliki daya nalar, menjadikan manusia mampu melihat dan membedakan mana yang baik mana yang buruk, karakteristik pokok manusia dalam hal ini  tidak  lain dalah kemampuanya dalam membaca, mendekskripsikan, mempelajari, memetakan, menelaah, memilah-milah dan menganalisis berbagai realitas yang ada sehingga ia pun dapat menemukan berbagai pengetahuan yang akan berguna bagi dirinya dalam menjalankan kehidupanya di dunia dan di akhirat.
Jika di lihat pula kata al-uns atau anisa yangberarti jinak memberikan isyarat, bahwa manusia memiliki potensi untuk mudah beradaftasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan lingkungan yang ada dalam realitas kehidupanya. Dengan sifat ini pula menunjukana, bahwa manusia itu di satu  sisi lain ia pun dapat mengatur, namun di sisi lain ia pun dapat pula di atur. Dengan  sifat ini  pula manusia dapat mengubah dirinya kea rah yang lebih baik dan lebih sempurnah.[4]
Dalam pemaknaan ini megindentifikasi , bahwa manusia adalah mahluk social yang di tunjukan dengan sikap ingin hidup berkelompok dan bermasyarakat,menata kehidupan dalam suatu komunitas,disamping juga ingin bersahabat dengan orang lain di luar diri dan kelompoknya serta berlaku ramah dengan lingkungan dan alam yang mengelilinginya.
Jika demikian manusia dalam konteks ini adalah mahluk yang memiliki potensi untuk saling menghormati, menghargai, hidup rukun, cinta kedamaian dan keharmonisan.oleh karena itu perselisihan dan pertentangan manusia adalah semacam penyimpangan natural manusia saja karena adanya penekanan potensial humanitas lainya yang saling mendesak sehingga sifat potensial ini tidak dapat teraktualisasikan dalam tindakan realitas.
Dalam konteks ini terlihat bahwa al-qur’an menunjuk manusia di sini sebagai makhluk psikis yang meiliki potensi ruhaniah, karena memang kesadaran diri yang memiliki keterkaitan dengan fungsionalitas akal, hati, dan syahwat yang merupakan lambang ruhaniah manusia. Akal, hati, dan syahwat merupakan tiga kekuatan jiwa yang tidak bisa terlepas begitu saja untuk menunjuk makna dan hakikat manusia dalam berbagai dimensi kehidupan.
Adapun kata al-naas di pakai dalam  al-qur’an untuk menunjuk pada komunitas manusia yang memiliki dasar kesamaan potensi dasar sebagai lambing hakiki manusia. Kata ini berkonotasi sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai aktivitas dalam mengembangkan kehidupanya. Dalam pengertian ini, manusia di maknai dalam pengertian umum yang mencakup kesemua orang tanpa terkecuali.
Ibn miskawih, seorang filsuf muslim klasik,umpanya menyebutkan bahwa manusia merupakan kombinasi dua subtansi yang secara diametric bertentangan baik esensi, kualitas maupun segi pungsinya, yakni jiwa dan raga. Jiwa adalah subtansi spiritual,murni, simple, tidak dapat dilihat dan bersifat abadi. Sedangkan raga adalah subtansi material yang bersifat sementara. Jiwa masuk kedalam tubuh dari luar. Jiwa tidak tergantung dan tidak terikat pada tubuh. Ia mempunyai eksistensi sendiri.[5] Setelah jiwa itu terkait dengan kesatuan tubuh, ia pun dapat terbang meninggalkan tubuh kapan pun ia menghendaki.
Ibn miskawih mengakui bahwa hakikat manusia yang sesungguhnya berada pada jiwa, namun tubuh dalam hal ini dapat mempengaruhi jiwa dalam meraih kesempurnaanya. ,Ibn miskawih juga melihat bahwa, semua kerusakan, kesalahan, ketidak sempurnaan, dosa yang di hasilkan oleh jiwa tidak lain adalah sebagai konsekuensi logis dari kontak jiwa itu dengan tubuh tubuhlah dengan sebab segala kejahatan.[6] Pemikiran ibn miskawih sedemikian di sinyalir sebagai pengaruh atas pemikiran plato dan Neoplatonik. Hal ini mengingat filsuf besar plato  berpendapat bahwa esensi manusia ada pada jiwa. Jiwa tidak sajaa di anggapnya sebagai factor pengindraan alam materi melainkan juga dalam menangkat keidean dalam proses ituisi.
Raghib al- isfhani mengemukakajn bahwa, manusia tersusun oleh unsur bahimah di satu sis dalam malakiyah di sisi lainya yang pertama merupakan syahwat badani yang biasanya terlihat dari akbtivitas-aktivitas seperti makan, minum, nikah, dan bentuk-bentuk kelezatan badan lainya. Manusia dalam kondisi seperti ini akan sepertibinatang jika eksistensi benar-benar telah menguasai diri manusia, dalam kondisi inilah manuia dapat berbuat segala sesuatu yang tidak berguna dan bahkan kejahatan-kejahatan yang dapat merusak dirinya, orang lain, alam semesta, dan orang lain.Selanjutnaya adalah potensi ruhaniah seperti hikma ‘adala, juud, hilm, ilm’, naatiq, dan fahm. Dengan mengembangkan fotensi ini secara maksimal dapat menjadikan dirinya baik bahkan memungkinkan dirinya berjiwa seperti malaikat yang senantiasa tunduk dan menjalankan niali-nilai kebaikan secara penuh tanpa ada lagi pemikiran yang panjang untuk itu.[7] Potensi-potensi inilah yang mengerakkan manusia untuk selalu berbuat baik untuk dirinya, masyarakatnya dan alam semesta.

