PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak sekali orang yang tidak
mengetahui apa itu filsafat, baik orang yang hidupnya di lingkungan pendidikan,
maupun yang jauh dari pendidikan, seperti di pedesaan maupun di perkotaan.
Padahal mereka sadari sebenarnya mereka dekat dengan filsafat dan mereka juga
pernah berfilsafat. Dalam menjalani kehidupan ini kita sering mengandalkan
filsafat, tetapi terkadang kita tidak menyadari bahwa yang kita lakukan itu
merupakan sebuah filsafat.
Kita sering merenung, berfikir apa
yang hendak kita capai dan kita raih apabila kita lulus kuliah nanti, dalam
perenungan itu kita banyak sekali muncul pertanyaan-pertanyaan dan
pilihan-pilihan sebagai alternatif jawaban dari setiap pertanyaan yang
muncul, begitu pula untuk hal-hal yang lain yang didalamnya memerlukan
pemikiran-pemikiran secara mendalam. Apabila kita terus mencari dan terus
mencari jawaban dari pertanyaan tadi dengan berbagai metode sampai kiranya kita
dapat menemukan kebenaran, maka akan lahir sebuah pengetahuan bagi kita. Begitu
pula dengan pendidikan, yang melatar belakangi pendidikan adalah ide-ide yang
lahir dari filsafat yang tentu saja semua itu perlu proses untuk menemukannya.
Dari gambaran sederhana tersebut dapat kita ketahui bahwa filsafat itu
merupakan tindakan memikirkan, merenungkan segala sesuatu secara mendalam
sampai keakar-akarnya.
B.
Rumusan Masalah
1) Apa pengertian dan ruang lingkup
filsafat ?
2) Apa pengertian filsafat dan ilmu
pengetahuan ?
3) Bagaimana sistematika berfikir filsafat
?
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Ruang Lingkup Filsafat
a. Pengertian filsafat
Menurut bahasa, filsafat berasal
dari bahasa Yunani kuno yang diadopsi oleh orang arab dengan mengalami sedikit
perubahan bunyi, yaitu falsafat dan oleh orang Indonesia disebut dengan
filsafat. Dalam bahasa Yunani istilah
filsafat di kenal dengan kata Philosofia yang berasal dari dua unsur kata,
yaitu Philo yang berarti cinta dan kata Shopia yang berarti kearifan, hikmah,
kebikjaksanaan, keputusan ataupun pengetahuan yang benar. Dari akar kata ini,
maka dapat diketahui, bahwa secara harfiah filsafat dapat di artikan sebagai
cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan.
Berdasarkan makna kata ini pula
dapat dipahami, bahwa filsafat bukanlah sekedar kebenaran, hikmah atau kebijaksanaan itu sendiri, tetapi lebih
pada cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan yang tentu di tunjukkan pada upaya
hati-hati dan serius yang dilakukan oleh seseorang melalui tata cara yang dapat
dipertanggung jawabkan dalam menggunakan daya pikir kritisnya guna untuk
meraih kebenaran, kebaikan atau kebijaksanaan sejati. Jadi, berfilsafat dalam
hal ini adalah upaya befikir dan bertindak benar dengan menggunakan daya rasio
sebagai istrumen utama untuk mengetahui secara murni berbagai ragam realitas
yang ada yang mungkin ada di dunia ini dan nilai-nilai dalam hidup dan
kehidupan manusia.
Secara Terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam ungkapan
maupun titik tekannya.
Adapun pengertian Filsafat menurut beberapa ahli antara lain :
·
Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari
sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
·
Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat
adalah sejenis pengetahuan yang
menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan
manusia.
·
Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran
asli (hakiki),
·
Aristoteles filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya
metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.
·
Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang
menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat
persoalan, yaitu :
a) Apa yang dapat diketahui, jawabannya adalah Metafisika.
b) Apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah Etika.
c) Sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah Agama
dan
d) Apa itu manusia, jawabannya adalah Antropologi.
·
Harold H. Titus filsafat adalah sekumpulan sikap
hidup terbentuk dari sikap kritis tentang realitas kehidupan dan alam.
Sulit ditemukan
kesepakatan para ahli mengenai makna dan hakikat filsafat, namun paling tidak
dapat di temukan pemahaman umum, bahwa aktivitas filsafat selalu ditandai
dengan adanya upaya berfikir kritis, sungguh-sungguh dan berhati-hati melalui
system dan tata cara tersendiri dalam mencari dan memahami berbagai realitas
dengan sedalam-dalamnya dan menyeluruh menuju suwatu kesimpulan yang baik dan
komprehensif. Pendeknya, berfikir filsafat merupakan upaya berfikir sistimatis
dan radikal tentang segala realitas yang ada atau di duga ada untuk menemukan
kebenaran yang sesungguhnya. Semakin komprehensif analisis yang dilakukan
tentang suwatu perkara dalam realitas, maka semakin baik dan jernih pulalah
kesimpulan atau keputusan yang di peroleh yang secara niscaya akan berdampak
pula pada nilai kebenaran yang akan diraih dalam aktivitasnya.
Aktivitas
filsafat yang selalu di tandai dengan adanya proses tindakan akal budi manusia
yang sungguh-sungguh dan terarah melaui system berfikir logis dan sistimatis
yang dapat di pertanggung jawabkan dalam menemukan kebenaran. Ini berarti bahwa
aksentuasi filasafat beradah pada wilayah pencarian kebenaran. Produk filsafat
tergantung pada aksitensi akvitas akal budi manusia dalam pencarian kebenaran.
Sedemikian rupa dapat dikatakan bahwa ajaran filsafat mestilah di bedakan
dengan filsafat itu sendiri
Dapat
disimpulkan bahwa filsafat bukanlah
pemikiran dan bukan pula ajaran, tetapi lebih padah aktivitas berfikir
sistimatis menurut alur fikir filsafat menuju terbangunnya suwatu pemikiran
atau pemahaman tegas dan murni tentang suwatu yang realitas. Dan karenanya
pula, maka aktivitas filsafat banyak bergerak pada wilayah proses tempuh seseorang
dalam memperoleh kebenaran dan bukan pada penekanan pengajaran, dogma ataupun
pemikiran. Di sinilah kemudian filsafat terkonsentrasi pada wilayah metodologi
atau proses pelahiran suatu kebenaran.
Filsafat adalah
suatu proses berpikir logis, kritis, dan sistematis tentang segala realitas
yang ada dan yang mungkin ada yang akan menjadi sikap dan keyakinan yang sangat
dijunjung tinggi oleh subjeknya. Filsafat adalah upaya yang dilakukan seseorang
untuk mendapatkan pemahaman dan gambaran makna yang jelas dan benar tentang
sesuatu dalam keseluruhan hakikatnya.
b. Ruang Lingkup Filsafat
Berdasarkan objek
kajiannya, kajian filsafat biasanya dibagi ke dalam tiga bidang permasalahan:
metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Sehingga, setiap masalah filsafat
selalu masuk kedalam salah satu bidang kajian ini.
1. Metafisika
Istilah metafisika sering digunakan dalam bahasa
filsafat. Bahkan seolah-olah istilah filsafat itu diidentikkan dengan
metafisika. Sebenarnya metafisika bukanlah disiplin filsafat secara utuh, tetapi
lebih untuk menamai suatu bagian kegiatan filsafat dari keseluruhan
bagian-bagian disiplinnya. Metafisika merupakan cabang kajian filsafat yang
mengkaji persoalan yang berkenaan dengan hakikat realitas. Konsentrasi filsafat
disini lebih diarahkan untuk menelaah dan atau mengkaji secara mendalam dan
menyeluruh tentang hakikat yang ada dan yang dianggap ada. Jika fisika
membicarakan segala sesuatu yang dapat disentuh oleh panca indra yang
kebenarannya ditentukan oleh unsur pengamatan dimana pengukuran dan pengujiannya
secara empiris, maka metafisika membincangkan sesuatu yang tidak terjangkau
olehnya. Metafisika terfokus telaahnya pada bidang esensi sesuatu, apakah
sesuatu benar-benar ada? Dan apa hakikat sesuatu itu?