B.     Tugas dan Fungsi Manusia

Dalam surat at-tiin ayat 4 di sebutkan, bahwa manusia di ciptakan tuhan sebaik-baik bentuk. sebagai makhluk yang ternulia manusia, di beri potensi untuk mengembangkan diri dan kemanusiaanya. Ppotensi-potensi tersebut merupakan modal dasar manusia dalam menjalankan berbagai fungsi dan tanggung jawab kemanusiaanya. Oleh karena itu agar potensi-potensi ini menjadi aktual dalam kehidupan perlu di kembangkan dan digiring pada penyempurnaan-penyempurnaan melalui upaya pendidikan. Dalam konteks ini, di perlukan penciptaan arah bangun pendidikan yang baik pula menjadikan manusia layak  untuk mengemban misi ilahi baik sebagai mu’abbid, khalifah fi al-ardh, dan ‘immarah fi al-ardh.  Yang kesemuanya berdimensi moral.
Sebagai mu’abbid, manusia di tuntut tidak hanya semata-semata dalam konteks ibadaah wajibb seperti sholat, puasa,zakat, dan lain sebagainya, tetapi juga bahwa segala sesuatu aktivitas yang bernimlai baik dalam kehidupan manusia yang di lakukan dengan tujuan pendekatan diri gkepada penciptanya yaitu tuhan.[8] Hasan langgulung[9] dalam hal ini  menyebutkan bahwa manusia sebagai mu’abbid mesti mengembangkan sifat tuhan yang di berikanya kepada manusia berupa potensi-potensi yang bersumber dari tuhan. Ibadah dalam konteks ini bukan dalam maknanya yang sempit,karena setiap adanya upaya mengembangkan dan mendalami sifat-sifat tuhan seperti berkehendak, ilmu, kaya, kuat, mulia, pengasih,  penyayang addalah ibadah.
Sebagai mu’abbid, manusia dalam hhal ini di tuntut untuk mampu merekfleksikan sifat-sifat tuhan kedalam dirinya dan menjadikan sifat-sifat itu actual dalam berbagai tindakanya. Pengupayaan menarik sifat-sifat tuhan ini merupakan suatu keniscayaan dalam pembentukan manusia humanitas manusia muslim. Hal ini mengingat sifat-sifat tuhan dalam hal ini adalah fotret dan lambing kebaikan dan kebijakn yg mesti selalu di tiru dan di upayakan agar kiranya menjadi sikap diri menuju aktualisai diri.
Manusia dalam fungsinya sebagai mu’abbid tidak lain adalah senantiasa mengorientasikan berbagai ucapan dan tidakan untuk mendekatkan diri pada tuhan sebagai pemilik semua kebaikan dan kebaikan.
Sebagai khalifah fi al-ardh, manusia bertugas untuk menata dunia sedemikian rupa sehingga dapat menjadikan manusia hidup sejahtra, damai, sentosa danbahagia. Fungssi khalifah iini tidak akan dapat berjalan dengan baik jika manusia belum menjalankan fungsi pertamanya sebagai mu’abbid. Sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi,  tentulah berarti manusia memegang tugas menjalankan misi tuhanya di muka bumi.
Sebagai ‘immarah fi al-ardh lebih berkonotasi pada pengembang ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia,  tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat.
Menurut Raghib al-isfahani, tugas dan fungsi manusia tidak hanya sebatas unutk mendapatkan predikat ke kahlifahan dari Allah SWT atau ibadah dan’immarah al-ardh, akan tetapi memiliki jangkauan yang luas, yaitu menyangkut akhlak yang terpuji dan menghindarkan dirin dari perbuatan yang tercela.