2. Epistemologi
Secara akademis,
epistemologi merupakan kajian yang berkaitan tentang persoalan dasar ilmu
pengetahuan yang meliputi:
1)
Hakikat ilmu.
2)
Jenis ilmu pengetahuan yang mungkin dapat diraih manusia.
3)
Sumber ilmu pengetahuan itu.
4)
Batas-batas ilmu pengetahuan manusia.
Kajian Epistemologi diperlukan
terutama untuk membuat jaminan-jaminan suatu keputusan itu dapat dikatakan
benar. Kebenaran yang diambil atas dasar common
sense atau mungkin atas dasar pandangan dan atau pendapat ahli saja tidak
dapat menjamin seseorang untuk merasa puas akan temuannya. Kondisi ini
meniscayakan ragu dan bimbang atas apa yang diketahuinya. Hal ini mengingat
pengetahuan manusia tidak terlepas dari ekspresi cara beradanya di dunia yang
dalam banyak variannya terkait dengan konsep-konsep dan keyakinan-keyakina yang
telah terbangun dan terstruktur dalam dirinya.
Dalam konteks Islam, persoalan
epistemologi tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan keyakinan umatnya bahwa
pengetahuan (ilmu) manusia bersumber dari sifat kesempurnaan ilmu Tuhan, dan
oleh karena itu ia hanya dapat diraih bila seseorang itu memiliki pengetahuan
tentang ketuhanan dan hubungannya dengan rahasia alam jagad raya. Ada jalinan
yang erat antara manusia sebagai pencari kebenaran, Tuhan sebagai sumber
kebenaran dan alam jagad raya sebagai sasaran olahan pengetahuan.
Persoalan diatas melahirkan
perbedaan pendapat para ahli didalam memandang pengetahuan itu sendiri.
Diantaranya ada yang mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan adalah mungkin,
demikian juga kesatuan dengan Tuhan dalam satu bentuk atau bentuk lain adalah
juga mungkin. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa manusia dengan berbagai
keterbatasan eksistensinya terkait dengan bagian lain diluar pemikirannya untuk
membuat lompatan dari kemampuan personal keyakinan bahwa pengetahuan wahyu bersifat
literal, dan oleh karena itu, membaca firman Allah SWT mesti dilihat apa
adanya. Sedangkan pada pandangan pertama wahyu adalah suatu sistem simbolik
dimana Al Qur’an dipandang dalam bentuk metafora, sehingga memahaminya
memerlukan penafsiran-penafsiran
Terlepas dari silang pendapat
diatas, paling tidak hampir ada suatu kesepakatan di kalangan para filsuf
muslim, bahwa kajian-kajian epistemologi ini adalah suatu kajian filsafat
tentang ilmu pengetahuan dan segala hal yang terkait dengannya mesti diorientasikan
pada substansi ilmu sebagai pengetahuan tentang realita Al-Haqq yang merupakan
awal dan akhir realitas sekaligus juga sebagai sumber ilmu pengetahuan, sumber
realitas, dan sumber kebenaran itu sendiri. Pendeknya, kajian-kajian
epistemologi Islam mesti bermuara pada pendekatan diri pada Tuhan sebagai
pemilik kebenaran dan alam semesta. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
epistemologi Islam memandang manusia sebagai instrumen epistemik yang bergerak
dari wilayah dirinya dan berusaha menghubungkannya ke luar dirinya menuju ke
wilayah Ilahian yang absolut, sehingga sedemikian rupa pengetahuan apapun yang
dihasilkan oleh manusia akan selalu sarat dengan muatan nilai-nilai Ilahiah
sebagai pemilik ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
3. Aksiologi
Dalam bidang aksiologi,
pemikiran filsafat diarahkan pada persoalan nilai, baik dalam konteks estetika,
moral maupun agama. Yang menjadi pertanyaan dalam wilayah ini terkait pada apa
hakikat nilai, apakah ia absolut atau relatif, bagaimana menentukan nilai, apakah
sumber nilai itu dan lain sebagainya. Persoalan nilai ini sesungguhnya adalah
muara bagi keseluruhan aktivitas filsafat dalam bidang metafisika maupun
epistemologi ialah terwujudnya tingkah laku dan perbuatan-perbuatan manusia
yang mengandung nilai. Kearifan sebagai lambang orientasi kegiatan filsafat
tidak akan terwujud jika aktivitas filsafat hanya bergerak dalam dua bidang
kajiannya saja dan menegaskan wilayah aksiologi
Dari keseluruhan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa jika fokus telaah filsafat diarahkan untuk mencari pemecahan
terhadap masalah hakikat dan kebenaran dalam suatu realitas yang ada, maka
kajiannya termasuk dalam filsafat metafisik. Jika seseorang berupaya memberikan
jawaban atas persoalan-persoalan pengetahuan, baik hakikat, kriteria,
validitas, sumber-sumber, prosedur maupun klasifikasi dan jenis-jenis ilmu,
maka dalam hal ini telaah filsafat berada dalam wilayah kajian epistemologi.
Problem lain yang juga masuk kedalam
lapangan epistemologi ini adalah logika. Logika adalah suatu disiplin dalam
kajian filsafat yang mengajarkan tentang tata hubungan antar gagasan dan
ideyang dimilikiseseorang menuju pembentukan suatu kesimpulan, pemahaman dan
keyakinan mendalam tentang realitas. Dengan logika seseorang akan memiliki
pemahaman yang tegas dan jelas tentang bagaimana membangun sebuah pemikiran
yang ligis, baik dalam struktur maupun dalam materi. Sedemikian rupa sehingga
dengan logika, seseorang dapat menyusun dan menata idenya dengan struktur
kalimat yang logis dan sistematis yang adalah juga sebagai lambang utama dalam
karakteristik filsafat.
Sedangkan yang menjadi fokus
telaahnya menyangkut problem nilai dan mencari nilai-nilai yang diperlukan dan
dikehendaki manusia sebagai dasar pijakan dan pegangan dalam hidup dan
kehidupannya. Maka berarti kajiannya berada kedalam lingkup aksiologi. Untuk
yang terakhir ini, diskursus penting disini adalah hal-hal yang berkenaan
dengan problem nilai kebenaran, nilai kebaikan, dan nilai keindahan
Mengingat bahwa universalitas
filsafat itu memiliki hubungan erat dengan berbagai bentuk problem hidup dan
kehidupan manusia yang tampak dalam berbagai dunia pengalaman dan wawasan yang
meniscayakan munculnya berbagai jawaban atas berbagai realita dan varian yang
bergelanyut didalamnya, maka dalam tata cara sistemnya, penyelesaian filsafat
pun tergantung pada problemnya. Jika problem berkenaan dengan pencarian
konseptual yang sifatnya universal, maka pendekatan filsafat yang digunakan
akan berbeda dengan problem filsafat yang berhubungan tata kehidupan dan
perilaku manusia. Berdasarkan pewilayahan objek filsafat ini, maka dalam tata
kerja pikir filsafat dapat pula dibagi kepada dua bagian, yaitu filsafat
teoritis dan filsafat praktis
Filsafat
teoritis adalah pendekatan filsafat yang ditujukan untuk persoalan-persoalan
yang umum, baik tentang hakikat maupun pengetahuan. Hal ini dapat dilihat
umpamanya dalam bidang ontologi, kosmogoni, kosmologi, antropologi,
epistemologi, logika, teologi, filsafat agama, dan lain sebagainya. Yang
praktis adalah pendekatan filsafat yang ditujukan untuk menemukan
kewajiban-kewajiban, kebutuhan-kebutuhan Humanitas. Yang termasuk pada kelompok
ini misalnya, etika, sosiologi, filsafat sejarah, estetika, psikologi,
psikologi agama, filsafat politik, dan lain sebagainya. Kecuali itu, apabila
dilihat pula dari segi teknis dan sistem aktivitasnya. Filsafat memiliki tiga
corak, yaitu: spekulatif, analitik, dan preskriptif.
Filsafat Spekulatif adalah suatu
sistem berfikir filsafat tentang segala sesuatu yang ada. Para filsuf tertarik
dalam hal ini karena mereka memandang bahwa pikiran manusia hendak melihat
segala sesuatu secara utuh dan menyeluruh, tidak ada satu bagian pun di dunia
ini yang berdiri sendiri. Eksistensinya selalu terkait dengan yang lain. Oleh
karena itu, kebenaran yang sesungguhnya tidak akan mungkin di peroleh
seseorang, jika ia dalam aktivitasnya melihat realitas yang satu etrpisah dari
realitas yang lain.
Filsafat analitik lebih memfokuskan
perhatiannya dalam upaya memaknai, menerjemahkan, dan membuat interpretsi
terhadap setiap kata yang digunakan dalam suatu ide, agar ide itu dapat
dipahami sesuai dengan keinginan dan maksud sesungguhnya dari pencetusnya.
Berbeda dengan dua dimensi
metodologi filsafat di atas, filsafat preskriptif adalah suatu tendensi
kegiatan filsafat yang ingin mencari standar yang kukuh dalam melihat suatu
nilai dalam kehidupan manusia, baik dalam konteks baik dan buruk; benar dan
salah; indah dan jeleknya suatu tindakan.
2.
Filsafat dan ilmu pengetahuan
Filsafat
dengan karakteristiknya seperti telah dibahas di atas, menjadikan dirinya
berbeda dengan ilmu pengetahuan, kendati pun keduanya adalah dua tata cara
manusia untuk memperoleh kebenaran. Bahan filsafat tidaklah sama seperti
bahan-bahan yang ada pada ilmu pengetahuan. Bahan pada filsafat; bersifat
universal, sedangkan ilmu terbatas hanya pada bidang-bidang tertentu, sifatnya
parsial. Filsafat diarahkan pada keseluruhan capaian hakikat-hakikat dalam
keseluruhan kemungkinan-kemungkinan yang menunjuk pada sesuatu yang menjadi
fokus kajian, sedangkan ilmu pengetahuan lebih tertuju hanya pada lingkup
objeknya saja. Dengan kondisinya yang demikian, menjadikan sifat dan corak
kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan pun berbeda.
Hal lain yang membedakan dunia
filsafat dari ilmu pengetahuan adalah dalam aktivitasnya. Filsafat memulai
kerjanya dengan langka yang tidak memberikan ke pemihakan. Seorang filsuf
mestilah tidak menerima sesuatu apapun sebagai suatu kebenaran, sebelum ia
mencari dan menemukan kebenaran itu. Seorang filsuf mestilah membebaskan diri
dari berbagai penerimaan pendirian tertentu sebagai suatu yang benar. Dan
disinilah makna universalitasnya. Lain halnya dengan pengetahuan yang memiliki
nilai kebenaran yang bersifat parsial, maka dalam aktvitas pencariannya, ia
mesti mengabaikan aspek-aspek yang lain, kendati pun ilmuan menyadari bahwa
hubungan interdependensi antar realitas itu tidak dapat dielakkan.
Sebagai contoh dapat diketenahkan disini, bahwa
seorang arkeolog umpamanya, tidak akn khawatit pada sifat-sifat teknis yang
terdapat pada alat-alat yang ia butuhkan untuk menggali ragam informasi. Yang
dipertimbangkan disini adalah semata-semata tingkat efekftifitas dan
efisiensinya. Begitu juga dengan ahli senjata, tanpa memperhitungkan apakah
produk senjatanya akan digunakan untuk kemanusiaan atau akan membasmi
kemanusiaan;yang jelas baginya, bahwa hasil ciptaannya efektif dan efisien
untuk perang,membela diri, dan sebagainya. Kecuali itu, pola pencarian kebenaran
dalam pola pengetahuan mestilah diawali dengan sebuah keyakinan yang dibangun
diatas konsep konsep yang mapan dan teruji.
Kecuali itu, karena memang makna
filsafat itu menyangkut keseluruhan realitas dalam konteksnya yang hakikat,
maka tentulah dalam banyak hal, entitasnya jelas berbeda sama sekali dengan
dunia pengalaman dan pendirian yang sederhana dan ditemukan melalui upaya
kegiatan keilmuan.
Jika dilihat pula dari model pembangunan nilai kebenaran,
berbeda dengan filsafat, pengetahuan lebih mengarahkan upaya pencariannya pada
hal-hal yang terukur dan terferifikasi secara empiris. Ada hubungan yang tidak
dapat dilupakan antara wilayah teoretis dan praktik. Sedemikian rupa, keyakinan
pengetahuan tidak akan ditemukan jika apa yang dipikirkan oleh seorang ilmuan
tidak terbukti secara empiris. Oleh karena itu, apa yang telah terumus dalam
bentuk hipotesis yang dikontruk dari teori-teori yang mendukung belum dapat
dikatakan ilmu pengetahuan jika ia belum terbukti benar dan tataran wilayah
empiris.
Perbedaan
prinsipil ini dapat dipetakan dalam tata caranya adalah sebagai berikut:
FILSAFAT
|
ILMU PENGETAHUAN
|
- Analisis filsafat diarahkan pada keseluruhan
hakikat dalam
semua kemungkinan-
kemungkinan.
|
- analisis ilmu pengetahuan diarahkan sebatas
pada lapangan
tertent, sifatnya parsial.
|
- filsuf tidak boleh menerima pendirian
apapun juga
sebagai sesuatu yang benar dan
yang lain
adalah salah, sehingga segala
sesuatu yang
ada mesti menjadi bahan
pertimbangan.
|
- ilmu pengetahuan mengabaikan aspek-
aspek lain yang
tidak termasuk ke dalam
objek kajian.
|
- filsafat akan menghasilkan kesimpulan
melalui
berfikir radial.
|
- penarikan kesimpulan dalam metodologi
ilmu
pengetahuan diambil dari uji sebab-
sebab yang
terdekat.
|
-fakta dalam filsafat adalah suatu hasil
tinjauan dan
penelitian dalam konteks
interpretasi
keseluruhan realitas secara
menyeluru.
|
- fakta dalam ilmu pengetahuan adalah suatu
yang telah
teruji dan teramati secara ketat.
|
- kebenaran filsafat bersifat universal,
totalitas dan
komprehensif.
|
- kebenaran ilmu berada hanya pada skopnya
yang terbatas.
|
-aktifitas filsafat dimulai dengan upaya
membebaskan
diri dari berbagai bentuk
sangkaan dan
pendirian-pendirian.
|
- aktivitas ilmu pengetahuan justru dimulai
dari sangkaan
dan dugaan-dugaan.
|
Perbedaan
prinsipil inilah yang menjadikan filsafat tidak dapat disebut sebagai ilmu
pengetahuan, karena memang filsafat mendekati berbagai realita secara nonscientific. Didalam menemukan
kebenaran, filsafat dapat saja melebihi atau melampaui dunia riil dalam
pandangan praktis tentang kehidupan. Hal ni dimungkinkan karena dalam
penelusurannya, filsafat tidak dibatasi oleh eksistensi keilmuan dan pendirian
apapun dari dirinya.