C.     Hakikat Pendidikan

Dalam konteks pemikiran pendidikan islam, ada beberapa istilah yang di gunakan untuk makna pendidikan, yaitu tarbiyah, dan ta’lim  yang akar katanya ‘allama. Ketiga istilah ini menunjuk pada orientasi dan pendekatan yang berbeda-beda, namun ungkapanya sering di temukan di kalangan pemikir muslim.kata tarbiyah seperti di ungkap oleh raghib al- osfahani dalam kitab mu’jam mufradaat al-Quran, menyebutkan bahwa istilah ini berkonotasi pada aktivitas manusia yang mengembangkan dan atau menumbuhkan sesuatu secara berangsur-angsur setahap demi setahap pada terminal yang sempurnah. Istilah ta’dib lebih berkonotasi pada proses pembinaan sikap mental manusia yang erat kaitanya dengan masalah moral dan lebih berorientasi pada pengembangan dan peningkatan martabat manusia. Sedangkan  ta’lim di arahkan pada proses pemberian berbagai ilmu pengetahuan, dari tidak atau belum mengetahui sesuatu, maka dengan aktivitas ta’lim menjadikan ia pun mengetahuinya.
Penggunaan ketiga istilah di atas, tentu membawa konsekuensi dan implikasi yang berbeda dalam pelaksanaan dan pengaturan strategi pendidikan itu sendiri.
Istilah tarbiyah dalam pemahaman seperti yang di ungkap di atas memberikan aksentuasi kegiatanya pada proses pendidikan yang dilakukan dengan sadar dan terprogram, teratur, sistematis, penuh pertimbngan, dan terarah pada suatu tujuan.sedemikian rupa sehingga pemakaian istilah ini tentu pula memberikan implikasi pada pendidikan dalam konteks formal yang merupakan usaha sadar  bersama  setiap komponen kependidikan untuk menciptakan situasi dan kondisi edukatif sedemikian rupa yang dapat memudahkan subjek-subjek didiknya menuju tujuan-tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan tahapan-tahapannya. Tegasnya istilah ini lebih tepat jika ditujukan pada pendidikan formal.
Istilah ta’dib dalam hal ini, memberikan tekanan aktivitasnya pada pembinaan perilaku secara umum, sehingga lebih tepat ditujukan untuk menyebut pendidikan dalam maknanya yang lebih luas, baik dalam bentuk formal,informal maupun yang nonformal. Penggunaan istilah ta’dib lebih luas dari pada cangkupan istilah tarbiyah dan ta’lim.
Islam ta’lim dalam hal ini memberikan tendensi pada proses interaksi edukatif dalam rangka peraihan tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
Ketiga istilah di atas sebenarnya bukanlah tanpa hubungan , terutama mengingat aksentuasi aktivitasnya yang memang terkait satu dengan yang lainnya.jika istilah ta’dib dapat digunakan untuk menunjuk sebutan pendidikan secara umum , dan istilah ta’lim untuk memberikan sebutan pada proses interaksinya,maka istilah tarbiyah lebih pada sebutan pendidikan dalam maknanya yang formal.
Secara definitif, Omar Mohammad al-Toumy al-Syaebani’[10] menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku  individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakatnya dan kehidupan dalam alam sekitarnya.
Muhammad Fadhil al-Jamaly[11] dalam hal ini mengungkapkan bahwa pendidikan mesti selalu dikaitkan dengan masalah keberagamaan yang dilandasi dalam iman yang dalam, karna imanlah yang dapat  mengarahkan  manusia pada akhlak yang mulia yang ditandai dengan perilaku-perilaku yang sholeh. Oleh karna itu, menurutnya, upaya pendidikan mesti telah dilakukan sejak subjek didalam kandungan sampai akhir hayatnya .[12]  
Ali khalil Abul ‘Ainain[13] mengungkapkan, bahwa pendidkan mestilah meliputi segala aspek yang di butuhkan manusia dalam rangka peraihan keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pendidikan mesti senantiasa  memperhatikan nilai-nilai asasi dan fur’iy yang menjadi kebutuhan manusia, seperti nilai yang berhubungan dengan Allah, sesama manusia, ni;lai-nilai rasional, moral, seni, dan kemasyarakatan.
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaebani mengaksentuasikan pendidikan denngan upaya-upaya yang mengarah pada perubahan tingkah laku, Muhammad Fadhil al-Jamaly memberikan tekana pada penumbuh kembangan kesadaran manusia yang menjadi landasan bagi moralitasnya kelak.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

          Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tercanggih. Memiliki banyak kelebihan dibanding dengan makhluk lain terutama akalnya. memiliki rasa ingin tahu, maka diaktuakisasikan dalam bentuk bertanya. melalui rasio maka manusia memberikan jawaban terhadap aneka pertanyaan, manusia bertanya, manusia pula menjawab.
Manusialah yang benar-benar bereksistensi karena memiliki kesadaran dan otonomi dirinya.dengan kata lain melalui akalnya manusia mampu menyamai makhluk lain. Jika demikian manusia dalam konteks ini adalah mahluk yang memiliki potensi untuk saling menghormati, menghargai, hidup rukun, cinta kedamaian dan keharmonisan.oleh karena itu perselisihan dan pertentangan manusia adalah semacam penyimpangan natural manusia saja karena adanya penekanan potensial humanitas lainya yang saling mendesak sehingga sifat potensial ini tidak dapat teraktualisasikan dalam tindakan realitas.






B.     Saran

Adapun saran-saran yang berkenaan dengan makalah ini meliputi:
1.      Mudah-mudahan makalah ini dapat memenuhi target tugas pembahasan tentang “Manusia Dan Pendidikan ” pada mata kuliah “Filsafat Pendidikan”.
2.      Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu saran dan kritik dari teman-teman masih tetap diharapkan demikian juga arahan dan bimbingan dari dosen pembina mata kuliah “Filsafat pendidikan” masih tetap diharapakan demi untuk penyempurnaannya.
















DAFTAR FUSTAKA

Mahmud  Abbas al-‘Aqad, 1973, al-insaan filsafat al-qur’anal-karim, Daar al-Qalam, kairo.