Pengetahuan dan kebenaran
Pengetahuan
Kita
dapat menikmati berbagai fakta dan peristiwa sepanjang waktu dan sejarah hidup
kita. Kita dapat mengetahui bebagai realitas itu melalui bermacam-macam
pengalaman yang kita lalui dalam hidup kita. Apakah pengetahuan itu sendiri
terbentuk dalam dirinya dan terbatas oleh apa yang dapat disentuh oleh
pancaindra kita? Apakah pancaindra kita dapat menyentuh realitas itu
sesunggunhnya? Ataukah kita hanya dapat meraih fenomena-fenomenanya saja?
Ataukah mungkinkah kita hanya menangkap gambarannya saja? Ataukah kita punya
instrumen yang kukuh untuk memampukan kita menemukan pengetahuan yang benar itu
sesunggunhnya? apakah pengetahuan itu sesungguhnya? Apakah ada sumber
pengetahuan dari subjek atau dari objek. Pernyataan-pernyataan inilah yang
kemudian memunculkan teori-teori pengetahuan.
Dalam sejarah pemikiran filsafat,
teori pengetahuan ini termasuk salah satu cabang filsafat yang di dalamnya
dibicarakan masalah yang berkenaan dengan hakikat, sumber, cara, dan prosedur memperolehnya
ataupun yang menyangkut nilai pengetahuan itu sendiri.
Dalam sejarah perkembangan filsafat,
Socrates, Plato, dan Aristoteles sebagai tokoh tertua dalam
perjalanan filsafat sebenarnya telah banyak mempersoalkan masalah pengetahuan
ini, namun problem ini baru masuk dalam sistem tradisi barat melalui teori
kritisisme yang dikemukakan oleh Immanuel
Kant.
John
Locke ( 1632-1704 M ) seorang filsuf Inggris, menyebutkan bahwa pengetahuan
adalah bukti nyata realitas manusia dalam mengisi kehidupannya, dan karenanya
mestilah pula mendapat tempaty teratas dalam keseluruhan problematika dunia
filsafat. Pada abad 17-19 M, banyak filsuf yang mencurahkan perhatiannya pada
bidang teori pengetahuan ini, terutama Berkeley,
David Hume, dan Auguste Comte yang mengikuti langkah John Locke.
Pengetahuan pada hakikatnya akan
selalu bersifat relasional, yaitu adanya hubungan interdependensi antara subjek
dan objek. Dengan mengetahui, subjek akan menjadi manunggal dengan objek.
Kemanungalannya bukanlah dalam bentuk ekstrinsik di mana ada jarak yang
membatasi hubungan keduanya. Hubungannya sungguh-sungguh mendalam, sifatnya
intrinsik dimana hubungannya tidak sekadar pertemuan antar subjek dan objek,
tetapi benar-benar menyatu dalam suatu kesatuan yang tidak terlepaskan.
Penyatuan subjek-objek dalam
pengertian ini tidaklah mudah dalam implementasinya. Hal ini terutama bila
dilihat dari kesukaran yang ditimbulkan dari pola hubungan ini yang tidak
mungkin akan sempurna yang diakibatkan oleh dominasi masing-masing komponen,
disamping masalah lain yang tidak bisa dielakkan. Problem antara materialisme
dan immaterialisme, dimensi material dan spritual, induksi ataukah deduksi,
objektif atau subjektif dan masalah-masalah yang berkenaan dengan kebenaran
pengetahuan itu sendiri, baik dalam sistem maupun prosedur.
Positivisme yang dikembangkan pada
awalnya oleh Auguste Comte,
misalnya, melihat sesuatu yang benar sebatas apa yang dapat diukur secara ketat
oleh indra manusia, tampaknya membawa kesadaran yang makin besar bahwa manusia
pada hakikatnya adalah geist in welt. Persoalan
yang muncul kemudian adalah apakah evolusi dunia melalui upaya loncatan dunia
material ke dunia spritual? Ataukah tidak mungkin justru dari spritual menuju
yang material? Bahkan mungkin pula datangnya justru secara simultan, dimana
keberadaannya keduanya saling mendukung dan selalu berbaur menjadi satu
kesatuan yang tidak akan pernah terlepaskan?
Menurut al-Farabi (w. 950 M), ilmu itu sendiri diperoleh oleh akal manusia
setelah melalui jiwa sensitif dalam hal ini disebutnya dengan pancaindra, jiwa
sensitif menyampaikannya ke jiwa imajinatif, kemudian dari sini disampaikan ke
akal. Kemampuan seperti ini disebutnya juga dengan kemampuan kognitif.
Kemampuan imajinatif itu meliputi:
responsif, menginat, estimasi, membentuk imajinasi kemanusiaan dan kehewanan.
Sedangkan kemampuan akal itu meliputi mempertimbangkan, menerima pengetahuan
dan seni, membeda-bedakan baik sifatnya yang praktis maupun yang reflektif.
Khusus untuk kemampuan akan yang terakhir ini menjadika pula pembagian ilmu
dalam pandanagan al-Farabi ke dalam
dua bentuk, yakni ilmu teoretis dan ilmu praktis.
Perlu diketahui pula bahwa selain
kategori akan seperti disebutkan di atas, al-Farabi
membagi akal pula kedalam dua
bentuk: akal potensial dan akal aktif. Menurutnya akal-akal ini meiliki
hubungan yang tidak dapat dipisahkan.posisinya bagaikan matahati dengan mata
yang saling membutuhkan. Tugasnya cahaya yang dipancarkan oleh matahari tidaka
akan ada manfaatnya bagi mata yang buta (tidak dapat melihat). Sebaliknya mata
hanya dapat menjalankan fungsinya melihat bila ada cahaya matahari.
Kecuali itu, al-Farabi juga membagi akal
kedalam akal aktif, akal menerima, dan akal pasif. Akal aktif adalah pancaran
dan penyebab pertama yang dapat menjadi penghubung transendental manusia dengan
Tuhan. Sedangkan akal menerima adalah usaha dinamis manusia untuk menerima
segala pengetahuan dari luar, dan akal fasif sebagai penerima pengetahuan
tersebut. Fungsionalisasi ketiga bentuk akal inilah akan membentuk pengetahuan
yang senantiasa mengaitkan dunia realitas dengan yang transenden.
Wahyu dalam hal ini memiliki dua
dimensi, yakni dimensi teoretis dan dimensi praktis. Dimensi teoretisnya
terjelma dalam bentuk ma’qulat
al-thabi’iayah yang tampil dalam bentuk melihat, mengetahui, memahami dan
berakhir dengan suatu keyakinan tentang sesuatu. Objek ma’qulat al-thabi’iayah adalah segala sesuatu yang berbentuk
teoretis dan memikirkan hal-hal tentang hakikat sesuatu seperti “ma’rifah”,”hikmah”, dan seumpamanya.
Pengetahuan yang seperti ini merupakan pengetahuan yang paling sempurna dan
darinya akan lahir sesuatu yang menjadikan seseorang memiliki keimanan,
keyakinan, dan mengetahui pula kebahagiaan yang sesungguhnya.
Dimensi praktis wahyu terjelma dalam
bentuk ma’qulat al-iradiyah yang
tampil dalam bentuk kemampuan berfikir praktis, mampu memikirkan konsekuensi
baik atau tidak baik secara aktual. Etika, hukum, syariah, dan seumpamanya
termasuk dalam dimensi praktis wahyu.
Muhammad
Iqbal menyebutkan pula, bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh manusia
dengan menggunakan kemampuan akal, indra, dan intuisinya. Hanya dengan jalan
itu manusia memiliki ilmu pengetahuan akan menjadi wahana bagi perealisasian
nilai-nilai spritualnya.
Kebenaran
Kendatipun dalam pengembangan
pengetahuan kita, selalu kita arahkan untuk mencapai tujuan meraih kebenaran
bahkan kita akan bersedia menghabiskan banyak waktu dan usia kita hanya
semata-mata untuk berjuang mewujudkan impian kita akan kebenaran itu. Namun
demikian, kebenaran dalam banyak peristiwa keilmuan selalu digunakan memiliki
makna ganda.
Kebenaran secara bahasa sehari-hari
selalu dipertentangkan dengan kebohongan atau dusta; sesuatu yang memiliki
celah salah, keliru dan ketidakvalidan. Dalam konteks filsafat, istilah
kebenaran lebih lazim dipertentangkan dengan kekeliruan atau kekhilafan.
Diantara keduanya adalah asumsi-asumsi dan atau praduga-praduga yang kendatipun
berada anatara benar dan keliru, namun eksistensinya selalu diperlukan untuk
menghantarkan seseorang pemikir atau filsuf menuju pada titik terang yang
bernilai benar dan oleh karenanya bermakna bagi terwujudnya kebenaran.
Dalam Islam, istilah kebenaran
diungkap dalam beberapa istilah dalam konteks yang berbeda yang akan menunjuk
pada makna nilai kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini
adalah kata al-haqq; kata ini
memberikan tekanan maknanya pada kebenaran yang selalu disandarkan pada sumber
dan pemilik kebenaran yang sesungguhnya, yaitu Allah. Tugas manusia dalam hal
ini adalah bagaimana mendekatkan pemahamannya akan realitas ini sesuai menurut
maksud-maksud transendental Tuhan. Kata ini dipertentangkan dengan istilah bathil.
Kecuali itu, kata al-Shidq
yang juga berarti benar, tetapi lebih
berkonotasi pada nilai kebenaran dalam artian adanya kesesuaian antara apa yang
diutarakan atau yang terbangun dalam konsep dengan realitas faktual; apa yang
tergambar dalam pemikiran kita dengan aktualisasi tindakan nyata; apa yang
dirumuskan dalam kerangka konseptual dan ataupun hipotesis dengan pembuktian
empiris; apa yang diyakini sebagai suatu yang semestinya harus dikerjakan
dengan kondisi riil sebagai implementasinya dalam tindakan dan perilaku; dan
gambaran lain yang senada dengan ini. Istilah ini dipertentangkan dengan
kata-kata al-kidzb (bohong). Kata ini
ditunjukkan untuk menguji apa yang kita lihat dan atau yang kita dengar dan
bahkan yang kita rasakan dengan apa yang kita nyatakan dalam kata-kata atau
kalimat sebagai lambang gambaran realitas. Jadi, istilah ini lebih ditujukan
pada kebenaran dalam makna validitas data dalam pencarian kebenaran.
Istilah lain yang juga menunjuk makna benar adalah kata al-Shawaab yang berarti benar dalam
konteks pemberian pengakuan terhadap upaya argumentasi yang dilakukan seseorang
dalam mengungkap suatu pandangan, baik dalam tataran analisis (pembuktian)
maupun dalam tesis. Nilai kebenaran dalam istilah ini terkait pada kekuatan
argumentasi atau dalil yang ditampilkan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap
pengkajiannya pada ragam realitas yang ada. Sedemikian rupa, sehingga nilai
kebenaran dalam konteks sangat tergantung pada upaya seseorang meyakinkan orang
lain terhadap apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran.
Kata
al-shahih memberikan tekanan nilai
kebenarannya pada nilai validitas suatu pengetahuan dengan melihat tingkat
signifikansinya pada standar-standar nilai yang menuntunnya. Istilah ini
dipertentangkan dengan al-bathl (batal).
Kata ini digunakan untuk menguji realitas empiris dengan standar-standar ukur
yang telah ditetapkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah ini
ditujukan untuk sebutan akan kebenaran yang bersifat kategorik.dalam menentukan
nilai kebenaran disini mesti dengan melihat norma atau aturan-aturan yang telah
ditetapkan sebagai sebuah standar yang menjadi syarat atau kriteria kebenaran
dalam suatu realitas.
Berbeda dengan kata al-shahih di atas, istilah al-khair yang memberikan aksentuasi
pemaknaan dalam konteks pengujiannya dengan melihat pada konsekuensi dari suatu
tindakan. Raghib al-Isfahani dalam
hal ini menyebutkan bahwa Ia khaira bi
khairin ba’dahu al-naar; Ia syarra bi syarrin ba’dahu al-jannah? Kata ini
biasanya dipertentangkan dengan kata al-syarr
(jahat). Sedangkan kata al-birr yang
lazim diterjemahkan dalam maksud yang sama, yakni dalam makna “baik” lebih
ditujukan untuk menunjuk kebaikan dalam konteks sopan santun dan tata krama
sesama manusia. Kata yang ini dilawankan dengan kata say’ (buruk). Masih banyak lagi istilah-istilah yang lazim
digunakan dalam Islam dengan sebutan konteks kebenaran yang berbeda, seperti shalih, fadhl, al-‘adl, dan lain
sebagainya.
Dari sini dapat dipahami bahwa nilai
kebenaran dalam Islam memiliki kategorisasi-kategorisasi yang benar-benar
melekat dalam makna kebenaran itu sendiri. Terlihat di sini, bahwa nilai
kebenaran sangat tergantung pada teknik dan sistem analisis dan pola bangun
suatu objek kajian pengetahuan dalam ragam dimensi dan coraknya.
Dalam konteks kajian filsafat
pengetahuan, paling tidak ada enam teori kebenaran yaitu:
1. Teori korespondensi; teori ini
berpendapat bahwa kebenaran adalah hubungan antara subjek dan objek. Kebenaran
baginya telah ada sejak adanya dunia dan ia berada diluar diri manusia. Manusia
bertugas mencari dan menemukannya. Oleh karena itu, kebenaran berada pada
objeknya, bukan subjeknya.
2. Teori konsistensi; teori ini mengatakan
bahwa kebenaran adalah sesuatu yang selalu sama kesan antarsubjek terhadap
objek yang sama, sehingga validitasnya pun sangat tergantung pada
tanggapan-tanggapan subjek yang satu dengan yang lain. Kebenaran dalam hal ini
adalah hubungan antara apa yang diyakini dengan suatu fakta atau lebih yang
berada di luar keyakinannya.
3. Teori pragmatisme; teori ini mengatakan
bahwa kebenaran adalah pemikiran yang berguna bagi kehidupan praktis manusia.
Pendeknya, kebenarannya adalah sesuatu yang dapat dipraktikkan, karena memang
baginya kebenaran bukanlah sesuatu yang ada, tetapi merupakan sesuatu proses
kejadian. Oleh karena itu pulalah maka kebenaran merupakan proses pemeriksaan
terhadap benar-tidaknya sesuatu dalam praktik. Kebenaran selalu tergantung pada
historisitas manusia yang berubah-ubah yang akan membawa pula pada kemajmukan
dalam melihat kebenaran itu.
Teori
relativisme; kebenaran adalah kesesuaian pengetahuan dengan perangkat persepsi
yang sehat.
5.
Teori Empirisme, kebenaran adalah pengetahuan yang bisa dialami secara indrawi.