Ibn miskawih DKK, 1398, tahzib al-akhlaaq, membangun manusia seutuhnya menurut al-qur’an,al-ikhlas, Surabaya,

Ali khalil Abul ‘Ainan, 1980, falsafah al-Tarbiyat al-islamiyah fi al-qur’an al-karim. Daar al-fikr al-‘Arabiy.

Raghib al-isfahani, 1987, al- Dharii’a ila Makaarim al-sharii’a, Ed. ‘Abd. Yazid al-Ajami, Daar al-Wafaa’, kairo.

Hasan langgulung, 1995, manusia dan pendidikan: suatu analisis psikologi dan pendidikan, al-husn Zikra, Jakarta.

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, 1979, Falsafah Pendidikan Islam ,Terj.Hasan Langgulung,Bulan Bintang,Jakarta.

Will Durant, ‘’Esensi Manusia adalah Kehendak buta: Berkenalan dengan Filsafat Arthur schopenhouer (1788-1860)’’, dalam Zainal Abidin.







[1]  M. Quraish shihab. Wawasan al-qur’an. Mizan, Jakarta, 1999, hlm. 277.
[2]  Uraian lebih lanjut dapat dibaca Raymond E. Fancher, ‘’pertarungan antara jiwa dan tubuh pada manusia: Rene Descartes (1596- 1650)’’, dalam Zainal Abidin, filsafat manusia: Memahami manusia melalui filsafat, Rosdakarya, Bandung, 2003, hlm. 37-54
[3] Will Durant, ‘’Esensi Manusia adalah Kehendak buta: Berkenalan dengan Filsafat Arthur schopenhouer (1788-1860)’’, dalam Zainal Abidin, hlm. 57-76.
[4] Abbas Mahmud al-‘Aqad, al-insaan filsafat al-qur’anal-karim, Daar al-Qalam, kairo, 1973, hlm. 156
[5] Ibn miskawih,tahzib al-akhlaaq, ed. Syekh Hasan Tamir, Mahdawi,Bairut, 1398. Hlm. 29-30.
[6] Ibn miskawih, al-Fawz al_ashgar, Daar Maktabah al-Haayah,Beirut, tt., hlm. 57.
[7] Raghib al-isfahani, al- Dharii’a ila Makaarim al-sharii’a, Ed. ‘Abd. Yazid al-Ajami, Daar al-Wafaa’, kairo, 1987, hlm.86 dan 89
[8] Abu bakar Muhammad, membangun manusia seutuhnya menurut al-qur’an,al-ikhlas, Surabaya, 1987, hlm. 14.
[9] Hasan langgulung, manusia dan pendidikan: suatu analisis psikologi dan pendidikan, al-husn Zikra, Jakarta, 1995, hlm. 6.
[10]  Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany,Falsafah Pendidikan Islam ,Terj.Hasan Langgulung,Bulan Bintang,Jakarta, 1979, halm.399.
[11]  Muhammad Fadhil al-Jamaly,Nahwa Tarbiyat al-Mukminah,hlm.21.
[12]  Muhammad Fadhil al-jamaly,/ falsafat tarbawiya mutajajddidah , Daar al-kasyisaaf, Bairut, 1956 , hlm, 49.
[13] Ali khalil Abul ‘Ainan, falsafah al-Tarbiyat al-islamiyah fi al-qur’an al-karim. Daar al-fikr al-‘Arabiy, 1980, hlm. 147-148
UNTUK MELIHAT CONTOH KATA PENGANTAR SILAHKAN KLIK DISINI

0 Silahkan Berkomentar Blogger 0 Facebook

Post a Comment

Sampaikanlah kritik dan saran anda yang bersifat membangun di kolom komentar untuk kesempurnaan dan kenyamanan anda dalam membaca. Terima kasih atas kerja samanya.

 
Copyright © 2014 -. Member Blog ( Mb ) All Rights Reserved. Powered by Blogger
Privacy Policy Top