6.Teori Relijius teori ini berpendapat bahwa
kebenaran adalah sesuatu yang datang dari Tuhan. Kebenaran tidk dapat diraih
jika hanya dengan menempuh intres dan rasio saja,tetapi ia mesti melalui
standar pewahyuan yang sifatnya tentu akan berlaku sepanjang sejarah manusi.
3.
Sistematika Berfikir Filsafat
Seperti
telah disinggung diatas, berfikir secara sederhana adalah upayah yang dilakukan
seseorang dalam menghubungkan berbagai fakta dalam keseluruhan realitas, baik
dalam bentuk idea, konsep, ataupun berbagai pengalaman indrawi kita, sehingga
muncul gagasan, pikiran atau idea yang jelas tentang sesuatu persoalan.
Bagaimana berfikir dapat menghantarkan kita pada suatu titik yang akan menjadi
pengetahuan kita? Bagaimana kita dapat meyakini bahwa apa yang telah menjadi
kesimpulan dan keputusan kita adalah sesuatu yang benar atau keliru? Prosedur
apa yang dapat kita tempuh agar kita dapat membangun pemikiran yang benar-benar
dapat meyakinkan kita?
Kita selalu berkata bahwa saya
tengah memikirkan sesuatu. Unkapan ini selalu pula dikaitkan dengan aktivitas,
bahwa kita sedang membayangkan sesuatu : Saya tengah mengingat ingat suatu
peristiwa yang tengah hadir dalam kesadaran saya, Saya sedang mengklasifikasi
hal-hal apa yang telah terbangun dalam wilayah persepsi saya dan lain
sebagainnya. Kesemuanya itu tertuju untuk mencari hubungan-hubungan antar
kesemua realitas yang ada dalam kesadaran tersebut, sehingga terwujudlah suatau
pandangan yang dapat meyakinkan kita.
Pandangan ini tidaklah salah, karena
memang dalam setiap proses berfikir, manusia senantiasa melibatkan upaya
pembuatan relasi antar konsep atau ide yang satu dengan yang lain secara sistematis yang secara niscaya mesti
mengiungat-ingat setiap konsep atau ide yang pernah singgah dalam dunia
kesadaran kita, mengklasifikasi dan mencoba menguraikannya secra mendalam dan
terarah menuju pembuatan suatu kesimpulan atau keputusan. Dalam keseluruhan
kontesnya, berfikir selalu diorientasikan pada upayah penyelesaian masalah.
Lantas muncul pertanyaan, apakah semua kegiatan berfikir dapat dikatakan
berfikir filsafat?
Pertanyaan ini telah pula diuraikan
pada asal sebelumnya, bahwa kendatipun lambang hakiki manusia tidak lain adalah
berfikir, namun tidak semua kegiatan berfikir dapat dikategorikan dalam
berfikir filsafat. Berfikir filsafat senantiasa ditandai dengan befikir
sunguh-sungguh dan berhati-hati tentang sesuatu realitas melalui tata piker yang
sistematis, metodis, radikal, dan universal seperti telah dikemukakan pada
bagian awal bab ini. Berfikir seperti ini memastiaka subjeknya untuk tidak
membiarkan idea dan konsep yang tengah difikirkannya berserakan tanpa arah.
Oleh karena itu perlu ada upayah membuat organisasi kesemuannya itu dalam
tatanan yang sistematis yang tefokul dalam suatu kerangka menghadirkan suatu
pemahan, pengertian dan kesimpualan yang utuh, jernih dan benar secara formal
dan material. Kesemuanya ini tampil dalam bentuk sistem berfikir filsafat.
Logika dalam hal ini dapat diakatakan sebagai instrument penting dalam sisirtem
berfikir dalam filsafat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa, filsfat sesungguhnya
adalah bagaimana mengimplementasikan hukum-hukum logika dalam memandang realitas.
Logika adalah tata cara yang
digunakan untuk berfikir tepat, karena memang didalamnya tertuang kaidah-kaidah
yang dapat dipenuhi untuk melahirkan pemikiran yang tepat. Sebagai ilmu dalam
menalar, logika mempunyai dua bentuk, yaitu logika formal dan material. Yang
pertama menunjukkan tata cara atau cara-cara yang dapat ditempuh dalam
mengungkapkan ide, sehingga apa yang kita uraikan dalam pemikiran kita dapat
teruji secara logis dalam konteks silogisme. Sedangkan yang kedua lebih
menunjukkan pada isi dan hubungan logis antar premis yang digunakan dalam
menyatakan pandangan. Ketika kedua sistem logis ini digunakan dalam menjelaskan
realitas, maka apa yang kita fikirkan berdasarkan pengertian, pemahaman,
penilaian yang diberikan terhadap realitas dapat memperlihatkan
hubungan-hubungan logis diantaranya akan menampakkan pertanggung jawaban
subjeknya, baik formal maupun material.
Dalam tata cara berfikir filsafat,
suatu pengungkapan dapat dikatakan tepat jika ia disusun atas dasar
putusan-putusan (premis) yang benar, dan penarikan kesimpulannya pun
berdasarkan pada kaidah-kaidah filsafat. Kecuali tepat dalam pola, berfikir
filsafat juga dituntut untuk benar pula dalam isi, karena memang kesimpulan ini
benar akan sangat tergantung pada penggunaan keputusan-keputusan dan isi yang
benar. Ada tiga hal yang berhubungan langsung dengan sistematika berfikir
filsafat, yaitu bagaimana seseorang itu berupayah membentuk dan membangun suatu
ide, penegrtian atau konsep ,bagaimana prosedur yang dapat ditempuh seseorang dalam
membuat keputusan, dan bagaimana pula sistem yang dapat dipedomani dalam upayah
penutura atau pengungkapan apa yang tengah subjek pikirkan. Ketiga aktivitas
ini dapat dipisahkan satu sama lainnya dalam kegiatan filsafat. Ketiga dimensi
ini berkenaan langsung dengan logika. Sedemikian rupa sehingga aktivitas
filsafat selalu diidentikkan secara nyata dengan bahasa logika.
Sidi Ghazalba mengungkapkan bahwa
pengertian adalah suatu abstraksi umum yang tergambar dalam akal budi seseorang
dengan meninggalkan atau mengabaikan apa-apa yang menjadi cirri aksidensi suatu
objeknya. Dengan menanggalkan karakteristik yang bukan pokok, menjadikan kita
dapat melihat objek itu dari hakikatnya (esensinya). Sebagai contoh, untuk
membuat pengertian tentang pohon, maka segala sesuatu yang menunjuk pada
cirri-ciri aksidensi yanga ada pada pohon yang satunya metilah ditinggalkan,
sehingga yang tampak adalah hal yang umum saja dari apa yang ada pada setiap
pohon, sehingga ketika kita menyebut pohon maka semua pohon dalam segala ragamnya
telah tercakup jkedalam sebutannya.
Kecualai
itu, Pengertian memiliki hubungan yang erat pula dengan pemberian lambang atas
apa yang ada dalam alam persepsi atau pikiran kita. Lambang-lambang yang
digunakan untuk menggambarkan realitas selau tidak mencerminka apa yang
sesungguhnya ada dala ruang kesdaran kita. Sedemikian rupa, sehingga banyak
orang yang mengetahui sesuatu namun iapun tidak dapat menjelaskannya dlam
pengertian-pengertian yang benar-benar dapat menunjukkan pada realitas sesuatu
itu. Oleh karena itu membangun pengertian dan aktifitas filsafat meniscayakan
kita mencari hal-hal yang meliputi makna, sifat, hakikat, dan fungsi yang akan
menggambarkan keseluruhan dimensi suatu objek yang akan digambarkan dengan
memakai lambang-lambang bahasa.
Perlu dicatat, bahwa pengertian yang
kita ungkap dengan menggunakan lambang-lambang dalam bahasa belumlah dapat kita
katakan sebagai suatu pengetahuan. Hal ini mengingat bahwa sifat pengetahuan
bukanlah pengertian maknanya yang tunggal, tetapi bagaimana suatu pengertian
itu dikaitkan dengan penegrtian yang lain dalam membangun keputusan-keputusan,
maka itulah yang disebut dengan pengetahuan. Pendek kata, pengetahuan akan
menunjukkan dirinya dalam tataran keputusan, bukan dalam pengertian. Namun
demikian, suatau keputusan sangat tergantung pada pengertian-pengertian yang
membangunnya.
Keputusan
adalah suatu tindakan akal budi manusia yang tampak dalam bentuk pengakuan atau
pengingkaran yang meyakinkan terhadap suatu realitas. Keputusan yang benar
mestilah dilandasi pada landasan epistemik yang benar pula. Sedangkan penuturan
adalah suatu bentuk kerangka logika yang merupakan muara dari pengertian dan
keputusan. Dikatakan demikian, karena apapun yang dilihat, dipikirkan, dan atau
disaranka, ketika diungkap dan atau dijelaskan dengan penuturan yang tidak
teratur dan sistematis, maka akan memunculkan keganjilan-keganjilan logika yang
dapat memunculkan kesalah pahaman subjek pengkaji yang pada gilirannya apa yang
dituturkan tidak dapat dipahami oleh pembaca. Dapat dipahami,bahwa jika
pengertian merupakan upayah akal budi mengenalkan suatu realitas agar dipahami
seperti apa adanya, dan putusan adalah pembentukan pengetahuan atas
pengertian-pengertian yang telah ada, maka penuturanlah yang akan membentuk
pengetahuan baru dari pengetahuan-pengetahuan dan pemahaman-pemahaman yang
telah ada.
Didalam aktivitas menuturkan, akal budi
berupaya membuat penyimpulan-penyimpulan dan putusan-putusan berupa pertanyaan
pengetahuan. Upaya menuturkan ini biasanya menempuh model tata pikir umum
manusia, yaitu deduktif, induktif, dan abduktif. Deduktif merupakan tata pikir
manusia yang beranjak dari persoalan yang umum dan abstrak ke yang khusus dan
bersifat konkret. Sedangkan yang induktif adalah tata pikir manusia yang
dimulai dari yang khusus, factual dan atau yang konkret menuju pemahaman yang
umum dan abstrak. Pengetahuan yang dibangun atas dasar tata pikir deduktiif
akan melahirkan pengetahuan analitik, karena memang ia diperoleh dari upaya
analisis seseorang terhadap pengetahuan induktif, sedangkan yang dibangun atas
dasar pola pikir induktif akan menghasilkan pengetahuan yang sintatik.
Berbeda dengan tata pikir deduktif dan
induktif, berpikir abduktif adalah suatu pembuktian silogisme yang merujuk pada
inferensi yang memiliki ketidak pastian, baik pada premis mayor ataupun pada
premis minor, sehingga kebenarannya bersifat probabilitas. Kendatipun ada yang
mengatakan bahwa pendekatan deduktif jauh lebih mudah karena aktivitasnya yang
terlihat hanya menindaklanjuti suatu pandangan ataupun teori dan pola induktif
berupaya menemukan kesimpulandan penetapan kebenaran yang akan melahirkan suatu
teori, namun di dalam penerapnnya,baik tatas pikir deduktif maupun induktif
selalu saling mendukung didalam membangun ide-ide kita agar ia dapat dipahami
dan dibuktikan melalui analisis-analisis yang memadai.
Didalam penerapannya, kesemuannya ini
tentulah menjadikan peran bahasa tidak dapat disangkal. Bahasa tidak lain
adalah modus operandi cara berada manusia didunia dimana dengannya manusia dapat
menyatakan apa yang ia rasakan, apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan apa
yang ia pahami dalam alam realitas ini. Dapat dikatakan bahwa dengan bahasalah
manusia dapat menemukan dirinya didunia yang selalu berubah ini. Dengan
bahasalah kita dapat menunjukkan eksistensitas kita didunia. Hal ini tidak lain
karena memang kita berpikir melalui bahasa, kiata berbicara dan menulis melalui
bahasa, kita memahami dan memberikan interpretasipun melalui bahasa. Bahasa
merupakan alat komunikasi dan ekspresi jiwa antar subjek dan lingkungannya.
Bahasa bukanlah sesuatu yang muncul
tanpa telos, karena setiap kalimat dan bahkan kata demi kata yang tertuang
didalamnya hadir dengan berbagai keinginan-keinginan dan maksud tersendiri dari
diri sang penuturnya. Pendeknya, bahasa tampil dengan makna dan maksud
tersendiri dan memang mempunyai fungsi logika tersendiri. Oleh karena itu,
ketika seseorang ingin menyelami maksud atau makna dari setiap kalimat yang
dimunculkan oleh seseorang, maka iapun mesti mencari tahu sesungguhnya yang
dimaksudkan penutur dengan suatu kalimat yang diucapkannya.
Kecualai
apa yang disebutkan diatas, apa yang terpikirkan, apa yang dirasakan dan apa
yang diinginklan oleh subjek, selalu tidak akan persis sama dengan apa yang
terlontarkan kedalam untaian kata dalam
suatu bahasa, mengingat bahasa yang digunakan selalu dalam maknanya yang umum
dan yang lazim dugunakan pada masa tertentu. Tesis ini kemudian memunculkan
perhatian yang ingin mencarikan solusi agar apa yang kita pahami terhadap
sebuah kalimat. Paragraf dalam sebuah karya benar-benar mencerminkan apa yang
dipikirkan oleh penulis atau penuturnya.
Bertrand Russell, seorang filsuf
inggris, pada awalnya setuju dengan pendapat Moore yang menganggap bahasa biasa cukup memadai untuk maksud filsafat,
namun dalam perkembangan selanjutnya, iapun justru beralih
pikiran.baginya,bahasa biasa tidak cukup memadai untuk maksud filsafat,karena
bahasa biasa sering mengandung makna gandas dan kekaburan maksud,sehingga tidak
mungkin mengungkap sesuatu secara jelas sesuai dengan maksud dengan tujuan
penutur. Bahasa ideal filsafat adalah bahasa yang didasarkan pada
prinsip-prinsip logika,karena memang hakikat filsafat sesungguhnya tidak lain
adalah logika,kendatipun Russel sendiri tidak mengakuai bahwa bagian dari
filsafat itu sendiri.
Bertrand Russeli, menggambarkan
filsafat sebagia suatu wilayah pemikiran manusia yang berada antara teologi
disatu sisi dan ilmu pengetahuan disisi lainnya. Filsafat dapat dikatakan
seperti teologi, karena memang sifat dan watak filsafat yang juga bersikan
dunia spekulasi-spekulasi tentang pengetahuan yang pasti dan meyakinkan
subjeknya, kendatipun ia tidak dapat dipastikan. Dilain pihak, ia dapat pula
dikatakan seperti ilmu pengetahuan, karena tata kerja filsafat yang memang lebih
banyak mengarah dan upayah memfungsikan akal pikiran seperti layaknya ilmu
pengetahuan (sains) segala dogman karena ia melampaui pengetahuan yang pasti,
termasuk dalam lingkup teologi. Diantara keduanya inilah ada daerah yang tak
bertuan yamng renytang terhadap kedua persoalan teologi dan sains, dan inilah
wilayah filsafat.
Filsafat
bagi Bertrand Russell pada prinsipnya tidak lain adalah logiak. Filsafat yang
memperhatikan hukum-hukum logika dapat menerangkan ide-ide fundamental yang
merupakan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu khusus hanya
menyelidiki bagian-bagaian tertentu saja dari keseluruhan. Jika ilmu
pengetahuan memulai penyelidikannya pada unsure-unsur yang paling sederhana
untuk kemudian mencapai penegtahuan yang
lebih majemuk, maka filsafat berangkat dari pengetahuan abstrak majemuk untuk
kemudian, melalui analisis filsofil dapat mencapai skema-skema logis (logical
from) yang paling sederhana dari semua abstraksi.
Bahasa
dan pandangan Bertrand Russell dapat dibagi-bagi menjadi profosisi-profosisi
atomic (Elementer) melalui cara analisis logis. Menurutnya, teknik analisis
yang didasarkan pada prisip-prinsip logis itu yang dapat menjelaskan struktur
bahasa dalam kaitannya dengan struktur realitas. Analisis bahsa yang benar akan
dapat pula menghsilkan pengetahuan yang benar tentang dunia. Hal ini mengingat
karena memang unsur min yang paling kecil (yaitu unsure-unsur bahsa uang paling
kecil) adalah gambaran bidang matter yang paling kecil, yaitu atomic fact. Oleh
karena itu Bertrand Russell berkeyakinan, bahwa analisis bahasa yang benar akan
dapat pula menghasilkan pengetahuan yang benar tentang realitas dunia. Hal ini
disebabkan karena unsur yang paling kecil dari bahsa yang disebutnya dengan
istilah proposisi atomik merupakan
gambaran dari unsure yang paling kecil pula dari fakta ( Fakta atomik) dengan
demikian dapat dilihat bahwa bahasa disini tidak lain adalah symbol dari
relitas dunia. Sehingga denga demikian, berarti menganalisis bahasa sebagai
pernyataan atas fakta yang ada. Ini menunjukkan bahwa menganalisis bahasa sama
artinya dengan menganalisis realitas dunia atau fakta yang ada. Oleh karena
itu, menurut Bertrand Russell analisis bahasa yang benar akan menghasilkan
pengetahuan yang benar pula tentang dunia. Dengan memberikan perhatian pada
seluk beluk bahsa secara baik dan benar, berarti kita telah memberikan
perhatian yang sungguh-sungguh pada realitas dunia.
Didalam
sistem berpikir filsafat, unsure filsafat, unsure bahasa memqng merupakan
bagian yang sangat penting didalam keseluruhan aktivitasnya, Aktivitas filsafat
secara nyata senantiasa berhubungan langsung dengan upayah pengungkapan
realitas yang dalalam lkeseluruhan konteksnya, sehingga tentu secara nyata pula
akan besentuhan dengan persoalan bahasa. Oleh karena itu,dapat dipahami bahwa
jika penyusunan premis-premis dalam filsafat merupakan suatu yang urgen.
Keteraturan
tata pikir itu sendiri senantiasa ditandai dengan bagaiman subjek menempatkan
premis-premis pada posisinya, tidak saja dalam tata penyusunannya tetapi juga
dalam keteraturan maknanya. Pengungkapan premis-premis ini dalam keseluruhan
aktivitasnya akan bersentuhan langsung dengan penerapan prinsip-prinsip logika
sebagai suatu upayah yang menggambarkan realitas yang menjadi objek telaah. Hal
ini sangat penting untuk membuat keputusan-keputusan atau apa yang disebut
dengan kesimpulan-kesimpulan. Sedemikian rupa sehingga dapat pula dikatakan
bahwa bahasa dan filsafat adalah ibarat tebu dengan gula diamana esensi dan
eksistensinya tidak dapat dipisah sama sekali.
Agaknya
tidak dapat dipungkiri, bahwa bahasa tidak lain adalah modus operandi cara
berada manusia didunia dan bahkan bahasa adalah lambang aktivitas berfikir
manusia tentang segala yang ada disekelilingnya. Karena bahasalah manusia dapat
menemukan dirinya didunia yang senantiasa berubah ini. Kita berfikir melalui
bahasa, kita berbicara dan mengungkap apa yang dipikirkan dan apa yang
ditemukan dalam pemikiran kita melalui bahasa. Pendeknya, bahasa sebagai
lambang wujud manusia dapat berkomunikasi dan proses adaptasi dengan
lingkungannya. Dengan bahasa kita dapat menyatakan atau mendeskripsikan apa
saja yang kita lihat, apa-apa saja yang kita rasakan, apa-apa yang kita
inginkan, apa-apa yang kita pikirkan dan bahkan apa saja yang menyangkut
realitas kehidupan manusia didunia baik yang berkenaan dengan dirinya sesuatu
yang lain diluar dirinya, dan mencari hubungan manusia dengan alam dan Tuhan
sebagai pemilik realitas.
Dalam
kesemua aktivitas filsafat bersentuhan langsung dengan bagaimana seseorang
mewujudkan produk filsafatnya dalam ungkapan-ungkapan logis yang dapat
bertanggung jawab. Dalam konteks inilah ada pendapat yang mengatakan bahwa
filsafat itu tidak lain adalah logika. Dengan analisis logika, berarti bahwa
seseorang melakukan upayah memberikan alasan a priori yang tepat bagi sebuah atau lebih pernyataan yang dibuat,
sehingga pernyataan itu benar-benar meyakinkan. Dan dengan sistensis logika
berarti seseorang itu telah menentukan makna bagi ragam pernyataan berdasarkan
pada pengalaman empirik.
Dalam konteks apapun, bahasa memegang nilai
tersendiri bahkan tidak dapat disangkal, bahwa dunia ada dengan bahasa. Bahasa
menjadikan apa yang dilihat, apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan dapat
ditunjukkan. Dengan bahasalah kita dapat menunjukkan siapa kita, bagaimana alam
lain diluar kita, bagaimana kita berpikir dan merasakan sesuatu, sehingga
dengan begitu orang lain pun mengenal kita. Begitu pula sebaliknya, dengan
sebentar bahasalah kita mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak kita
ketahui. Jadi bahasa adalah hal yang menyatu dengan kesejatian manusia, baik
ketika ia berada dalam dirinya, maupun ketika ia ke luar dari dirinya dan
mencari tahu tentang sesuatu yang l
Good day everybody, This is my testimony on how I won 53,193,914 million pounds on Mega millions lottery. I want to use this opportunity to thank Dr clement,for casting winning spell for me to win the lottery of 53,193,194 million pounds,lottery ticket.I have been playing lotteries for the past 5 years now and i have never won any. Ever since then i have not been able to win any lotto and i was so upset and i needed help to win this mega million lottery. so i decided to go online and search for help, there i saw so many good testimony about this man called Dr Iyaryi,of how he has cast lucky spell lotto for people to win the lottery. I contacted him also and tell him i want to win the Mega millions lottery, he cast a spell for me which i use to play and won 53.193,914 million pounds in mega millions lottery. I am so grateful to this man, just in-case you also need him to help you win, you can contact him through his Email: allmightbazulartemple@gmail.com, and he will surely help you just the way he has helped me. i will forever be grateful to him and always testify the good work of him to the hole world. contact him via Email: allmightbazulartemple@gmail.com, or you can also contact him through his email and he will surely help you to win any kind of lottery And also Reach him on WhatsApp Number +2347051758952 Thanks Dr. clement can also cure all others of infection disease with herbal medicine list of my work
ReplyDelete{1}HIV/AIDS
{2}DIABETES
{3}EPILEPSY
{4} CANCER
{5} HPV
{6} ASTHMA
{7} HEPATITIS
{8}LOVE SPELL
{9} MONEY SPELL
10 IMPOTENCE
11 PENIS ENLARGEMENT